Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 30 Maret 2015

Hubungan Pancasila dengan Pancadharma

BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Dalam agama Buddha, sila merupakan dasar utama dalam pelaksanaan ajaran agama, mencakup semua perilaku dan sifat-sifat baik yang termasuk dalam ajaran moral dan etika agama Buddha. Pancasila yang diberikan  oleh bhikkhu kepada upasaka dan upasika dalam pengertian sesungguhnya bukanlah sila, tetapi suatu sikkhapada (peraturan-pelatihan). Dalam agama Buddha, sila dapat dalam pengertian yang sempit dan dalam pengertian yang luas. Dalam pengertian sempit adalah perbuatan lahiriah berupa ucapan dan perbuatan jasmaniah. Sila dalam pengertian luas bila termasuk kedalamnya perilaku melalui pikiran sesui dengan norma baik atau kehendak (cetana).
Dalam kode disiplin, ada peraturan-peraturan tertentu yang secara langsung berkaitan dengan perilaku seseorang dalam kehidupan masyarakat di samping peraturan-peraturan yang hanya berkenaan moral pribadinya. Sering kali orang menganggap peraturan adalah beban dan ikatan yang membatasi kebebasan. Padahal seharusnya, sebagaimana dinyatakan oleh Buddha, Dharma merupakan rakit atau alat untuk menyebrang, perlu untuk menyelamatkan diri, bukan untuk dijadikan beban (M. I, 135). Sila dan vinaya justru dibutuhkan oleh mereka yang ingin mencapai kebebasan.
Semua umat Buddha wajib menerima sila. Yang lebih penting lagi, kita harus menaatinya. Seseorang yang menerima tetapi tidak menaatinya lebih buruk dari orang yang belum menerima sila. Hal ini kerena ia telah merusak badan (dasar) sila. Hal ini sangat berpengaruh pada pikiran kita dan membuat kita dapat menahan diri dari daya tarik luar karena adanya kekuatan untuk menangkalnya. Banyak orang melanggar sila karena mereka tidak menghargai sila. Saat kita melanggar satu sila, kebiasaan buruk untuk melanggar sila akan berlanjut. Kita kemudian tidak menghargai sila sama sekali. Kita mulai nakal dan tingkah laku kita tidak terkendali. Keyakianan kita pada Triratna akan luntur dan akhirnya hilang.
Kita tidak boleh teledor dalam menerima sila dan wajib mempertimbangkan masak-masak bila menerimanya. Kita tidak boleh menerima sila kerena hanya refutasi dan rasa bangga, atau hanya ikut-ikutan. Mudah untuk memakai “baju sila”, tetapi kita harus bertanya pada diri sendiri apakah kita pantas memakainya. Kita tidak boleh memaksa diri melakukan hal-hal yang tidak dapat dicapai. Hal ini dapat berkembang menjadi kebiasaan buruk melalui pelanggaran sila. Beberapa orang merasa rendah diri dan tidak menyukai diri sendiri. Mereka melakukan kesalahan berulang-ulang. Kita harus menganjurkan dan menolong mereka mendapatkan rasa percaya diri dan harga diri. Dengan cara ini mereka akan dapat mempertahankan pancasila. Kita harus memahami tujuan menerima sila dan memastikan kita serius dalam mentaati sila-sila tersebut. Kita dapat menganjurkan orang lain untuk mentaati sila dan berlatih dengan tekun. Dengan lima sila ini, kita dapat mengajarkan anak-anak kita untuk menjadi orang baik.

B.     Runusan masalah
a.       Apa pengertian Pancasila ?
b.      Apa pengertian Pancadharma ?
c.       Bagaimana hubungan Pancasila dengan Pancadharma ?
d.      Bagaimana penerapan Pancasila dan Pancadharma ?

C.    Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah memberi pemahaman kepada masyarakat luas terutama  kepada masyarakat Buddhis tentang Pancasila dan Pancadharma, bagaimana hubungan dan penerapan pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian penyusun berharap kepada pembaca makalah ini agar dapat mengamalkan atau memperaktikkan Pancasila Buddhis dan Pancadharma dalam kehidupan sehari-hari.

D.    Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini yaitu, apabila pembaca memahami isi dari makalah ini dan memperaktikkannya dalam kehidupan sehari-hari maka seseorang akan dapat menghilangkan pembawaan yang tidak baik seperti keserakahan, itikad jahat, iri hati dan sebaliknya dengan malaksanakan sila seoarang akan menimbun perbuatan baik seperti berdana, itikad baik, kesediaan untuk memaafkan orang lain. Tidak hanya itu, apabila sila benar-benar dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya membawa kemajuan mental spiritual, meningkatkan kesejahteraan dan keharmonisan dalam kehidupan perorangan, tetapi juga dalam masyarakat dan diantara umat manusia. Maka dari itu penulis berharap pembaca dapat memahami isi makalah ini kemudian dapat mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari supaya terbebas dari penderitaan dan dapat terlahir dialam yang berbahagia.













BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pancasila
Pancasila berasal dari dua suku kata yaitu “Panca dan Sila’. Kedua suku kata tersebut memiliki arti yang berbeda-beda. Panca artinya lima sedangkan sila artinya moral atau etika. Jadi pancasila artinya lima latihan moral dan etika. Pancasila Buddhis adalah lima latihan yang harus dilaksanakan oleh umat Buddha. Umat Buddha setiap kebaktian pasti membaca Pancasila Buddhis. Jika kebaktian dihadiri oleh anggota Sangha, umat meminta tuntunan Tisarana dan Pancasila Buddhis kepada anggota Sangha. Umat Buddha yang meminta untuk divisudhi upasaka atau upasika pasti meminta tuntunan Pancasila Buddhis secara khusus kepada Bhikkhu Sangha kemudian berikrar untuk melaksanakan Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari. Boleh dikatakan bahwa Pancasila Buddhis merupakan pegangan atau pedoman hidup bagi umat Buddha terutama bagi upasaka atau upasika. Sila ini bila dilaksanakan dengan baik akan membawa kemajuan, kemakmuran besar, kehidupan surga, baik sebagai manusia atau sebagai dewa.
Dalam Kitab Visuddhimagga Buddhaghosa menafsirkan sila sebagai berikut: Pertama, sila menunjukkan sikap batin (kehendak). Kedua, menunjukkan penghindaran (virati) yang merupakan unsure batin (cetasika). Ketiga, menunjukkan pengendalian diri (samvara) dan keempat menunjukkan tiada pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan (avitikhama). Hal-hal tersebut dinamakan sila berkenaan dengan dua pengertian, yaitu: Pertama menimbulkan haromi dalam hati dan pikiran (samadhana), dan yang kedua mempertahankan kebaikan dan mendukung pencapaian batin yang luhur (upadharana). Ciri (lakkhana) dari sila adalah ketertiban dan ketenanga. Sila dengan jalan apapun dijelaska selalu menampilkan cirri ketertiban dan ketenangan yang terpelihara dan dipertahankan dengan pengandalian perbuatan jasmaniah, ucapan dan pikiran. Fungsi (rasa) dari sila adalah menghancurkan kelakuan yang salah dan menjaga seseorang agar tetap tidak bersalah. Wujud  (paccupatthana) sila adalah kesucian (soceyya). Kita mengenal seseorang dengan melihat rupanya. Demikian pula kita mengenal sila dengan wujudnya yang suci dalam perbuatan jasmaniah (kaya soceyya), ucapan (vaci soceyya) dan pikiran (mano soceyya). Sebab terdekat yang menimbulkan sila adalah adanya hiri dan ottappa. Hiri adalah malu berbuat jahat dan ottappa adalah takut akan perbuatan jahat.
Pancasila terdiri dari lima latihan moral, yaitu:
1.      Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
2.      Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami
Aku bertekad akan melatih diri menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan oleh pemiliknya
3.      Kamesumicchacara veramani sikkhapadam samadiyami
Akau bertekad akan melatih diri menghindari perbuatan asusila
4.      Musavada veramani sikkhapadam samadiayami
Akau bertekad akan melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar
5.      Surameraya majjapamadatthana veramani sikkhapadam samadiyami
Aku bertekad akan melatih diri menghindari segala minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran.

Panatipata terdiri dari kata: pana dan atipata. Kosakata pana secara harfiah berarti ‘makhluk’ atau ‘kehidupan’ dan atipata berarti ‘lepas dengan cepat’. Gabungan kedua kosakata itu mempunyai makna ‘membuat suatu makhluk mengalami kematian’, atau ‘kehidupan mati’, atau ‘meninggal sebelum waktunya’. Jadinya, panatipata dapat disepadankan dengan kata ‘pembunuhan’. Suatu pembunuhan telah terjadi jika terdapat lima faktor sebagai berikut:
1.      Ada makhluk hidup (pano)
2.      Mengetahui bahwa makhluk itu masih hidup (panasannita)
3.      Berniat untuk membunuh (vadhakacittam)
4.      Melakukan usaha untuk membunuh (upakkamo)
5.      Makhluk itu mati melalui usaha itu (tena maranam).
Apabila terdapat kelima faktor dalam suatu tindakan pembunuhan, maka telah terjadi pelanggaran sila pertama. Oleh karena sila berhubungan erat dengan karma, maka pembunuhan ini berakibat buruk yang berat atau ringannya tergantung pada kekuatan yang mendorongnya dan sasaran pembunuhan itu. Jika satu atau dua faktor tersebut  tidak terpenuhi maka kita belum melanggar sila tersebut sepenuhnya. Misalnya, jika seorang tukang batu secara tidak sengaja menjatuhkan sebuah bata dan membunuh seorang pejalan kaki yang sedang lewat, hal ini merupakan sebuah pembunuhan. Demikian juga jika kiat memiliki pikiran untuk membunuh, tetapi tidak melakukan tindakan apapun, dan orang tersebut meninggal dengan sendirinya maka hal ini juga bukan merupakan sebuah pembunuhan.
Semua makhluk hidup, baik yang besar maupun yang kecil, takut akan kematian dan lebih memilih untuk hidup. Taku akan kematian adalah perasaan umum yang dimiliki oleh setiap makhluk. Akan tetapi apakah semua nyawa memiliki nilai yang sama? Mereka tidak benar-benar sama. Hidup manusia lebih berharga dari pada hidup anjing. Kita perlu menaati pancasila agar dapat menjadi manusia, tetapi binatang tidak perlu melakukan hal ini. Akibat membunuh manusia tentunya lebih besar daripada akibat membunuh binatang, akan tetapi lebih baik menghindari semua pembunuhan. Jika kita tidak sengaja membunuh seekor nyamuk atau semut, kita tidak perlu merasa sama kecewanya atau sama bersalahnya dengan membunuh seorang manusia. Beberapa orang takut berjanji untuk menaati sila ini karena hal tersebut. Jika kita dapat memahami prinsip di balik sila ini, kita akan menyadari bahwa cukup mudah untuk menaati sila jangan membunuh.Jika dengan pikiran yang tidak terkotori dia memancarkan pikiran yang penuh cinta kasih walaupun hanya pada satu makhluk saja, dia telah melakukan perbuatan baik melalui hal itu (It. 20).

Adinnadana dari kata: a, dinna dan adana. Kata a merupakan sebuah kata sangkal dan dinna berarti ‘barang yang diberikan pemiliknya’, maka adina artinya ‘barang yang tidak diberikan oleh pemiliknya’. Kata adana berarti ‘mengambil atau merampas’. Gabungan ketiga kosakata itu, berarti ‘mengambil barang yang tidak diberikan oleh pemiliknya’. Jadi adinnadana dapat disepadankan dengan ‘pencurian’. Sila jangan mencuri secara tidak langsung membantu kita menaati sila jangan membunuh. Tubuh kita adalah sebuah kehidupan. Agar kehidupan bertahan diperlukan makanan dan pendukung. Kita harus bekerja dan memperoleh uang agar dapat betahan hidup. Uang dapat dianggap sebagai kehidupan ekstern. Hidup manusia adalah kehidupan ekstern. Sila jangan membunuh adalah sebuah aturan untuk tidak membunuh kehidupan ekstern kita. Sila ini adalah sebuah aturan untuk sebuah kehidupan ekstern kita. Mencuri kepunyaan orang lain dapat mengakibatkan orang lain dalam kesulitan dalam mempertahankan gaya hidup mereka sehingga mengancam gaya hidup mereka.

Suatu pencurian telah terjadi bila terdapat lima faktor sebagai berikut:
1.      Suatu barang milik orang lain (para pariggahitam)
2.      Mengetahui bahwa barang itu ada pemiliknya (para pariggahitasannita)
3.      Berniat untuk mencurinya (theyyacittam)
4.      Melakukan usaha untuk mengambilnya (upakkamo)
5.      Berhasil mengambil melalui usaha itu (tena haranam)

Yang dimaksud dengan ‘berhasil melalui usaha itu’ ialah bila barang itu yang telah berpindah dari tempat semula. Misalnya, pencurian kambing telah terjadi apabila kambing tersebut berpindang dari tempatnya. Pencurian benda lain  telah terjadi bila barang itu telah terangkat  dari tempat barang itu terletak. Sebagai contoh: seseorang mencuri, tetapi tiba-tiba pemilik barang itu datang di tempat kejadian itu. Meskipun pencuri itu mengembalikan barang yang telah dicurinya ke tempat semula, dia tetap telah melakukan pencurian karena barang itu telah berpindah tempat. Dia telah melanggar sila kedua. Pelanggaran sila kedua berakibat buruk, sesuai dengan kekuatan kehendak untuk mencuri. Kekuatan kehendak itu ditentukan oleh: nilai barang yang dicuri dan tingkat kemajuan rohani pemilik barang yang dicurinya atau milik orang suci.

Kamesumicchacara terdiri dari kosakata kama, miccha dan cara. Kata miccha berarti ‘salah’ atau ‘menyimpang’; dan cara berarti ‘pelaksanaan’ atau ‘perilaku’. Sedangkan kamesu merupakan bentuk jamak dari kata kama pada kasus ketujuh menurut tata bahasa pali. Kama berarti ‘nafsu atau kesenangan indriawi’. Ada lima kesenangan indria, yaitu: kesenangan indria mata, kesenangan indria telinga, kesenangan indria hidung, kesenangan indria lidah, kesenangan indria kulit (permukaan jasmaniah yang merasakan sentuhan). Jadi kamesumicchaara berarti ‘pemuasan nafsu indriawi yang menyimpang (dari yang dibenarkan)’ atau dengan kata lain ‘memuaskan nafsu indriawi secara salah’. Kesenangan indria kulit yang dirasakan melalui sentuhan dalam konteks kamesumicchacara diartikan sebagai hubungan kelamin. Oleh karena pemuasan indria kulit melalui sentuhan secara salah membawa akibat yang merugikan diri sendiri maupun orang lain dan mengganggu ketentraman masyarakat, maka pengertian kamesumicchacara ditekankan dan diartikan dengan ‘melakukan hubungan kelamin yang salah’.
Ini adalah sila yang sulit ditaati oleh para pengusaha dan anak muda. Perbuatan asusila adalah salah satu alas an yang menyebabkan banyak orang kehilangan kesempatan untuk menjadi manusia lagi. Hanya hubungan seks antara suami dan istri yang diperbolehkan hokum, dan semua hubungan seks lainnya dianggap sebagai perbuatan asusila. Nafsu seks adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan kita berpindah-pindah dia alam tumimbal lahir dan terus menderita. Kita dilahirkan didunia ini karena kesadaran kita sehingga menyebabkan kehidupan kita bermula. Umat buddha harus berusaha mengendalikan nafsu seks mereka dan selalu penuh perhatian. Agar dapat bertumimbal lahir sebagai manusia kembali, kita perlu menaati sila jangan berbuat asusila.
Kamesumicchacara dapat terjadi bila terdapat empat faktor yang terdiri dari:
1.         Orang yang tidak patut untuk disetubuhi (agamantavatthu)
2.         Memepunyai niat untuk menyetubuhi orang tersebut (tasmim sevacittam)
3.         Melakukan usaha untuk menyetubuhinya (sevanappayogo)
4.         Berhasil menyetubuhinya (maggena maggapatipatti adhivasenam)
Yang dikmaksud deangan ‘berhasil menyetubuhinya’ adalah berhasil memasukkan alat kelaminnya ke dalam salah satu dari lubang vagina, dubur, dan mulut walaupun sedalam biji wijen.
Mengenai orang yang tidak patut disetubuhi (agamaniavatthu) adalah wanita sebagai berikut:
1.         Dibawah perlindungan ibunya (maturakkhita)
2.         Dibawah perlindungan ayahnya (piturakkhhita)
3.         Dalam perlindungan ayah dan ibunya (matapiturakkhita)
4.         Dalam perlindungan kakak perempuannya atau adik perempuannya (bhaginirakkhita)
5.         Dalam perlindungan kakak lelakinya atau adik lelakinya (bhaturakkhita)
6.         Dalam perlindungan sanak-keluarganya (natirakkhita)
7.         Dalam perlindungan orang sebangsanya (gotarakkhita)
8.         Dalam perlindungan pelaksana dharma (dhammarakkhita)
9.         Yang sudah dipinang oleh raja atau orang-orang yang berkuasa (saparidanda)
10.     Yang sudah bertunangan (sarakkheta)
11.     Yang sudah dibeli oleh seorang lelaki, atau telah digadaikan oleh orang tuanya (dhanakkheta)
12.     Yang tinggal dengan lelaki yang dicintainya (chandavasini)
13.     Yang rela dikawini oleh lelaki karena mengharapkan harta bendanya (bhogavasini)
14.     Yang rela dikawini oleh lelaki kerena mengharapkan sandang (patavasini)
15.     Resmi menjadi istri seorang lelaki dalam upacara adat istiadat (odapattagini)
16.     Yang menjadi istri seorang lelaki yang membebaskannya dari perbudakan (abhatasumbatta)
17.     Tawanan yang kemudian dikawini oleh seorang laki-laki (dhajabata)
18.     Pekerja yang dikawini oleh majikannya (kammakaribhariya)
19.     Budak yang dikawini oleh majikannya (dasibhariya)
20.     Yang menjadi istri seorang lelaki dalam jangka waktu tertentu (muhuttika).

Dari rincian diatas, kelihatan bahwa 12 terakhir yang mulai dari saparidanta (9) hinga muhuttika (20) adalah wanita yang mempunyai suami tanpa mempersoalkan latar belakang wanita atau motivasi perkawinan mereka. Seseorang yang menyetubuhi salah satu dari 20 jenis wanita tersebut berarti telah melakukan hubungan kelamin yang salah dan melanggar sila ketiga. Pelanggaran ini akan berakibat buruk, yang berat ringannya tergantung pada kekuatan yang mendorongnya dan cara pelaksanaannya (misalnya, suatu perkosaan), serta status atau tingkat rohani dari wanita yang bersangkutan, misalnya seorang bhikkhuni atau mereka yang telah mencapai kesucian. Nanda seorang pemuda yang memperkosa bhikkhuni yang telah mencapai tingkat kesucian arahat bernama Uppalavanna Theri, terlahir di alam neraka  Avici. Manusia yang ditemani oleh nafsu keinginan, berkelana terus dalam perjalanan panjang ini, dia tidak dapat keluar dari samsara dalam keadaan dumadi yang ini atau yang itu (It. 8.)

Musavada terdiri dari kata musa dan vada. Kata musa berarti ‘sesuatu yang tidak benar’ dan vada berarti ‘ucapan’. Gabungan kedua kosakata itu menganduang makna ‘mengucapkan sesuatu yang tidak benar’. Istilah musavada dapat disepadankan dengan kata ‘berbohong’. Seseorang pernah berkata, jika kita tidak memiliki mulut., dunia akan lebih damai. Selain untuk makan, mulut kita gunakan untuk berbicara.  Bila kita berbicara, kita segan mengatakan hal-hal yang baik. Jika ada gosip mengennai orang lain, kita dapat berbicara selama tiga bulan atau bahkan tiga tahun tanpa berhenti! Ini adalah akar kekotoran batin dan penderitaan.
Musavada telah terjadi bila terdapat empat faktor yang terdiri dari:
1.         Sesuatu atau hal yang tidak benar (attham-vatthu)
2.         Mempunyai niat untuk menyesatkan (visamvadanacittam)
3.         Berusaha untuk menyesatkan (tajjo vayamo)
4.         Orang lain akan tersesat (parassa tadatthavijananam)
Musavada tergolong perbuatan buruk (akusala-kammapatha) dan dapat dibedakan menurut akibatnya pada alam kelahiran. Suatu kebohongan tidak akan menyeret seseorang ke dalam alam kelahiran yang rendah, apabila tidak menimbulkan kerugian yang berarti kepada orang yang dibohongi. Misalnya seorang dokter yang memberikan keterangan yang tidak benar tentang penyakit pasiennya dengan tujuan agar orang yang sakit itu tidak cemas atau mengalami goncangan batin yang dapat membuat penyakitnya lebih parah lagi.  Tidak ada kejahatan yang tidak dapat dilakukan oleh orang yang berbohong dengan sengaja. Yang melakukan pelanggaran dalam satu hal ini, tidak mempedulikan dunia yang akan datang (It. 18). Musavada dalam pengertian yang lebih luas mencakup memfitnah (pisunavaca), berkata kasar (pharusavaca), dan bergunjing atau pembicaraan yang tidak benar (samphappalapa). Pisunavaca suatu istilah pali yang terdiri dari dua kosakata, yaitu pisuna dan vaca. Kata pisuna secara harfiah berarti ‘menimbulkan perpecahan, pertikaian dan pertengkaran’, sedangkan kata vaca berarti ‘ucapan atau perkataan’. Jadi gabungan kedua kata itu berarti ‘mengucapkan perkataan yang dapat menimbulkan perpecahan, pertikaian, dan pertengkarang kepada kedua belah pihak atau orang yang sebelumnya hidup dalam kerukunan’. Pisunavaca dapat diartikan ‘menghasut atau memfitnah’.

Penghasutan dan penfitnahan telah tejadi bila terdapat empat faktor,  yaitu:
1.         Ada orang yang akan difitnah (bhinditabbo paro)
2.         Ada niat untuk memfitnah (bhedapurekkharata)
3.         Ada usaha yang dilakukan untuk memfitnah (tajjo vayamo)
4.         Ada orang yang percaya atau terpengaruh oleh fitnahan tersebut (tassa tadatthavijajanam)
Bilamana unsur keempat tersebut sampai menimbulkan perpecahan, telah terjadi akusalakammapatha. Bila tidak, hanya merupakan pelanggaran sila.

Pharusavaca terdiri dari dua kata pharusa dan vaca. Arti harfiah dari pharusa adalah ‘kasar’ dan vaca berarti ‘ucapan’. Gabungan dari kedua kata itu bermakna ‘ucapan yang kasar’. Pharusavaca mungkin juga terdiri dari kata phara, usa dan vaca. Kata phara berarti ‘menyebarkan’,sedangkan kata usa berarti ‘sakit hati, gusar’ atau ‘marah’. Gabungan ketiga kata itu berarti ‘mengucapkan kata-kata yang menimbulkan sakit hati, kegusaran pada orang lain’. Pharusavaca dapat diterjemahkan dengan ‘mengucapkan kata-kata kasar yang menimbulkana sakit hati atau kemarahan pada orang lain’, atau dengan kata-kata yang lebih singkat ‘berkata kasar’.
Berkata kasar dapat terjadi bila terdapat empat unsur:
1.         Ada orang yang akan dimaki (akkosittabo paro)
2.         Pikiran yang penuh oleh amarah (kupitacittam)
3.         Mengucapkan kata-kata kasar (akkosana)
4.         Orang yang mendengar sakit hati, marah atau gusar.
Bila unsur keempat itu timbul, orang yang dimaki itu mengerti perkataan yang dilontarkan kepadanya, maka telah terjadi akusalapatha. Bila tidak, hanya merupakan pelanggaran sila.

Samphappalapa terdiri dari dua kata sampha dan palapa. Secara harfiah sampha berarti ‘melenyapkan manfaat dan kebahagiaan’, sedangkan palapa berarti ‘ucapan’ atau ‘perkataan’. Bila kedua kata itu digabungkan, berarti ‘mengucapkan kata-kata yang dapat melenyapkan manfaat dan kebahagiaan’. Istilah samphappalapa dapat diterjemahkan dengan’pembicaraan yang tidak berguna atau tidak bermanfaat’.
Suatu pembicaraan yang tidak berguna dapat dikatakan telah terjadi bila terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1.      Berniat untuk mengutarakan sesuatu yang tidak bermanfaat (niratthaka-katharupekkharata)
2.      Mengucapkan sesuatu yang tidak bermanfaat (tatharupikatha-kathanam).

Bilamana pembicaraan yang tidak berguna menyebabkan pendengarannya percaya bahwa hal itu suatu kebenaran, maka pembicara telah melanggar sila keempat. Suatu samphappalapa akan memberikan akibat yang berat apabila sering dilakukan.
Surameraya majjapamadatthana istilah ini terdiri dari empat kosakata, yaitu: sura, meraya, majja, dan pamadatthan. Yang dimaksudkan dengan meraya adalah minuman keras yang diperoleh dari peragian dari berbagai bahan, antara lain: gula, tepung beras atau ketan, buah-buahan, misalnya anggur. Minuman ini bila disuling untuk meningkatkan aroma dan kekuatannya akn menjadi sura. Kedua jenis ini sam buruknya karena memperlemah pengendalian diri, dengan demikian menyebabkan seseorang melakukan apa saja yang tidak pernah ia mimpikan untuk melakukannya dalam saat-saat normal.
Majja berarti ‘sesuatu yang menyebabkan orang tidak sadarkan diri’. Sura mengacu kepada minuman keras yang disuling, meraya kepada minuman keras yang didapat dari bahan yang diragikan yang kedua-duanya menyebabkan lemahnya pengendalian diri dan majja mengacu kepada ganja, morfin, heroin dan lain-lain yang semacam itu. Pamadatthana terdiri dari kata pamado dan tthana. Pamado berarti ‘kecorobohan, kelengahan, kelalaian’. Kata tthana berarti ‘landasan’ atau ‘basis’. Pamadatthana berarti ‘yang menjadi dasar atau landasan untuk timbulnya kelengahan, kecerobohan, dan kelalaian’.
Gabungan keempat kata itu mengandung pengertian memakai atau menggunakan sesuatu yang dapat memabukkan atau membuat tidak sadar diri yang menjadi dasar untuk timbulnya kelengahan atau kecerobohan. Oleh sebab itu surameraya majjapamadatthana dapat disepadankan dengan ‘segala yang dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan’.
Sila kelima ini telah dilanggar, bila terdapat empat faktor sebagai berikut:
1.         Ada sesuatu yang merupakan sura, meraya, majja (suramerayamajjabhavo)
2.         Ada niat untuk meminum, menggunakannya (pivitukamata)
3.         Meminum atau menggunakan (pivanam)
4.         Timbul gejala-gejala mabuk (maddanam)

Menurut buddhaghosa, surameraya majjapamadatthana yang terdapat dalam dasasila faktor keempat tersebut, ialah meminumnya hingga masuk melalui tenggorokan (pite capavisati).  Jadi walaupun belum atau bahkan tidak mabuk, seorang samanera yang meminum minuman keras berarti telah melanggar sila kelima. Penjelasan ini digunakan juga  untuk menafsirkan istilah maddanam dalam Atthanga Sila.

Mereka yang tidak melaksankan Pancasila yang merupakan latihan moral yang minimal, berarti mereka telah memotong akar kelahirannya sebagai manusia. Sang Buddha bersabda:
“Siapa saja yang memusnahkan makhluk hidup, berkata tidak benar dialam ini, mengambil yang tidak diberikan kepadanya atau pergi bersama isteri orang lain (untuk memuaskan nafsu indria yang salah) dan memuaskan diri demikan, memotong akar (kebajikan) dalam dirinya di ala mini” (Dhp. 246-247).
Sila tersebut disebut manussa-dhamma (dhamma manusia), karena pelaksanaan sila ini akan mendapatkan kelahiran ditempat yang berbahagia. Kadar pelaksanaan sila menentukan apakah ia akan terlahir sebagai dewa, atau manusia yang beruntung (manusasombhaggama) atau manusia sengsara (manusaadobhaggama). Dia mendorong orang lain untuk menjauhkan diri dari membunuh , mencuri, perilaku seksual yang salah, ucapan yang tidak benar dan zat-zat yang bersifat meracuni, tetapi dia sendiri tidak memperaktekkan pengendalian seperti itu (A. IV. 99).
Dalam Maha Parinibbana  Sutta, Sang Buddha bersabda kepada gharavasa (perumah tangga) tentang faedah dari sila, sebagai berikut:
1.   Sila menyebabkan seseorang memiliki banyak harta kekayaan,
2.   Nama dan kemashyurannya akan tersebar luas,
3.   Dia menghadiri setiap pertemuan tanpa ketakutan atau keragu-raguan, karena ia menyadari bahwa ia tidak akan dicela atau didakwa orang banyak,
4.   Sewaktu akan meninggal dunia hatinya tentram, dan
5.   Akan terlahir dialam surga.
Setiap perbuatan baik maupun buruk akan mendapatkan akibat. Akibat yang diperoleh jika melakukan perbuatan buruk karena melanggar Pancasila Budhhis adalah:
1.         Akibat melanggar sila pertama: pendek umur, sakit-sakitan, dan terlahir cacat;
2.         Akibat melanggar sila kedua: terlahir miskin, keinginan tidak tercapai, hidup selalu tergantung pada orang lain, rejekinya tidak lancer, dan barang yang dimiliki cepat hilang atau tidak tahan lama;
3.         Akibat melanggar sila ketiga: tidak disenangi orang, memiliki penyakit kelamin, memiliki pasangan hidup yang tidak disenangi, dan terlahir sebagai wadam/banci/waria;
4.         Akibat melanggar sila keempat: menjadi sasaran penghinaan, memiliki penyakit mulut, mulut berbau tidak sedap, tidak dipercaya, dan tidak disenangi;
5.         Akibat melanggar sila kelima: tidak disenangi keluarga dan masyarakat, berpenyakitan, memiliki banyak musuh, dan kecerdasan berkurang.

B.     Pancadharma
Melaksanakan Pancasila disebut melakukan perbuatan baik yang bersifat pasif yakni menghindari melakukan perbuatan yang tercela. Jika Pancasila bersifat pasif, adakah yang bersifat aktif? Terdapat pasangan dari pelaksanaan Pancasila Buddhis yang bersifat pasif yakni yang akan memuliakan (mendukung) mereka yang memperaktikkan sila (Kalyana Dhamma). Pendukung praktik sila ini disebut dengan Pancadharma. Pancadharma berasal dari bahasa sansekerta atau pancadhamma (pali) yang terdiri dari dua kosakata yaitu panca dan dharma. Panca artinya lima sedangkan dharma artinya kebenaran (ajaran). Jadi Pancadharma artinya lima ajaran atau kebenaran.
Pancadharma terdiri dari lima sifat mulia, yakni:
a.       Metta-karuna, yaitu cinta kasih dan belas kasihan
b.      Sama-Ajiva, yaiitu penghidupan benar
c.       Santutthi, yaitu rasa puas
d.      Sacca, yaitu kebenaran atau kejujuran
e.       Sati-sampajanna, yaitu perhatian dan kewaspadaan

a.      Metta-karuna
Metta-karuna merupakan dua sifat luhur bagian dari empat kediaman luhur (brahama vihara) atau juga yang disebut dengan keadaan tidak terbatas (apamanna). Metta berarti perasaan cinta kasih yang universal, tanpa ada keinginan untuk memiliki. Cinta kasih merupakan keinginan akan kebahagiaan semua makhluk, serta mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk lain. Karuna berarti perasaan belas kasihan terhadap makhluk lain yang menderita. Corak menonjol dari sifat ini adalh memiliki kecenderungan untuk menghilangkan pendritaan orang lain. Dua sifat tersebut memiliki objek yang berbeda, jika sifat cinta kasih (metta) tujukan kepada semua makhluk baik itu manusia, binatang, ataupun makhluk lain yang menderita ataupun bahagia, karuna memiliki objek semua makhluk yang menderita dan pantas dikasihani. Dua sifat ini merupakan kalya dhamma dari praktik Pancasila Buddhis pertama yakni melatih diri untuk tidak membunuh makhluk hidup.
Metta dirumuskan sebagai keinginan akan kebahagian semua makhluk tanpa kecuali. Metta juga sering dikatakan sebagai niat suci yang mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk-makhluk lain, seperti seorang sahabat mengharapkan dan kebahagiaan temannya.
“Bagaikan seorang ibu yang melindungi anak tunggalnya, sekalipun mengorbankan kehidupannya; demikian juga seharusnya seseorang memelihara cinta kasih yang tidak terbatas itu kepada semua makhluk”, demikian nasihat dari Sang Buddha. Disini yang dimaksud bukanlah perasaan cinta yang didasarkan atas nafsu yang dimiliki seorang ibu terhadap anaknya, melainkan keinginan yang murni untuk menyejahterakan anaknya.
Metta bukanlah cinta kasih yang dilandasi nafsu atau kecendrungan pribadi, karena dari keduanya ini, tanpa dapat dihindarkan akan timbul kesedihan. Metta bukan hanya terbatas dalam pemisahan bertetangga, karena ini akan menimbulkan sikap-sikap membedakan antara tetangga dengan lainnya. Metta bukanlah persaudaraan universal semata, ia mencakup semua makhluk hidup termasuk binatang-binatang, saudara-saudara kita yang lebih rendah yang membutuhkan cinta kasih yang lebih besar kerena mereka tak berdaya. Sifat bajik dan mulia merupaka corak yang khas dari metta. Orang yang melatih metta selalu gembira dalam memajukan kesejateraan orang-orang lain. Ia mencari kebaikan dan keindahan dalam segala sesuatu, dan bukan melihat kejelekan orang lain.
Berkah metta, yaitu
1.      Ia yang melaksankan metta akan tidur dengan bahagia. Bila pergi tidur dengan hati yang terang bebas dari kebencian ia tentu saja langsung tertidur. Kenyataan ini dengan jelas ditunjukkan oleh mereka yang penuh cinta kasih. Mereka dengan cepat tertidur segera setelah menutup mata mereka.
2.      Bila ia pergi tidur dengan hati yang penuh cinta ia akan bengun dengan hati penuh cinta yang sama. Orang yang penuh kebajikan dan kasih sayang ini selalu bangun tidur dengan wajah yang berseri.
3.      Bahkan dalam tidur orang yang penuh cinta ini tidak akan gelisah karena mimpi-mimpi buruk. Karena mereka penuh dengan cinta selama waktu mereka bangun, merekapun damai dalam tidur mereka. Atau mereka tidur nyenyak atau bermimpi yang menyenangkan.
4.      Ia dicintai orang lain. Bila ia mencintai orang lain, maka orang lainpun akan mencintainya. Bila seseorang melihat pada kaca dengan wajah tersenyum, wajah yang sama akan menyambutnya. Jika sebaliknya, ia melihat dengan wajah yang masam, ia akan melihat pantulan yang sama.
5.      Ia yang melaksanakan metta akan cinta pada yang bukan manusia juga. Binatang-binatang juga tertarik padanya. Dengan memancarkan cinta kasihnya, para petapa tinggal didalam hutan-hutan yang liar dikalangan binatang-binatang buas yang ganas tanpa disakiti oleh mereka.
6.      Dengan memberikan kekuatan mettanya ia menjadi kebal terhadap racun dan sebagainya kecuali ia dikuasai beberapa kamma yang tidak dapat ditawar.
7.      Para dewa yang tidak terlihat oleh mata jasmani, melindunginya karena kekuatan mettanya.
8.      Metta menyebabkan pemusatan pikiran dengan cepat. Karena pikiran tidak gelisah dengan pancaran-pancaran yang bermusuhan, pikiran pada satu titik dapat dicapai dengan mudah. Dengan pikiran yang damai ia akan hidup di alam surya ciptaannya sendiri. Bahkan orang-orang yang datang untuk berhubungan dengan dia juga akan mengalami berkah tersebut.
9.      Metta cenderung bepindah ekspresi wajah seseorang, wajah biasanya menggambarkan keadaan pikiran. Bila seseorang sedang marah, jantungnya memompa darah dua atau tiga kali lebih cepat dibandingkan pada keadaan normal. Darah yang mengalir ke wajah, yang kemudian berubah menjadi merah atau hitam. Pada saat itu wajah menjadi menjijikan untuk dipandang. Pikiran yang penuh cinta kasih sebaliknya, menggembirakan jantung dan menjernihkan darah. Wajahnya kemudian memperlihatkan rupa yang memikat.
10.  Seseorang yang dikaruniai metta akan meninggal dengan tenang karena ia tidak mempunyai pikiran benci terhadap siapapun. Bahkan setelah kematian wajahnya yang tenteram membayangkan kematiannya yang terang.
11.  Bila seseorang yang mempunyai metta akan meninggal dengan bahagia, ia kemudian akan dilahirkan pada suatu keadaan yang penuh kebahagiaan. Jika ia mencapai jhana (kegembiraan yang luar biasa), ia akan dilahirkan dialam brahma.

Karuna dirumuskan sebagai sesuatu yang dapat menggetarkan hati ke arah rasa kasihan bila mengetahui orang lain sedang menderita, atau kehendak untuk meringankan penderitaan orang lain. Coraknya yang paling menonjol adalah kecendrungan untuk menghilangkan penderitaan orang lain. Hati orang yang penuh kasih sayang bahkan lebih lembut dari pada bunga. Mereka tidak dan tidak dapat puas beristirahat sampai mereka meringankan penderitaan pihak lain. Kadang kala mereka bertindak sampai mengorbankan kehidupan mereka untuk meringankan penderitaan orang lain. Cerita Vyaghri Jataka dimana boddhisatva mengorbankan hidupnya untuk menyelamatkan harimau betina dan anak-anaknya dapat disebutkan sebagai contoh.


b.      Samma-ajiva
Samma-ajiva merupakan bagian dari jalan Mulia Berunsur delapan yang berarti cara berpenghidupan benar atau bermata pencaharian benar. Bermata pencaharian benar berarti memiliki mata pencaharian atau pekerjaan yang dilakukan dengan tidak merugikan diri sendiri maupun makhluk lain. Mata pencaharian dikatakan benar apabila dalam mendapatkan penghasilan dilakukan dengan mencari penghidupan untuk mencukupi kebutuhan keluarga (perumah tangga) dengan tidak melanggar lima macam perdagangan salah (Panca Vanijja), yakni: 1) tidak berdagang makhluk hidup, 2) senjata tajam, 3) tidak berdagang daging, 4) tidak berdagang racun, dan 5) tidak berdagang minuman keras.

c.       Santutthi
Santutthi berarti perasaan puas  terhadap apa yang telah menjadi miliknya. Kepuasan ini bermakna menerima keadaan sebagaiman adanya dengan keseimbangan dan tanpa menggerutu. Perasaan puas ini dapat juga diartikan sebagai rasa puas yang berhubungan dengan hawa nafsu, dan puas terhadap pasangan hidupnya, tetapi jika belum memiliki pasangan hidup seseorang harus puas dengan keadaannya sehingga tidak melakukan perbuatan yang melanggar sila ketiga.
Perasaan puas terhadap pasangan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1.      Sadarasantutthi
Sadarasantutthi yakni perasaan puas memiliki satu istri. Puas dengan satu istri adalah tidak ingin memiliki istri lagi dan puas dengan keadaan apapun yang dimiliki istrinya. Puas dengan keadaan istri adalah ketika istri sehat maupun sakit, ketika masih muda maupun tua, jelek maupun cantik. Rasa puas ini juga patut dikembangkan oleh laki-laki yang baru menjalin hubungan dengan seorang wanita dalam hubungan kekasih maupun tunangan dengan tetap menjaga kesetiaan.

2.    Pativatti yakni rasa setia kepada seuaminya. Rasa puas ini sama halnya dengan ras puas terhadap istri (sadarasantutthi). Rasa puas seorang istri terhadap suami adalah akan selalu puas dan menerima keadaan apapun suaminya dan tidak akan meninggalkannya. Demikian pula bagi seorang wanita yang belum menikah tetapi menjalin hubungan kekasih atau tunangan.
Dengan dasar cinta kasih sejati dengan saling menyayangi, saling melindungi, saling percaya, saling menghormati, sehingga tidak terjadi perselisihan diantara keluarga. Jika dasar perkawinan kuat dan mantap dengan mengembangkan keyakinan (saddha), moral yang baik (sila), kedermawanan (cagga), dan kebijaksanaan (panna), dengan saling percaya, jujur dalam segala tindakan dan saling memahami diantara mereka maka perselingkuhan tindak penyelewengan seksual tidak akan terjadi.

d.   Sacca
Sacca berarti kebenaran atau kejujuran. Kebenaran dan kejujuran adalah keadaan yang sesui dengan keadaan atau kejadian yang sesungguhnya. Kebenaran dan kejujuran dapat diwujudkan dalam tindakan melalui pikiran, ucapan, dan badan jasmani. Akan tetapi kata kebenaran dan kejujuran ini lebih umum digunakan sebagai perkataan yang benar, sesuai dengan keadaan atau kejadian sesungguhnya serta apa adanya tanpa ditutup-tutupi.
Dasar pemikiran kejujuran adalah dengan saling percaya dan bebas penghianatan. Jika seseorang sudah tidak berlaku jujur terhadap teman atau suami-istri maka semuanya akan berakhir buruk. Jika dalam satu keluarga sudah tidak saling jujur antara suami-istri baik dalam uang atau pekerjaan maka keluarga itu akan berantakan. Demikian juga semua teman, jika ada perilaku curang maka hubungan itu tidak akan berlagsung lama.
Menurut Harita Jataka (No.431) seorang Boddhisatva, dalam rentang pengembaraan kehidupan, tidak pernah berbohong walaupun suatu ketika ia mungkin melanggar empat peraturan yang lain. Bahkan untuk berbuat sopan kejujuran pun tidak disembunyikan. Ia membuat kejujuran sebagai penunjuk, dan memegangnya sebagi kewajiban untuk menepati perkataannya. Ia mempertimbangkan dengan baik sebelum ia membuat janji, tetapi sekali ia berjanji ia penuhi dengan cara apapun, bahkan dengan kehidupannya.
Dalam Hiri Jataka (No.363) sang boddhisatva menasehati: ‘kamu harus melakukan setiap janji menjadi kenyataan, janganlah berjanji yang tidak dapat kamu lakukan,orang bijaksana yang membual tampak aneh’.
Seorang boddhisatva dapat dipercaya, tulus dan jujur. Apa yang ia pikirkan, ia ucapkan. Terdapat keselarasan yang sempurna dalam pikiran, ucapan dan perbuatannya.

e.    Sati sampajanna
Sati diartikan sebagai ingatan, pengenalan, kesadaran, perhatian dan kewaspadaan. Sedangkan Sampajanna diartikan sebagai pengertian atau pengetahuan lengkap tentang kebenaran, tentang kelayakan, tentang ruang lingkup (yang ingin dicapai), dan pengertian yang lengkap untuk bebas dari kegelapan batin, bebas dari moha. Dalam pelaksanaan Dhamma dan aktifitas sehari-hari sati dapat dimaksudkan sebagai ingatan, perhatian, waspada, serta kesadaran sebelum melakukan perbuatan. Lawan dari sati adalah “lupa”. Agar tidak melalaikan pekerjaan karena lupa maka sati harus dijaga dalam kehidupan sehari-hari. Sampajanna dapat juga diartikan sebagai kesadaran. Mereka menyadari bahwa mereka sedang berbohong dan berusaha agar pembicaraan itu dapat dipercaya oleh orang lain.
Jenis kesadaran ini (sampajanna) adalah bila disertai dengan empat cirri dari sampajanna, yaitu;
1.   Menyadari manfaat yang sedang kita lakukan
2.   Menyadari bahwa apa yang sedang kita lakukan sesuai atau tidak dengan diri kita sendiri
3.   Menyadari bahwa apa yang kita lakukan itu akan menimbulkan sukkha atau dukkha
4.   Menyadari bahwa apa yang kita lakukan itu merupakan suatu kebodohan atau didasari dengan pengertian yang benar.

Keempat faktor kesadaran yang demikian merupakan faktor dari sampajanna dan memberikan kesadaran bagi kita untuk tidak mengerjakan pekerjaan yang sia-sia, tidak sesuai dengan posisi kita, serta dengan cara yang keliru. Dengan adanya kesadaran ini maka kita dapat langsung menyesuaikan dan menambah kebajikan. Sati sampajanna lebih sering diterapkan dalam meditasi pandangan terang (Vipassana Bhavana) yaitu dengan menyadari dan mengerti akan gerak-gerik batin dan jasmani, sedangkan dalam kehidupan memiliki manfaat yang besar sebagai pengendali dalam setiap perbuatan. Perbuatan apapun yang akan dilakukan jika disertai Sati Sampajanna maka perbuatan tersebut tidak akan merugikan makhluk lain ataupun diri sendiri.

C.    Hubungan Pancasila dengan Pancadharma
Penjelasan diatas telah dijelaskan bahwa Pancadharma merupaka pendukung praktek Pancasila Buddhis. Pancadharma disebut pendukung praktek Pancasila Buddhis karena jika memiliki sifat mulia dalam Pancadharma maka praktek Pancasila Buddhis akan terlaksana. Lebih jelasnya hubungan Pancadharma dengan Pancasila di jelaskan dalam tebel dibawah ini!
No.
Pancadharma
Pancasila
1
Metta-karuna (cinta kasih dan belas kasih)
Menghindari pembunuhan
2
Samma-ajiva (penghidupan atau mata pencaharian benar)
Menghindari pencurian
3
Santutthi (rasa puas)
Mengindari perbuatan asusila
4
Sacca (kebenaran atau kejujuran)
Menghindari berbohong
5
Sati-sampajanna (waspada dan pengertian)
Menghindari mabuk-mabukan

a.       Hubungan metta-karuna dengan sila pertama Pancasila Buddhis (tidak membunuh)
Jika setiap orang memiliki sifat metta dan karuna, megembangkan dua sifat ini setiap saat maka tidak akan ada pelanggaran Pancasila Buddhis pertama. Mereka yang memiliki cinta kasih tidak akan tega untuk menyakiti makhluk lain, dan mereka yang memiliki belas kasihan juga tidak akan tega melihat orang lain menderita tetapi ingin melihat makhluk lain bahagia bebas dari penderitaan.
b.      Hubungan samma-ajiva dengan sila kedua Pancasila Buddhis (tidak mencuri)
Mereka yang memiliki mata pencaharian benar dan menanamkan dalam dirinya untuk selalu bermata pencaharian benar tidak akan melakukan pekerjaan yang merugikan makhluk lain. Dengan demikian ia tidak akan melanggar sila kedua dari Pancasila Buddhis yaitu mengambil barang yang tidak diberikan oleh pemiliknya. Karena itulah Pancadharma kedua ini disebut sebagai pendukung praktek dari Pancasila Buddhis sila kedua.
c.       Hubungan santutthi dengan sila ketiga Pancasila Buddhis (tidak berbuat asusila)
Dengan memiliki rasa puas terhadap pasangan suami, istri, kekasih, maupun tunangan akan mendukung praktek pancasila buddhis ketiga yaitu tidak melakukan perbuatan asusila, karena mereka yang puas akan setia terhadap pasangannya dan tidak akan merakukan perbuatan asusila.
d.      Hubungan sacca dengan sila keempat Pancasila Buddhis (tidak berbohong)
Kejujuran diartikan sebagai mengatakan sesuatu sesuai dengan kebenaran, keadaan sesungguhnya, dan tanpa ditutup-tutupi. Memiliki kejujuran berarti akan mengatakan sesuatu dengan benar, beralasan, bermanfaat, dan dikatakan tepat pada waktunya. Hal ini sesuai dengan ucapan benar dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dengan memiliki ucapan benar, maka akan mendukung praktek Pancasila Buddhis sila keempat yaitu tidak berbohong.
e.       Hubungan sati sampajanna dengan sila kelima Pancasila Buddhis (tidak mebuk-mabukkan)
Sikap waspada dan pengertian dalam berbagai segi kehidupan termasuk waspada dalam makanan, pakaian, tingkah laku, maupun hakikat hidup dan kehidupan, maka dapat mendukung praktek Pancasila Buddhis yang kelima yaitu tidak mebuk-mabukkan. Dengan waspada dan pengertian dalam makanan orang akan berhati-hati ketika akan mengkonsumsi makanan dan minuman, serta penuh pengertian bahwa makanan atau minuman yang dikonsumsinya tidak dapat melemahkan kesadaran.

Memiliki pancadharma memiliki manfaat yang besar, yaitu akan membuat mulia bagi yang melaksanakan dan memilikinya. Sifat-sifat mulia pancadharma sebagai pendukung pancasila ini dimiliki oleh para ariya. Mereka yang melatih malaksanakan sila belum tentu memiliki sifat-sifat mulia Pancadharama.

D.    Penerapan Pancasila Buddhis dan Pancadharma
Mempraktikkan Pancasila secara langsung dirasakan sangat susah terutama bagi umat awam yang masih bersentuhan dengan kehidupan duniawi. Sulitnya praktik ini perlu ditunjang dengan memiliki sifat mulia (Pancadharma),  sehingga secara langsung sila yang dilatih dapat dipraktikkan dengan dukungan Pancadharma tersebut.
Penerapan pancadharma dapat dipraktikkan dalam berbagai segi kehidupan sehari-hari. Jika seseorang dapat melaksanakan Pancadharama maka dia akan dapat melaksanakan Pancasila. Dari Uraian diatas jelaslah bagi kita bahwa Pancasila Buddhis dan Pancadharma merupakan dua hal yang saling berhubungan. Pancasila Buddhis adalah penghindaran dari perbuatan yang tidak baik. Sedangkan Pancadharma adalah pelaksanaan dari perbuatan baik. Pancasila buddhis gunanya untuk pengendalian diri. Sedangkan Pancadharma adalah untuk mengembangkan perbuatan baik.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Buddhis adalah lima latihan yang harus dilaksanakan oleh umat Pancasila Buddha. Lima latihan tersebut adalah
1.      Tidak membunuh
2.      Tidak mencuri
3.      Tidak berbuat asusila
4.      Tidak berbohong
5.      Tidak mabuk-babukan
Lima latihan tersebut  merupakan dasar perilaku manusia. Dengan menaati pancasila, dapat memiliki pikiran yang terang, jernih dan saleh. Kita akan memiliki hidup yang bahagia dan penuh percaya diri.

Pancadharma adalah lima kebenaran yang berhubungan dengan Pancasila Buddhis. Dengan melaksanakan Pancadharma maka Pancasila Buddhis akan terlaksana. Lima kebenaran tersebut adalah
1.      pencaharian benar
2.      Rasa Cinta kasih-Belas kasihan
3.      Mata puas
4.      Kejujuran
5.      Waspada dan pengertian
Memiliki pancadharma memiliki manfaat yang besar, yaitu akan membuat mulia bagi yang melaksanakan dan memilikinya.







B.     Saran
Demikianlah makalah ini dibuat, penulis berharap dengan adanya makalah ini semua umat Buddhis terutama generasi muda mengerti dan mengetahui bahwa dengan melaksanakan Pancasila Buddhis dan Pancadharma dapat membawa kebahagian baik dikehidupan sekarang mauapun kehidupan yang akan datang.
Saran dan kritikan dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis, guna untuk mengoreksi kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam penulisan makalah ini, sehingga untuk kedepanya penulis dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan tersebut. Semoga makalah ini dapat menjadi bahan atau pedoman untuk di gunakan sebagaimana di harapkan.















Daftar Pustaka
Anguttara Nikaya 2. Numerical Discourses of The Budhha. Diterjemahkan oleh Nyanaponika Thera dan Bhikkhu Bodhi. Juni 2003.
Gunawan, Prajnadhika. 1971. Dharma dalam Kehidupan Sehari-hari. Jakarta: Kleuarga Besar Dharmasagara.
Lay U Ko. Panduan Tipitaka. Diterjemahkan oleh Dra. Lanny Anggawati dan Wena Cintawati. Magelang: Vihara Bodhivamsa. 2000.
Mahathera Narada. Sang Buddha dan Ajaran-ajarannya bagian II. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama. 1998.
Mahathera Narada. The Dhammapada. Bandung: Yayasan Buddhis Karaniya, Oktober 1989.
Mukti,  Wijaya, Krishnanda. 2003. Wacana Buddha Dharma. Yayasan  Dharma Pembangunan. Jakarta.
Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013.
Rashid, Teja S.M. (Pandita Dhammavisarada). Sila dan Vinaya. Jakarta: Penerbit Buddhis Bodhi. 1997.
Salim, Juniarti (pandita). Upakarika, Ana. Jennifer. Ehipassiko. Jakarta: Buku Pelajaran Agama Buddha. 2012.
Suliani, Puji. Hemajoyo Sulan. Dharmacakra. Jakarta: CV. Karunia Jaya.2011
The Itivuttaka, The Buddha’s Saying. Diterjemahkan oleh John D. Ireland. Bandung: Lembaga Anagarini Indonesia. 1998
Tim penyusun. Materi Kuliah Agama Buddha untuk Perguruan Tinggi Agama Buddha. Kitab Suci Vinaya Pitaka. Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi. 2003.
Witono.  Hemajoyo, Sulan. Buku Pendidikan Agama Buddha. Jakarta: CV. Karunia Jaya. 2011
Wowor, Cornelis MA. 1997. Pandangan Sosial Agama Buddha. Jakarta: CV. Nitra Kencana Buana