BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam agama Buddha, sila merupakan dasar utama dalam
pelaksanaan ajaran agama, mencakup semua perilaku dan sifat-sifat baik yang
termasuk dalam ajaran moral dan etika agama Buddha. Pancasila yang
diberikan oleh bhikkhu kepada upasaka
dan upasika dalam pengertian sesungguhnya bukanlah sila, tetapi suatu
sikkhapada (peraturan-pelatihan). Dalam agama Buddha, sila dapat dalam
pengertian yang sempit dan dalam pengertian yang luas. Dalam pengertian sempit
adalah perbuatan lahiriah berupa ucapan dan perbuatan jasmaniah. Sila dalam
pengertian luas bila termasuk kedalamnya perilaku melalui pikiran sesui dengan
norma baik atau kehendak (cetana).
Dalam kode disiplin, ada peraturan-peraturan
tertentu yang secara langsung berkaitan dengan perilaku seseorang dalam
kehidupan masyarakat di samping peraturan-peraturan yang hanya berkenaan moral
pribadinya. Sering kali orang menganggap peraturan adalah beban dan ikatan yang
membatasi kebebasan. Padahal seharusnya, sebagaimana dinyatakan oleh Buddha,
Dharma merupakan rakit atau alat untuk menyebrang, perlu untuk menyelamatkan
diri, bukan untuk dijadikan beban (M. I,
135). Sila dan vinaya justru dibutuhkan oleh mereka yang ingin mencapai
kebebasan.
Semua umat Buddha wajib menerima sila. Yang lebih
penting lagi, kita harus menaatinya. Seseorang yang menerima tetapi tidak
menaatinya lebih buruk dari orang yang belum menerima sila. Hal ini kerena ia
telah merusak badan (dasar) sila. Hal ini sangat berpengaruh pada pikiran kita
dan membuat kita dapat menahan diri dari daya tarik luar karena adanya kekuatan
untuk menangkalnya. Banyak orang melanggar sila karena mereka tidak menghargai
sila. Saat kita melanggar satu sila, kebiasaan buruk untuk melanggar sila akan
berlanjut. Kita kemudian tidak menghargai sila sama sekali. Kita mulai nakal
dan tingkah laku kita tidak terkendali. Keyakianan kita pada Triratna akan
luntur dan akhirnya hilang.
Kita tidak boleh teledor dalam menerima sila dan
wajib mempertimbangkan masak-masak bila menerimanya. Kita tidak boleh menerima
sila kerena hanya refutasi dan rasa bangga, atau hanya ikut-ikutan. Mudah untuk
memakai “baju sila”, tetapi kita harus bertanya pada diri sendiri apakah kita
pantas memakainya. Kita tidak boleh memaksa diri melakukan hal-hal yang tidak
dapat dicapai. Hal ini dapat berkembang menjadi kebiasaan buruk melalui
pelanggaran sila. Beberapa orang merasa rendah diri dan tidak menyukai diri
sendiri. Mereka melakukan kesalahan berulang-ulang. Kita harus menganjurkan dan
menolong mereka mendapatkan rasa percaya diri dan harga diri. Dengan cara ini
mereka akan dapat mempertahankan pancasila. Kita harus memahami tujuan menerima
sila dan memastikan kita serius dalam mentaati sila-sila tersebut. Kita dapat
menganjurkan orang lain untuk mentaati sila dan berlatih dengan tekun. Dengan
lima sila ini, kita dapat mengajarkan anak-anak kita untuk menjadi orang baik.
B.
Runusan masalah
a. Apa pengertian Pancasila ?
b. Apa pengertian Pancadharma ?
c. Bagaimana hubungan Pancasila dengan Pancadharma ?
d. Bagaimana penerapan Pancasila dan Pancadharma ?
C.
Tujuan
Tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah memberi pemahaman kepada masyarakat luas terutama kepada masyarakat Buddhis tentang Pancasila
dan Pancadharma, bagaimana hubungan dan penerapan pancasila dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian penyusun berharap kepada pembaca makalah ini agar
dapat mengamalkan atau memperaktikkan Pancasila Buddhis dan Pancadharma dalam
kehidupan sehari-hari.
D.
Manfaat
Adapun
manfaat dari penulisan makalah ini yaitu, apabila pembaca memahami isi dari
makalah ini dan memperaktikkannya dalam kehidupan sehari-hari maka seseorang
akan dapat menghilangkan pembawaan yang tidak baik seperti keserakahan, itikad
jahat, iri hati dan sebaliknya dengan malaksanakan sila seoarang akan menimbun
perbuatan baik seperti berdana, itikad baik, kesediaan untuk memaafkan orang
lain. Tidak hanya itu, apabila sila benar-benar dilaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari, tidak hanya membawa kemajuan mental spiritual, meningkatkan
kesejahteraan dan keharmonisan dalam kehidupan perorangan, tetapi juga dalam
masyarakat dan diantara umat manusia. Maka dari itu penulis berharap pembaca
dapat memahami isi makalah ini kemudian dapat mempraktekkannya dalam kehidupan
sehari-hari supaya terbebas dari penderitaan dan dapat terlahir dialam yang
berbahagia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pancasila
Pancasila berasal dari dua suku kata yaitu “Panca
dan Sila’. Kedua suku kata tersebut memiliki arti yang berbeda-beda. Panca
artinya lima sedangkan sila artinya moral atau etika. Jadi pancasila artinya
lima latihan moral dan etika. Pancasila Buddhis adalah lima latihan yang harus
dilaksanakan oleh umat Buddha. Umat Buddha setiap kebaktian pasti membaca
Pancasila Buddhis. Jika kebaktian dihadiri oleh anggota Sangha, umat meminta
tuntunan Tisarana dan Pancasila Buddhis kepada anggota Sangha. Umat Buddha yang
meminta untuk divisudhi upasaka atau upasika pasti meminta tuntunan Pancasila
Buddhis secara khusus kepada Bhikkhu Sangha kemudian berikrar untuk
melaksanakan Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari. Boleh dikatakan
bahwa Pancasila Buddhis merupakan pegangan atau pedoman hidup bagi umat Buddha
terutama bagi upasaka atau upasika. Sila ini bila dilaksanakan dengan baik akan
membawa kemajuan, kemakmuran besar, kehidupan surga, baik sebagai manusia atau
sebagai dewa.
Dalam Kitab Visuddhimagga Buddhaghosa menafsirkan
sila sebagai berikut: Pertama, sila menunjukkan sikap batin (kehendak). Kedua,
menunjukkan penghindaran (virati)
yang merupakan unsure batin (cetasika).
Ketiga, menunjukkan pengendalian diri (samvara)
dan keempat menunjukkan tiada pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan (avitikhama). Hal-hal tersebut dinamakan
sila berkenaan dengan dua pengertian, yaitu: Pertama menimbulkan haromi dalam
hati dan pikiran (samadhana), dan
yang kedua mempertahankan kebaikan dan mendukung pencapaian batin yang luhur (upadharana). Ciri (lakkhana) dari sila
adalah ketertiban dan ketenanga. Sila dengan jalan apapun dijelaska selalu
menampilkan cirri ketertiban dan ketenangan yang terpelihara dan dipertahankan
dengan pengandalian perbuatan jasmaniah, ucapan dan pikiran. Fungsi (rasa) dari sila adalah menghancurkan
kelakuan yang salah dan menjaga seseorang agar tetap tidak bersalah. Wujud (paccupatthana)
sila adalah kesucian (soceyya). Kita
mengenal seseorang dengan melihat rupanya. Demikian pula kita mengenal sila
dengan wujudnya yang suci dalam perbuatan jasmaniah (kaya soceyya), ucapan (vaci
soceyya) dan pikiran (mano soceyya).
Sebab terdekat yang menimbulkan sila adalah adanya hiri dan ottappa. Hiri
adalah malu berbuat jahat dan ottappa adalah takut akan perbuatan jahat.
Pancasila terdiri dari lima latihan moral, yaitu:
1.
Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari
pembunuhan makhluk hidup.
2.
Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami
Aku bertekad akan melatih diri menghindari
pengambilan barang yang tidak diberikan oleh pemiliknya
3.
Kamesumicchacara veramani sikkhapadam samadiyami
Akau bertekad akan melatih diri menghindari
perbuatan asusila
4.
Musavada veramani sikkhapadam samadiayami
Akau bertekad akan melatih diri menghindari ucapan
yang tidak benar
5.
Surameraya majjapamadatthana veramani sikkhapadam samadiyami
Aku bertekad akan melatih diri menghindari segala
minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran.
Panatipata
terdiri dari kata: pana dan atipata. Kosakata pana secara harfiah berarti ‘makhluk’ atau ‘kehidupan’ dan atipata berarti ‘lepas dengan cepat’.
Gabungan kedua kosakata itu mempunyai makna ‘membuat suatu makhluk mengalami
kematian’, atau ‘kehidupan mati’, atau ‘meninggal sebelum waktunya’. Jadinya,
panatipata dapat disepadankan dengan kata ‘pembunuhan’. Suatu pembunuhan telah
terjadi jika terdapat lima faktor sebagai berikut:
1.
Ada makhluk
hidup (pano)
2.
Mengetahui bahwa
makhluk itu masih hidup (panasannita)
3.
Berniat untuk
membunuh (vadhakacittam)
4.
Melakukan usaha
untuk membunuh (upakkamo)
5.
Makhluk itu mati
melalui usaha itu (tena maranam).
Apabila terdapat kelima faktor dalam suatu tindakan
pembunuhan, maka telah terjadi pelanggaran sila pertama. Oleh karena sila
berhubungan erat dengan karma, maka pembunuhan ini berakibat buruk yang berat
atau ringannya tergantung pada kekuatan yang mendorongnya dan sasaran
pembunuhan itu. Jika satu atau dua faktor tersebut tidak terpenuhi maka kita belum melanggar
sila tersebut sepenuhnya. Misalnya, jika seorang tukang batu secara tidak
sengaja menjatuhkan sebuah bata dan membunuh seorang pejalan kaki yang sedang
lewat, hal ini merupakan sebuah pembunuhan. Demikian juga jika kiat memiliki
pikiran untuk membunuh, tetapi tidak melakukan tindakan apapun, dan orang
tersebut meninggal dengan sendirinya maka hal ini juga bukan merupakan sebuah pembunuhan.
Semua makhluk hidup, baik yang besar maupun yang
kecil, takut akan kematian dan lebih memilih untuk hidup. Taku akan kematian
adalah perasaan umum yang dimiliki oleh setiap makhluk. Akan tetapi apakah
semua nyawa memiliki nilai yang sama? Mereka tidak benar-benar sama. Hidup
manusia lebih berharga dari pada hidup anjing. Kita perlu menaati pancasila
agar dapat menjadi manusia, tetapi binatang tidak perlu melakukan hal ini.
Akibat membunuh manusia tentunya lebih besar daripada akibat membunuh binatang,
akan tetapi lebih baik menghindari semua pembunuhan. Jika kita tidak sengaja
membunuh seekor nyamuk atau semut, kita tidak perlu merasa sama kecewanya atau
sama bersalahnya dengan membunuh seorang manusia. Beberapa orang takut berjanji
untuk menaati sila ini karena hal tersebut. Jika kita dapat memahami prinsip di
balik sila ini, kita akan menyadari bahwa cukup mudah untuk menaati sila jangan
membunuh.Jika dengan pikiran yang tidak terkotori dia memancarkan pikiran yang
penuh cinta kasih walaupun hanya pada satu makhluk saja, dia telah melakukan
perbuatan baik melalui hal itu (It. 20).
Adinnadana dari kata: a,
dinna dan adana. Kata a merupakan
sebuah kata sangkal dan dinna berarti
‘barang yang diberikan pemiliknya’, maka adina artinya ‘barang yang tidak
diberikan oleh pemiliknya’. Kata adana
berarti ‘mengambil atau merampas’. Gabungan ketiga kosakata itu, berarti
‘mengambil barang yang tidak diberikan oleh pemiliknya’. Jadi adinnadana dapat
disepadankan dengan ‘pencurian’. Sila jangan mencuri secara tidak langsung
membantu kita menaati sila jangan membunuh. Tubuh kita adalah sebuah kehidupan.
Agar kehidupan bertahan diperlukan makanan dan pendukung. Kita harus bekerja
dan memperoleh uang agar dapat betahan hidup. Uang dapat dianggap sebagai
kehidupan ekstern. Hidup manusia adalah kehidupan ekstern. Sila jangan membunuh
adalah sebuah aturan untuk tidak membunuh kehidupan ekstern kita. Sila ini
adalah sebuah aturan untuk sebuah kehidupan ekstern kita. Mencuri kepunyaan
orang lain dapat mengakibatkan orang lain dalam kesulitan dalam mempertahankan
gaya hidup mereka sehingga mengancam gaya hidup mereka.
Suatu
pencurian telah terjadi bila terdapat lima faktor sebagai berikut:
1.
Suatu barang
milik orang lain (para pariggahitam)
2.
Mengetahui bahwa
barang itu ada pemiliknya (para
pariggahitasannita)
3.
Berniat untuk
mencurinya (theyyacittam)
4.
Melakukan usaha
untuk mengambilnya (upakkamo)
5.
Berhasil
mengambil melalui usaha itu (tena haranam)
Yang dimaksud dengan ‘berhasil melalui usaha itu’
ialah bila barang itu yang telah berpindah dari tempat semula. Misalnya,
pencurian kambing telah terjadi apabila kambing tersebut berpindang dari
tempatnya. Pencurian benda lain telah
terjadi bila barang itu telah terangkat
dari tempat barang itu terletak. Sebagai contoh: seseorang mencuri,
tetapi tiba-tiba pemilik barang itu datang di tempat kejadian itu. Meskipun
pencuri itu mengembalikan barang yang telah dicurinya ke tempat semula, dia
tetap telah melakukan pencurian karena barang itu telah berpindah tempat. Dia
telah melanggar sila kedua. Pelanggaran sila kedua berakibat buruk, sesuai
dengan kekuatan kehendak untuk mencuri. Kekuatan kehendak itu ditentukan oleh:
nilai barang yang dicuri dan tingkat kemajuan rohani pemilik barang yang
dicurinya atau milik orang suci.
Kamesumicchacara
terdiri dari kosakata kama, miccha dan cara. Kata miccha berarti
‘salah’ atau ‘menyimpang’; dan cara
berarti ‘pelaksanaan’ atau ‘perilaku’. Sedangkan kamesu merupakan bentuk jamak dari kata kama pada kasus ketujuh menurut tata bahasa pali. Kama berarti ‘nafsu atau kesenangan
indriawi’. Ada lima kesenangan indria, yaitu: kesenangan indria mata,
kesenangan indria telinga, kesenangan indria hidung, kesenangan indria lidah,
kesenangan indria kulit (permukaan jasmaniah yang merasakan sentuhan). Jadi
kamesumicchaara berarti ‘pemuasan nafsu indriawi yang menyimpang (dari yang
dibenarkan)’ atau dengan kata lain ‘memuaskan nafsu indriawi secara salah’.
Kesenangan indria kulit yang dirasakan melalui sentuhan dalam konteks kamesumicchacara diartikan sebagai
hubungan kelamin. Oleh karena pemuasan indria kulit melalui sentuhan secara
salah membawa akibat yang merugikan diri sendiri maupun orang lain dan
mengganggu ketentraman masyarakat, maka pengertian kamesumicchacara ditekankan dan diartikan dengan ‘melakukan hubungan
kelamin yang salah’.
Ini adalah sila yang sulit ditaati oleh para
pengusaha dan anak muda. Perbuatan asusila adalah salah satu alas an yang
menyebabkan banyak orang kehilangan kesempatan untuk menjadi manusia lagi.
Hanya hubungan seks antara suami dan istri yang diperbolehkan hokum, dan semua
hubungan seks lainnya dianggap sebagai perbuatan asusila. Nafsu seks adalah
salah satu faktor utama yang menyebabkan kita berpindah-pindah dia alam
tumimbal lahir dan terus menderita. Kita dilahirkan didunia ini karena
kesadaran kita sehingga menyebabkan kehidupan kita bermula. Umat buddha harus
berusaha mengendalikan nafsu seks mereka dan selalu penuh perhatian. Agar dapat
bertumimbal lahir sebagai manusia kembali, kita perlu menaati sila jangan
berbuat asusila.
Kamesumicchacara
dapat terjadi bila terdapat empat
faktor yang terdiri dari:
1.
Orang yang tidak
patut untuk disetubuhi (agamantavatthu)
2.
Memepunyai niat
untuk menyetubuhi orang tersebut (tasmim
sevacittam)
3.
Melakukan usaha
untuk menyetubuhinya (sevanappayogo)
4.
Berhasil
menyetubuhinya (maggena maggapatipatti
adhivasenam)
Yang
dikmaksud deangan ‘berhasil menyetubuhinya’ adalah berhasil memasukkan alat
kelaminnya ke dalam salah satu dari lubang vagina, dubur, dan mulut walaupun
sedalam biji wijen.
Mengenai
orang yang tidak patut disetubuhi (agamaniavatthu)
adalah wanita sebagai berikut:
1.
Dibawah
perlindungan ibunya (maturakkhita)
2.
Dibawah
perlindungan ayahnya (piturakkhhita)
3.
Dalam
perlindungan ayah dan ibunya (matapiturakkhita)
4.
Dalam
perlindungan kakak perempuannya atau adik perempuannya (bhaginirakkhita)
5.
Dalam
perlindungan kakak lelakinya atau adik lelakinya (bhaturakkhita)
6.
Dalam
perlindungan sanak-keluarganya (natirakkhita)
7.
Dalam
perlindungan orang sebangsanya (gotarakkhita)
8.
Dalam
perlindungan pelaksana dharma (dhammarakkhita)
9.
Yang sudah
dipinang oleh raja atau orang-orang yang berkuasa (saparidanda)
10. Yang sudah bertunangan (sarakkheta)
11.
Yang sudah
dibeli oleh seorang lelaki, atau telah digadaikan oleh orang tuanya (dhanakkheta)
12.
Yang tinggal
dengan lelaki yang dicintainya (chandavasini)
13. Yang rela dikawini oleh lelaki karena mengharapkan
harta bendanya (bhogavasini)
14. Yang rela dikawini oleh lelaki kerena mengharapkan
sandang (patavasini)
15.
Resmi menjadi
istri seorang lelaki dalam upacara adat istiadat (odapattagini)
16.
Yang menjadi
istri seorang lelaki yang membebaskannya dari perbudakan (abhatasumbatta)
17.
Tawanan yang
kemudian dikawini oleh seorang laki-laki (dhajabata)
18. Pekerja yang dikawini oleh majikannya (kammakaribhariya)
19.
Budak yang
dikawini oleh majikannya (dasibhariya)
20. Yang menjadi istri seorang lelaki dalam jangka waktu
tertentu (muhuttika).
Dari rincian diatas, kelihatan bahwa 12 terakhir
yang mulai dari saparidanta (9) hinga muhuttika (20) adalah wanita yang
mempunyai suami tanpa mempersoalkan latar belakang wanita atau motivasi
perkawinan mereka. Seseorang yang menyetubuhi salah satu dari 20 jenis wanita
tersebut berarti telah melakukan hubungan kelamin yang salah dan melanggar sila
ketiga. Pelanggaran ini akan berakibat buruk, yang berat ringannya tergantung
pada kekuatan yang mendorongnya dan cara pelaksanaannya (misalnya, suatu
perkosaan), serta status atau tingkat rohani dari wanita yang bersangkutan,
misalnya seorang bhikkhuni atau mereka yang telah mencapai kesucian. Nanda
seorang pemuda yang memperkosa bhikkhuni yang telah mencapai tingkat kesucian arahat
bernama Uppalavanna Theri, terlahir di alam neraka Avici. Manusia yang ditemani oleh nafsu
keinginan, berkelana terus dalam perjalanan panjang ini, dia tidak dapat keluar
dari samsara dalam keadaan dumadi yang ini atau yang itu (It. 8.)
Musavada terdiri dari kata musa dan vada. Kata musa berarti ‘sesuatu yang tidak benar’
dan vada berarti ‘ucapan’. Gabungan
kedua kosakata itu menganduang makna ‘mengucapkan sesuatu yang tidak benar’.
Istilah musavada dapat disepadankan
dengan kata ‘berbohong’. Seseorang pernah berkata, jika kita tidak memiliki
mulut., dunia akan lebih damai. Selain untuk makan, mulut kita gunakan untuk
berbicara. Bila kita berbicara, kita
segan mengatakan hal-hal yang baik. Jika ada gosip mengennai orang lain, kita
dapat berbicara selama tiga bulan atau bahkan tiga tahun tanpa berhenti! Ini
adalah akar kekotoran batin dan penderitaan.
Musavada telah terjadi bila terdapat empat faktor yang
terdiri dari:
1.
Sesuatu atau hal
yang tidak benar (attham-vatthu)
2.
Mempunyai niat
untuk menyesatkan (visamvadanacittam)
3.
Berusaha untuk
menyesatkan (tajjo vayamo)
4.
Orang lain akan
tersesat (parassa tadatthavijananam)
Musavada tergolong perbuatan buruk (akusala-kammapatha) dan dapat dibedakan menurut akibatnya pada alam
kelahiran. Suatu kebohongan tidak akan menyeret seseorang ke dalam alam
kelahiran yang rendah, apabila tidak menimbulkan kerugian yang berarti kepada
orang yang dibohongi. Misalnya seorang dokter yang memberikan keterangan yang
tidak benar tentang penyakit pasiennya dengan tujuan agar orang yang sakit itu
tidak cemas atau mengalami goncangan batin yang dapat membuat penyakitnya lebih
parah lagi. Tidak ada kejahatan yang
tidak dapat dilakukan oleh orang yang berbohong dengan sengaja. Yang melakukan
pelanggaran dalam satu hal ini, tidak mempedulikan dunia yang akan datang (It. 18). Musavada dalam pengertian yang lebih luas mencakup memfitnah (pisunavaca), berkata kasar (pharusavaca), dan bergunjing atau
pembicaraan yang tidak benar (samphappalapa).
Pisunavaca suatu istilah pali yang
terdiri dari dua kosakata, yaitu pisuna
dan vaca. Kata pisuna secara harfiah berarti ‘menimbulkan perpecahan, pertikaian
dan pertengkaran’, sedangkan kata vaca
berarti ‘ucapan atau perkataan’. Jadi gabungan kedua kata itu berarti
‘mengucapkan perkataan yang dapat menimbulkan perpecahan, pertikaian, dan
pertengkarang kepada kedua belah pihak atau orang yang sebelumnya hidup dalam
kerukunan’. Pisunavaca dapat
diartikan ‘menghasut atau memfitnah’.
Penghasutan dan penfitnahan telah tejadi bila
terdapat empat faktor, yaitu:
1.
Ada orang yang
akan difitnah (bhinditabbo paro)
2.
Ada niat untuk
memfitnah (bhedapurekkharata)
3.
Ada usaha yang
dilakukan untuk memfitnah (tajjo vayamo)
4.
Ada orang yang
percaya atau terpengaruh oleh fitnahan tersebut (tassa tadatthavijajanam)
Bilamana unsur keempat tersebut sampai menimbulkan
perpecahan, telah terjadi akusalakammapatha.
Bila tidak, hanya merupakan pelanggaran sila.
Pharusavaca terdiri dari dua kata pharusa dan vaca. Arti
harfiah dari pharusa adalah ‘kasar’
dan vaca berarti ‘ucapan’. Gabungan
dari kedua kata itu bermakna ‘ucapan yang kasar’. Pharusavaca mungkin juga terdiri dari kata phara, usa dan vaca. Kata
phara berarti ‘menyebarkan’,sedangkan
kata usa berarti ‘sakit hati, gusar’
atau ‘marah’. Gabungan ketiga kata itu berarti ‘mengucapkan kata-kata yang
menimbulkan sakit hati, kegusaran pada orang lain’. Pharusavaca dapat diterjemahkan dengan ‘mengucapkan kata-kata kasar
yang menimbulkana sakit hati atau kemarahan pada orang lain’, atau dengan
kata-kata yang lebih singkat ‘berkata kasar’.
Berkata kasar dapat terjadi bila terdapat empat
unsur:
1.
Ada orang yang
akan dimaki (akkosittabo paro)
2.
Pikiran yang
penuh oleh amarah (kupitacittam)
3.
Mengucapkan
kata-kata kasar (akkosana)
4.
Orang yang
mendengar sakit hati, marah atau gusar.
Bila unsur keempat itu timbul, orang yang dimaki itu
mengerti perkataan yang dilontarkan kepadanya, maka telah terjadi akusalapatha. Bila tidak, hanya
merupakan pelanggaran sila.
Samphappalapa terdiri dari dua kata sampha dan palapa. Secara
harfiah sampha berarti ‘melenyapkan
manfaat dan kebahagiaan’, sedangkan palapa
berarti ‘ucapan’ atau ‘perkataan’. Bila kedua kata itu digabungkan, berarti
‘mengucapkan kata-kata yang dapat melenyapkan manfaat dan kebahagiaan’. Istilah
samphappalapa dapat diterjemahkan dengan’pembicaraan
yang tidak berguna atau tidak bermanfaat’.
Suatu pembicaraan yang tidak berguna dapat dikatakan
telah terjadi bila terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1. Berniat untuk mengutarakan sesuatu yang tidak
bermanfaat (niratthaka-katharupekkharata)
2. Mengucapkan sesuatu yang tidak bermanfaat (tatharupikatha-kathanam).
Bilamana pembicaraan yang tidak berguna menyebabkan
pendengarannya percaya bahwa hal itu suatu kebenaran, maka pembicara telah
melanggar sila keempat. Suatu samphappalapa
akan memberikan akibat yang berat apabila sering dilakukan.
Surameraya
majjapamadatthana istilah ini
terdiri dari empat kosakata, yaitu: sura,
meraya, majja, dan pamadatthan.
Yang dimaksudkan dengan meraya adalah
minuman keras yang diperoleh dari peragian dari berbagai bahan, antara lain:
gula, tepung beras atau ketan, buah-buahan, misalnya anggur. Minuman ini bila
disuling untuk meningkatkan aroma dan kekuatannya akn menjadi sura. Kedua jenis ini sam buruknya
karena memperlemah pengendalian diri, dengan demikian menyebabkan seseorang
melakukan apa saja yang tidak pernah ia mimpikan untuk melakukannya dalam
saat-saat normal.
Majja berarti ‘sesuatu yang menyebabkan orang tidak
sadarkan diri’. Sura mengacu kepada
minuman keras yang disuling, meraya kepada minuman keras yang didapat dari
bahan yang diragikan yang kedua-duanya menyebabkan lemahnya pengendalian diri
dan majja mengacu kepada ganja,
morfin, heroin dan lain-lain yang semacam itu. Pamadatthana terdiri dari kata pamado
dan tthana. Pamado berarti ‘kecorobohan, kelengahan, kelalaian’. Kata tthana berarti ‘landasan’ atau ‘basis’. Pamadatthana berarti ‘yang menjadi dasar
atau landasan untuk timbulnya kelengahan, kecerobohan, dan kelalaian’.
Gabungan keempat kata itu mengandung pengertian
memakai atau menggunakan sesuatu yang dapat memabukkan atau membuat tidak sadar
diri yang menjadi dasar untuk timbulnya kelengahan atau kecerobohan. Oleh sebab
itu surameraya majjapamadatthana
dapat disepadankan dengan ‘segala yang dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan’.
Sila kelima ini telah dilanggar, bila terdapat empat
faktor sebagai berikut:
1.
Ada sesuatu yang
merupakan sura, meraya, majja (suramerayamajjabhavo)
2.
Ada niat untuk
meminum, menggunakannya (pivitukamata)
3.
Meminum atau
menggunakan (pivanam)
4.
Timbul
gejala-gejala mabuk (maddanam)
Menurut buddhaghosa, surameraya majjapamadatthana yang terdapat dalam dasasila faktor
keempat tersebut, ialah meminumnya hingga masuk melalui tenggorokan (pite capavisati). Jadi walaupun belum atau bahkan tidak mabuk,
seorang samanera yang meminum minuman keras berarti telah melanggar sila
kelima. Penjelasan ini digunakan juga
untuk menafsirkan istilah maddanam dalam Atthanga Sila.
Mereka yang tidak melaksankan Pancasila yang
merupakan latihan moral yang minimal, berarti mereka telah memotong akar
kelahirannya sebagai manusia. Sang Buddha bersabda:
“Siapa saja yang memusnahkan makhluk hidup, berkata
tidak benar dialam ini, mengambil yang tidak diberikan kepadanya atau pergi
bersama isteri orang lain (untuk memuaskan nafsu indria yang salah) dan
memuaskan diri demikan, memotong akar (kebajikan) dalam dirinya di ala mini” (Dhp. 246-247).
Sila tersebut disebut manussa-dhamma (dhamma
manusia), karena pelaksanaan sila ini akan mendapatkan kelahiran ditempat yang
berbahagia. Kadar pelaksanaan sila menentukan apakah ia akan terlahir sebagai
dewa, atau manusia yang beruntung (manusasombhaggama)
atau manusia sengsara (manusaadobhaggama).
Dia mendorong orang lain untuk menjauhkan diri dari membunuh , mencuri,
perilaku seksual yang salah, ucapan yang tidak benar dan zat-zat yang bersifat
meracuni, tetapi dia sendiri tidak memperaktekkan pengendalian seperti itu (A. IV. 99).
Dalam Maha
Parinibbana Sutta, Sang Buddha
bersabda kepada gharavasa (perumah
tangga) tentang faedah dari sila, sebagai berikut:
1. Sila menyebabkan seseorang memiliki banyak harta
kekayaan,
2. Nama dan kemashyurannya akan tersebar luas,
3. Dia menghadiri setiap pertemuan tanpa ketakutan atau
keragu-raguan, karena ia menyadari bahwa ia tidak akan dicela atau didakwa
orang banyak,
4. Sewaktu akan meninggal dunia hatinya tentram, dan
5. Akan terlahir dialam surga.
Setiap perbuatan baik maupun buruk akan mendapatkan
akibat. Akibat yang diperoleh jika melakukan perbuatan buruk karena melanggar
Pancasila Budhhis adalah:
1.
Akibat melanggar
sila pertama: pendek umur, sakit-sakitan, dan terlahir cacat;
2.
Akibat melanggar
sila kedua: terlahir miskin, keinginan tidak tercapai, hidup selalu tergantung
pada orang lain, rejekinya tidak lancer, dan barang yang dimiliki cepat hilang
atau tidak tahan lama;
3.
Akibat melanggar
sila ketiga: tidak disenangi orang, memiliki penyakit kelamin, memiliki
pasangan hidup yang tidak disenangi, dan terlahir sebagai wadam/banci/waria;
4.
Akibat melanggar
sila keempat: menjadi sasaran penghinaan, memiliki penyakit mulut, mulut berbau
tidak sedap, tidak dipercaya, dan tidak disenangi;
5.
Akibat melanggar
sila kelima: tidak disenangi keluarga dan masyarakat, berpenyakitan, memiliki
banyak musuh, dan kecerdasan berkurang.
B.
Pancadharma
Melaksanakan Pancasila disebut melakukan perbuatan
baik yang bersifat pasif yakni menghindari melakukan perbuatan yang tercela.
Jika Pancasila bersifat pasif, adakah yang bersifat aktif? Terdapat pasangan
dari pelaksanaan Pancasila Buddhis yang bersifat pasif yakni yang akan
memuliakan (mendukung) mereka yang memperaktikkan sila (Kalyana Dhamma).
Pendukung praktik sila ini disebut dengan Pancadharma. Pancadharma berasal dari
bahasa sansekerta atau pancadhamma (pali) yang terdiri dari dua kosakata yaitu
panca dan dharma. Panca artinya lima sedangkan dharma artinya kebenaran
(ajaran). Jadi Pancadharma artinya lima ajaran atau kebenaran.
Pancadharma
terdiri dari lima sifat mulia, yakni:
a. Metta-karuna,
yaitu cinta kasih dan belas kasihan
b. Sama-Ajiva,
yaiitu penghidupan benar
c. Santutthi,
yaitu rasa puas
d. Sacca,
yaitu kebenaran atau kejujuran
e. Sati-sampajanna,
yaitu perhatian dan kewaspadaan
a. Metta-karuna
Metta-karuna merupakan
dua sifat luhur bagian dari empat kediaman luhur (brahama vihara) atau juga yang disebut dengan keadaan tidak
terbatas (apamanna). Metta berarti perasaan cinta kasih yang universal, tanpa
ada keinginan untuk memiliki. Cinta kasih merupakan keinginan akan kebahagiaan
semua makhluk, serta mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk lain.
Karuna berarti perasaan belas kasihan terhadap makhluk lain yang menderita.
Corak menonjol dari sifat ini adalh memiliki kecenderungan untuk menghilangkan
pendritaan orang lain. Dua sifat tersebut memiliki objek yang berbeda, jika
sifat cinta kasih (metta) tujukan kepada semua makhluk baik itu manusia,
binatang, ataupun makhluk lain yang menderita ataupun bahagia, karuna memiliki
objek semua makhluk yang menderita dan pantas dikasihani. Dua sifat ini
merupakan kalya dhamma dari praktik Pancasila Buddhis pertama yakni melatih
diri untuk tidak membunuh makhluk hidup.
Metta
dirumuskan sebagai keinginan akan kebahagian semua makhluk tanpa kecuali. Metta
juga sering dikatakan sebagai niat suci yang mengharapkan kesejahteraan dan
kebahagiaan makhluk-makhluk lain, seperti seorang sahabat mengharapkan dan
kebahagiaan temannya.
“Bagaikan
seorang ibu yang melindungi anak tunggalnya, sekalipun mengorbankan
kehidupannya; demikian juga seharusnya seseorang memelihara cinta kasih yang
tidak terbatas itu kepada semua makhluk”, demikian nasihat dari Sang Buddha.
Disini yang dimaksud bukanlah perasaan cinta yang didasarkan atas nafsu yang
dimiliki seorang ibu terhadap anaknya, melainkan keinginan yang murni untuk
menyejahterakan anaknya.
Metta
bukanlah cinta kasih yang dilandasi nafsu atau kecendrungan pribadi, karena
dari keduanya ini, tanpa dapat dihindarkan akan timbul kesedihan. Metta bukan
hanya terbatas dalam pemisahan bertetangga, karena ini akan menimbulkan
sikap-sikap membedakan antara tetangga dengan lainnya. Metta bukanlah
persaudaraan universal semata, ia mencakup semua makhluk hidup termasuk
binatang-binatang, saudara-saudara kita yang lebih rendah yang membutuhkan
cinta kasih yang lebih besar kerena mereka tak berdaya. Sifat bajik dan mulia
merupaka corak yang khas dari metta. Orang yang melatih metta selalu gembira
dalam memajukan kesejateraan orang-orang lain. Ia mencari kebaikan dan
keindahan dalam segala sesuatu, dan bukan melihat kejelekan orang lain.
Berkah
metta, yaitu
1.
Ia yang melaksankan metta akan tidur
dengan bahagia. Bila pergi tidur dengan hati yang terang bebas dari kebencian
ia tentu saja langsung tertidur. Kenyataan ini dengan jelas ditunjukkan oleh
mereka yang penuh cinta kasih. Mereka dengan cepat tertidur segera setelah
menutup mata mereka.
2.
Bila ia pergi tidur dengan hati yang
penuh cinta ia akan bengun dengan hati penuh cinta yang sama. Orang yang penuh
kebajikan dan kasih sayang ini selalu bangun tidur dengan wajah yang berseri.
3.
Bahkan dalam tidur orang yang penuh
cinta ini tidak akan gelisah karena mimpi-mimpi buruk. Karena mereka penuh
dengan cinta selama waktu mereka bangun, merekapun damai dalam tidur mereka.
Atau mereka tidur nyenyak atau bermimpi yang menyenangkan.
4.
Ia dicintai orang lain. Bila ia mencintai
orang lain, maka orang lainpun akan mencintainya. Bila seseorang melihat pada
kaca dengan wajah tersenyum, wajah yang sama akan menyambutnya. Jika
sebaliknya, ia melihat dengan wajah yang masam, ia akan melihat pantulan yang
sama.
5.
Ia yang melaksanakan metta akan cinta
pada yang bukan manusia juga. Binatang-binatang juga tertarik padanya. Dengan
memancarkan cinta kasihnya, para petapa tinggal didalam hutan-hutan yang liar
dikalangan binatang-binatang buas yang ganas tanpa disakiti oleh mereka.
6.
Dengan memberikan kekuatan mettanya ia
menjadi kebal terhadap racun dan sebagainya kecuali ia dikuasai beberapa kamma
yang tidak dapat ditawar.
7.
Para dewa yang tidak terlihat oleh mata
jasmani, melindunginya karena kekuatan mettanya.
8.
Metta menyebabkan pemusatan pikiran
dengan cepat. Karena pikiran tidak gelisah dengan pancaran-pancaran yang
bermusuhan, pikiran pada satu titik dapat dicapai dengan mudah. Dengan pikiran
yang damai ia akan hidup di alam surya ciptaannya sendiri. Bahkan orang-orang
yang datang untuk berhubungan dengan dia juga akan mengalami berkah tersebut.
9.
Metta cenderung bepindah ekspresi wajah
seseorang, wajah biasanya menggambarkan keadaan pikiran. Bila seseorang sedang
marah, jantungnya memompa darah dua atau tiga kali lebih cepat dibandingkan
pada keadaan normal. Darah yang mengalir ke wajah, yang kemudian berubah
menjadi merah atau hitam. Pada saat itu wajah menjadi menjijikan untuk
dipandang. Pikiran yang penuh cinta kasih sebaliknya, menggembirakan jantung
dan menjernihkan darah. Wajahnya kemudian memperlihatkan rupa yang memikat.
10.
Seseorang yang dikaruniai metta akan
meninggal dengan tenang karena ia tidak mempunyai pikiran benci terhadap
siapapun. Bahkan setelah kematian wajahnya yang tenteram membayangkan
kematiannya yang terang.
11.
Bila seseorang yang mempunyai metta akan
meninggal dengan bahagia, ia kemudian akan dilahirkan pada suatu keadaan yang
penuh kebahagiaan. Jika ia mencapai jhana (kegembiraan yang luar biasa), ia
akan dilahirkan dialam brahma.
Karuna
dirumuskan sebagai sesuatu yang dapat menggetarkan hati ke arah rasa kasihan
bila mengetahui orang lain sedang menderita, atau kehendak untuk meringankan
penderitaan orang lain. Coraknya yang paling menonjol adalah kecendrungan untuk
menghilangkan penderitaan orang lain. Hati orang yang penuh kasih sayang bahkan
lebih lembut dari pada bunga. Mereka tidak dan tidak dapat puas beristirahat
sampai mereka meringankan penderitaan pihak lain. Kadang kala mereka bertindak
sampai mengorbankan kehidupan mereka untuk meringankan penderitaan orang lain.
Cerita Vyaghri Jataka dimana boddhisatva mengorbankan hidupnya untuk
menyelamatkan harimau betina dan anak-anaknya dapat disebutkan sebagai contoh.
b. Samma-ajiva
Samma-ajiva
merupakan bagian dari jalan Mulia Berunsur delapan yang berarti cara
berpenghidupan benar atau bermata pencaharian benar. Bermata pencaharian benar
berarti memiliki mata pencaharian atau pekerjaan yang dilakukan dengan tidak
merugikan diri sendiri maupun makhluk lain. Mata pencaharian dikatakan benar
apabila dalam mendapatkan penghasilan dilakukan dengan mencari penghidupan
untuk mencukupi kebutuhan keluarga (perumah tangga) dengan tidak melanggar lima
macam perdagangan salah (Panca Vanijja), yakni: 1) tidak berdagang makhluk
hidup, 2) senjata tajam, 3) tidak berdagang daging, 4) tidak berdagang racun,
dan 5) tidak berdagang minuman keras.
c. Santutthi
Santutthi berarti
perasaan puas terhadap apa yang telah
menjadi miliknya. Kepuasan ini bermakna menerima keadaan sebagaiman adanya
dengan keseimbangan dan tanpa menggerutu. Perasaan puas ini dapat juga
diartikan sebagai rasa puas yang berhubungan dengan hawa nafsu, dan puas
terhadap pasangan hidupnya, tetapi jika belum memiliki pasangan hidup seseorang
harus puas dengan keadaannya sehingga tidak melakukan perbuatan yang melanggar
sila ketiga.
Perasaan
puas terhadap pasangan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1.
Sadarasantutthi
Sadarasantutthi
yakni perasaan puas memiliki satu istri. Puas dengan satu istri adalah tidak
ingin memiliki istri lagi dan puas dengan keadaan apapun yang dimiliki
istrinya. Puas dengan keadaan istri adalah ketika istri sehat maupun sakit,
ketika masih muda maupun tua, jelek maupun cantik. Rasa puas ini juga patut
dikembangkan oleh laki-laki yang baru menjalin hubungan dengan seorang wanita
dalam hubungan kekasih maupun tunangan dengan tetap menjaga kesetiaan.
2.
Pativatti
yakni rasa setia kepada seuaminya. Rasa puas ini sama halnya dengan ras puas
terhadap istri (sadarasantutthi). Rasa puas seorang istri terhadap suami adalah
akan selalu puas dan menerima keadaan apapun suaminya dan tidak akan
meninggalkannya. Demikian pula bagi seorang wanita yang belum menikah tetapi
menjalin hubungan kekasih atau tunangan.
Dengan dasar
cinta kasih sejati dengan saling menyayangi, saling melindungi, saling percaya,
saling menghormati, sehingga tidak terjadi perselisihan diantara keluarga. Jika
dasar perkawinan kuat dan mantap dengan mengembangkan keyakinan (saddha), moral
yang baik (sila), kedermawanan (cagga), dan kebijaksanaan (panna), dengan
saling percaya, jujur dalam segala tindakan dan saling memahami diantara mereka
maka perselingkuhan tindak penyelewengan seksual tidak akan terjadi.
d. Sacca
Sacca
berarti
kebenaran atau kejujuran. Kebenaran dan kejujuran adalah keadaan yang sesui
dengan keadaan atau kejadian yang sesungguhnya. Kebenaran dan kejujuran dapat
diwujudkan dalam tindakan melalui pikiran, ucapan, dan badan jasmani. Akan
tetapi kata kebenaran dan kejujuran ini lebih umum digunakan sebagai perkataan
yang benar, sesuai dengan keadaan atau kejadian sesungguhnya serta apa adanya
tanpa ditutup-tutupi.
Dasar pemikiran
kejujuran adalah dengan saling percaya dan bebas penghianatan. Jika seseorang
sudah tidak berlaku jujur terhadap teman atau suami-istri maka semuanya akan
berakhir buruk. Jika dalam satu keluarga sudah tidak saling jujur antara
suami-istri baik dalam uang atau pekerjaan maka keluarga itu akan berantakan.
Demikian juga semua teman, jika ada perilaku curang maka hubungan itu tidak akan
berlagsung lama.
Menurut Harita
Jataka (No.431) seorang Boddhisatva, dalam rentang pengembaraan kehidupan,
tidak pernah berbohong walaupun suatu ketika ia mungkin melanggar empat
peraturan yang lain. Bahkan untuk berbuat sopan kejujuran pun tidak disembunyikan.
Ia membuat kejujuran sebagai penunjuk, dan memegangnya sebagi kewajiban untuk
menepati perkataannya. Ia mempertimbangkan dengan baik sebelum ia membuat
janji, tetapi sekali ia berjanji ia penuhi dengan cara apapun, bahkan dengan
kehidupannya.
Dalam Hiri
Jataka (No.363) sang boddhisatva menasehati: ‘kamu harus melakukan setiap janji
menjadi kenyataan, janganlah berjanji yang tidak dapat kamu lakukan,orang
bijaksana yang membual tampak aneh’.
Seorang
boddhisatva dapat dipercaya, tulus dan jujur. Apa yang ia pikirkan, ia ucapkan.
Terdapat keselarasan yang sempurna dalam pikiran, ucapan dan perbuatannya.
e. Sati sampajanna
Sati diartikan
sebagai ingatan, pengenalan, kesadaran, perhatian dan kewaspadaan. Sedangkan Sampajanna diartikan sebagai pengertian
atau pengetahuan lengkap tentang kebenaran, tentang kelayakan, tentang ruang
lingkup (yang ingin dicapai), dan pengertian yang lengkap untuk bebas dari
kegelapan batin, bebas dari moha. Dalam pelaksanaan Dhamma dan aktifitas sehari-hari
sati dapat dimaksudkan sebagai ingatan, perhatian, waspada, serta kesadaran
sebelum melakukan perbuatan. Lawan dari sati adalah “lupa”. Agar tidak
melalaikan pekerjaan karena lupa maka sati harus dijaga dalam kehidupan
sehari-hari. Sampajanna dapat juga diartikan sebagai kesadaran. Mereka
menyadari bahwa mereka sedang berbohong dan berusaha agar pembicaraan itu dapat
dipercaya oleh orang lain.
Jenis
kesadaran ini (sampajanna) adalah bila disertai dengan empat cirri dari
sampajanna, yaitu;
1.
Menyadari manfaat yang sedang kita
lakukan
2.
Menyadari bahwa apa yang sedang kita
lakukan sesuai atau tidak dengan diri kita sendiri
3.
Menyadari bahwa apa yang kita lakukan
itu akan menimbulkan sukkha atau dukkha
4.
Menyadari bahwa apa yang kita lakukan
itu merupakan suatu kebodohan atau didasari dengan pengertian yang benar.
Keempat
faktor kesadaran yang demikian merupakan faktor dari sampajanna dan memberikan
kesadaran bagi kita untuk tidak mengerjakan pekerjaan yang sia-sia, tidak
sesuai dengan posisi kita, serta dengan cara yang keliru. Dengan adanya
kesadaran ini maka kita dapat langsung menyesuaikan dan menambah kebajikan. Sati
sampajanna lebih sering diterapkan dalam meditasi pandangan terang (Vipassana
Bhavana) yaitu dengan menyadari dan mengerti akan gerak-gerik batin dan
jasmani, sedangkan dalam kehidupan memiliki manfaat yang besar sebagai
pengendali dalam setiap perbuatan. Perbuatan apapun yang akan dilakukan jika
disertai Sati Sampajanna maka perbuatan tersebut tidak akan merugikan makhluk
lain ataupun diri sendiri.
C.
Hubungan
Pancasila dengan Pancadharma
Penjelasan
diatas telah dijelaskan bahwa Pancadharma merupaka pendukung praktek Pancasila
Buddhis. Pancadharma disebut pendukung praktek Pancasila Buddhis karena jika
memiliki sifat mulia dalam Pancadharma maka praktek Pancasila Buddhis akan
terlaksana. Lebih jelasnya hubungan Pancadharma dengan Pancasila di jelaskan
dalam tebel dibawah ini!
No.
|
Pancadharma
|
Pancasila
|
1
|
Metta-karuna
(cinta kasih dan belas kasih)
|
Menghindari
pembunuhan
|
2
|
Samma-ajiva
(penghidupan atau mata pencaharian benar)
|
Menghindari
pencurian
|
3
|
Santutthi
(rasa puas)
|
Mengindari
perbuatan asusila
|
4
|
Sacca
(kebenaran atau kejujuran)
|
Menghindari
berbohong
|
5
|
Sati-sampajanna
(waspada dan pengertian)
|
Menghindari
mabuk-mabukan
|
a. Hubungan
metta-karuna dengan sila pertama Pancasila Buddhis (tidak membunuh)
Jika setiap orang memiliki sifat metta
dan karuna, megembangkan dua sifat ini setiap saat maka tidak akan ada
pelanggaran Pancasila Buddhis pertama. Mereka yang memiliki cinta kasih tidak akan
tega untuk menyakiti makhluk lain, dan mereka yang memiliki belas kasihan juga
tidak akan tega melihat orang lain menderita tetapi ingin melihat makhluk lain
bahagia bebas dari penderitaan.
b. Hubungan
samma-ajiva dengan sila kedua Pancasila Buddhis (tidak mencuri)
Mereka yang memiliki mata pencaharian
benar dan menanamkan dalam dirinya untuk selalu bermata pencaharian benar tidak
akan melakukan pekerjaan yang merugikan makhluk lain. Dengan demikian ia tidak
akan melanggar sila kedua dari Pancasila Buddhis yaitu mengambil barang yang
tidak diberikan oleh pemiliknya. Karena itulah Pancadharma kedua ini disebut
sebagai pendukung praktek dari Pancasila Buddhis sila kedua.
c. Hubungan
santutthi dengan sila ketiga Pancasila Buddhis (tidak berbuat asusila)
Dengan memiliki rasa puas terhadap
pasangan suami, istri, kekasih, maupun tunangan akan mendukung praktek
pancasila buddhis ketiga yaitu tidak melakukan perbuatan asusila, karena mereka
yang puas akan setia terhadap pasangannya dan tidak akan merakukan perbuatan asusila.
d. Hubungan
sacca dengan sila keempat Pancasila Buddhis (tidak berbohong)
Kejujuran diartikan sebagai mengatakan
sesuatu sesuai dengan kebenaran, keadaan sesungguhnya, dan tanpa
ditutup-tutupi. Memiliki kejujuran berarti akan mengatakan sesuatu dengan
benar, beralasan, bermanfaat, dan dikatakan tepat pada waktunya. Hal ini sesuai
dengan ucapan benar dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dengan memiliki ucapan
benar, maka akan mendukung praktek Pancasila Buddhis sila keempat yaitu tidak
berbohong.
e. Hubungan
sati sampajanna dengan sila kelima Pancasila Buddhis (tidak mebuk-mabukkan)
Sikap waspada dan pengertian dalam
berbagai segi kehidupan termasuk waspada dalam makanan, pakaian, tingkah laku,
maupun hakikat hidup dan kehidupan, maka dapat mendukung praktek Pancasila
Buddhis yang kelima yaitu tidak mebuk-mabukkan. Dengan waspada dan pengertian
dalam makanan orang akan berhati-hati ketika akan mengkonsumsi makanan dan
minuman, serta penuh pengertian bahwa makanan atau minuman yang dikonsumsinya
tidak dapat melemahkan kesadaran.
Memiliki
pancadharma memiliki manfaat yang besar, yaitu akan membuat mulia bagi yang
melaksanakan dan memilikinya. Sifat-sifat mulia pancadharma sebagai pendukung
pancasila ini dimiliki oleh para ariya. Mereka yang melatih malaksanakan sila
belum tentu memiliki sifat-sifat mulia Pancadharama.
D.
Penerapan
Pancasila Buddhis dan Pancadharma
Mempraktikkan
Pancasila secara langsung dirasakan sangat susah terutama bagi umat awam yang
masih bersentuhan dengan kehidupan duniawi. Sulitnya praktik ini perlu
ditunjang dengan memiliki sifat mulia (Pancadharma), sehingga secara langsung sila yang dilatih
dapat dipraktikkan dengan dukungan Pancadharma tersebut.
Penerapan
pancadharma dapat dipraktikkan dalam berbagai segi kehidupan sehari-hari. Jika
seseorang dapat melaksanakan Pancadharama maka dia akan dapat melaksanakan
Pancasila. Dari Uraian diatas jelaslah bagi kita bahwa Pancasila Buddhis dan
Pancadharma merupakan dua hal yang saling berhubungan. Pancasila Buddhis adalah
penghindaran dari perbuatan yang tidak baik. Sedangkan Pancadharma adalah
pelaksanaan dari perbuatan baik. Pancasila buddhis gunanya untuk pengendalian
diri. Sedangkan Pancadharma adalah untuk mengembangkan perbuatan baik.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Buddhis
adalah lima latihan yang harus dilaksanakan oleh umat Pancasila Buddha. Lima
latihan tersebut adalah
1.
Tidak membunuh
2.
Tidak mencuri
3.
Tidak berbuat
asusila
4.
Tidak berbohong
5.
Tidak
mabuk-babukan
Lima latihan tersebut merupakan dasar perilaku manusia. Dengan
menaati pancasila, dapat memiliki pikiran yang terang, jernih dan saleh. Kita
akan memiliki hidup yang bahagia dan penuh percaya diri.
Pancadharma adalah lima
kebenaran yang berhubungan dengan Pancasila Buddhis. Dengan melaksanakan
Pancadharma maka Pancasila Buddhis akan terlaksana. Lima kebenaran tersebut
adalah
1. pencaharian
benar
2. Rasa
Cinta kasih-Belas kasihan
3. Mata
puas
4. Kejujuran
5. Waspada
dan pengertian
Memiliki pancadharma
memiliki manfaat yang besar, yaitu akan membuat mulia bagi yang melaksanakan
dan memilikinya.
B.
Saran
Demikianlah
makalah ini dibuat, penulis berharap dengan adanya makalah ini semua umat
Buddhis terutama generasi muda mengerti dan mengetahui bahwa dengan
melaksanakan Pancasila Buddhis dan Pancadharma dapat membawa kebahagian baik
dikehidupan sekarang mauapun kehidupan yang akan datang.
Saran
dan kritikan dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis, guna untuk mengoreksi
kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam penulisan makalah ini, sehingga untuk
kedepanya penulis dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan tersebut. Semoga
makalah ini dapat menjadi bahan atau pedoman untuk di gunakan sebagaimana di
harapkan.
Daftar Pustaka
Anguttara
Nikaya 2. Numerical Discourses of The
Budhha. Diterjemahkan oleh Nyanaponika Thera dan Bhikkhu Bodhi. Juni 2003.
Gunawan,
Prajnadhika. 1971. Dharma dalam Kehidupan
Sehari-hari. Jakarta: Kleuarga Besar Dharmasagara.
Lay
U Ko. Panduan Tipitaka. Diterjemahkan
oleh Dra. Lanny Anggawati dan Wena Cintawati. Magelang: Vihara Bodhivamsa.
2000.
Mahathera
Narada. Sang Buddha dan Ajaran-ajarannya
bagian II. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama. 1998.
Mahathera
Narada. The Dhammapada. Bandung:
Yayasan Buddhis Karaniya, Oktober 1989.
Mukti,
Wijaya, Krishnanda. 2003. Wacana Buddha Dharma. Yayasan Dharma Pembangunan. Jakarta.
Pendidikan
Agama Buddha dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan,
2013.
Rashid,
Teja S.M. (Pandita Dhammavisarada). Sila
dan Vinaya. Jakarta: Penerbit Buddhis Bodhi. 1997.
Salim,
Juniarti (pandita). Upakarika, Ana. Jennifer. Ehipassiko. Jakarta: Buku Pelajaran Agama Buddha. 2012.
Suliani,
Puji. Hemajoyo Sulan. Dharmacakra.
Jakarta: CV. Karunia Jaya.2011
The
Itivuttaka, The Buddha’s Saying.
Diterjemahkan oleh John D. Ireland. Bandung: Lembaga Anagarini Indonesia. 1998
Tim
penyusun. Materi Kuliah Agama Buddha untuk Perguruan Tinggi Agama Buddha. Kitab
Suci Vinaya Pitaka. Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi. 2003.
Witono. Hemajoyo, Sulan. Buku Pendidikan Agama Buddha. Jakarta: CV. Karunia Jaya. 2011
Wowor,
Cornelis MA. 1997. Pandangan Sosial Agama
Buddha. Jakarta: CV. Nitra Kencana Buana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar