Wikipedia
Hasil penelusuran
Jumat, 14 Agustus 2015
Kamis, 13 Agustus 2015
Rangkuman Materi Agama Buddha
A.
Arti Dharmayatra
Dharmayatra terdiri dari dari dua
kata yaitu dhamma dan yatra. Dhamma artinya kebenaran, ajaran, suci, sedangkan
Yatra artinya ditempat mana. Jadi Dhammayatra artinya berziarah ditepat-tempat
suci atau tempat yang berhubungan dengan dharma.Dharmayatra
muncul pada abad ke III ketika Raja Asoka berkuasa di Jambudipa. Dalam Kitab
Mahavastu dan Asokavadana dikisahkan di ibukota Jambudipa yaitu pataliputta
berkuasa seorang Raja bernama Bindusara.
B.
Sejarah dharmayatra
Raja memiliki banyak permaisuri dan
100 orang anak. Salah satu anak tersebut bernama Asoka yang memiliki
penampilan, kekuatan yang luar biasa melampaui saudaranya.
Karena keahlian yang dimiliki maka
Asoka berambisi menjadi Raja untuk menggantikan ayahnya. Sebelum menjadi Raja
Asoka telah membunuh 99 orang saudaranya, sehingga ia berharap memiliki
kerajaan yang utuh tanpa ada yang mengganggu.Hal ini terjadi pata tahun 218 SM
setelah Sang Buddha Parinibbana, dan empat tahun kemudian Asoka dinobatkan
menjadi Raja di Pataliputta. Ia telah menguasai Jambudipa.
Sebagai seorang Raja ia memerintah
dengan keras dan ia dipandang sebagai Raja yang bengis serta kejam, sehingga ia
dijuluki sebagai “CANDASOKA” (Asoka Jahat).Pada mulanya Raja Asoka tidak mengenal
Buddha Dhamma, namun pada suatu hari selagi Raja berdiri didekat sebuah
jendela, ia melihat seorang pertapa yang tenang sekali, yaitu Samanera Nigroda,
putra dari Sumana, kakak tertua dari semua Raja Bindusara. Dengan kata lain
Samanera Sumana adalah kemenakan Raja asoka sendiri.Raja Asoka mengundang
Samanera Sumana ke istananya. Di istana Samanera membabarkan
Appamanavagga(khotbah tentang segala hal tanpa batas) kepada Raja yang akhirnya
Raja Asoka menjadi umat Buddha. Sejak menjadi umat Buddha Raja melakukan banyak
berdana dan hal-hal baik lainnya.
Menurut Kitab Mahavamsa, Raja Asoka
menjadi umat Buddha karena bertemu dengan Samanera Sumana, sedangkan menurut
Kitab Asokavadana Raja bertemu dengan bhikkhu Samudra, dalam pertemuan tersebut
bhikkhu Samudra menunjukkan kekuatan batin (abhinna) dengan cara melayangkan
tubuhnya ke angkasa, setengah tubuhnya mengeluarkan api dan setengah tubuhnya
yang lain mengeluarkan air, dan karena pertunjukkan inilah Raja menjadi umat
Buddha.Setelah Raja Asoka menjadi umat Buddha selain berdana dan berbuat baik
lainnya , ia juga banyak mendirikan vihara .Karena jasa perbuatan baik yang
sangat banyak maka Raja Asoka dikenal dengan nama “Dhammasoka”(Asoka yang hidup
sesuai dengan dhamma).Setelah mantap menjadi umat Buddha lalu ia dibimbing oleh
bhikkhu Samudra dan bhikkhu Upagupta. Atas bantuan bhikkhu Upagupta Raja Asoka
melakukan banyak ziarah ketempat-tempat yang ada hubungannya dengan kehidupan
Sang Buddha.
C.
PAHALA BERDHARMAYATRA
Pahala yang didapat dari
berdharmayatra sangat besar sekali. Karena berdharmayatra dengan disertai niat
dan kemauan yang tulus akan membantu dan menentukan kelahiran kita dialam yang
penuh dengan kebahagiaan (terlahir disurga). Dalam
Mahaparinibbana Sutta Sang Buddha menjelaskan dharmayatra kepada Ananda,
sebagai berikut: “ Ananda, bagi mereka yang dengan keyakinan kuat melakukan
ziarah ke tempat-tempat yang ada hubungannya dengan dhamma, maka setelah
meninggal dunia, mereka akan terlahir kembali di alam surga”.Ketika kita berada
di tempat dharmayatra sebaiknya kita merenungkan sifat luhur dari Sang Buddha
dan kita berusaha melakukannya dalam kehidupan sehari-hari.
D.
TEMPAT-TEMPATBERDHARMAYATRA
Sang Buddha menyebutkan ada empat
tempat yang wajib dikunjungi oleh umat Buddha, yaitu:
1.
Taman Lumbini
Taman
Lumbini adalah tempat dimana Pangeran Siddharta dilahirkan
dibawah pohon sala kembar pada tahun 623 SM, ketika ibunya dalam perjalanan
kerumah neneknya ke Kerajaan Devadaha. Setelah sampai ditengah hutan Ratu
Mahamaya bermaksud istirahat, lalu melahirkan seorang putra dengan posisi
berdiri dibawah pohon sala kembar dengan tangan memegang ranting. Bayi yang
baru lahir langsung bisa berjalan 7 langkah dimana bekas langkahnya tumbuh
bunga teratai. Dilangkah terahir bayi tersebut langsung mengangkat tangan dengan
berkata : “ Akulah pemimpin dunia ini, Akulah teragung didunia ini, Akulah
tertua didunia ini, Inilah kelahiranku yang terakhir”.Di Taman Lumbini terdapat
Pilar Asoka dan dibangun Vihara bernama Mayadevi.
2.
Buddha Gaya
Buddhagaya adalah
tempat dimana Pertapa Gautama menjadi Buddha pada tahun 588 SM, stelah bertapa
selama 6 tahun dengan cara menyiksa diri. Pertapa Gautama bertapa dibawah pohon
Bodhi (Ficus Religiosa). Ditempat ini telah dibangun Stupa Maha Bodhi dengan
tinggi 170 kaki. Ketika bertapa Pertapa Gautama duduk beralaskan rumput
pemberian seorang pemuda bernama Sothiya. Tempat duduk Pertapa Gautama yang
terletak dibawah pohon bodhi disebut VAJRASANA. Dan diatas tempat inilah
Pertapa Gautama bermeditasi hingga akhirnya menjadi Buddha.
3.
Taman Rusa Isipatana
Taman Rusa
Isipatana adalah tempat dimana Sang Buddha membabarkan khotbah
pertama kali kepada lima orang pertapa. Khotbah pertama ini dikenal dengan nama
“Dhammacakkapavatthana Sutta = khotbah pemutaran roda dhamma yang pertama”. Isi
khotbah ini tentang empat kesunyataan Mulia. Di tempat ini telah dibangun dua
buah stupa oleh Raja Asoka yaitu Dhamek Stupa dan Dharmarajika stupa. Kedua
stupa tersebut telah dirusak atau dihancurkan oleh Jagad Signh dari Benares
pada tahun 1794. Tidak jauh dari kedua stupa tersebut tepatnya sebelah utara
dibangun MULAGANDHAKUTI yang berfungsi sebagai tempat kebaktian. Lalu sebelah
baratnya didirikan Pilar asoka terletak persis dimana Sang Buddha membentuk
Sangha pertama kali.
4.
Kusinara
Kusinara adalah
tempat dimana Sang Buddha Parinibbana(wafat) pada tahun 543 SM pada usia 80
tahun. Jenasah sang Buddha dikremasi pada hari ke delapan setelah kematiannya
dengan tubuh dibungkus 500 lembar kain kafan dan dari manusia dan para dewa.
Suatu keajaiban terjadi yaitu kain terluar dan kain terdalam diterbakar. Untuk
mengenang Sang Buddha ditempat ini didirikan Mahaparinibbana Stupa dan Vihara
dengan Buddha Rupang besar dengan posisi tidur. Untuk memperingati tempat
dimana jasad Sang Buddha dikremasi maka dibangun Makutabandhana Cetiya (Stupa
Kremasi).
Ke-empat tempat tersebut diatas telah
disarankan oleh sang Buddha untuk dikunjungi. Tetapi setelah Sang Buddha
Parinibbana, umat Buddha berdharmayatra bukan hanya ketempat-tempat yang
dipandang penting oleh umat Buddha yang berhubungan dengan kehidupan Beliau.
Tempat tersebut, adalah:
a.
Rajagaha
Adalah ibukota Magadha, yang
diperintah oleh Raja Bimbisara. Kerajaan Magadha telah runtuh, namun tidak
menyurutkan niat kita untuk mengunjungi karena disini masih terdapat bukit yang
bernama Gijjhaguta atau puncak burung nazar. Dipuncak bukit ini Sang Buddha
sering tinggal.
Didekat bukit ini terdapat Goa
satapani, yaitu tempat Sidang sangha pertama dimana bhikkhu Ananda mengulang
Sutta Pitaka dengan dihadiri oleh 500 orang bhikkhu Arahat dipimpin oleh
bhikkhu Maha Kassapa Thera.
b.
Savatthi
Adalah ibukota Kerajaan Kosala. Ditempat ini terdapat vihara Jetavana yang didirikan oleh Anathapindika. Di Vihara ini terdapat Gandhakuti. Selain tempat tersebut masih banyak tempat di India seperti Nalanda, Vesali, Sankisa adalah tempat dimana Sang Buddha turun dari Surga Tavatimsa setelah mengajar dhamma di alam tersebut.
Adalah ibukota Kerajaan Kosala. Ditempat ini terdapat vihara Jetavana yang didirikan oleh Anathapindika. Di Vihara ini terdapat Gandhakuti. Selain tempat tersebut masih banyak tempat di India seperti Nalanda, Vesali, Sankisa adalah tempat dimana Sang Buddha turun dari Surga Tavatimsa setelah mengajar dhamma di alam tersebut.
E.
SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHADI
INDONESIA
1.
KERAJAAN SRIWIJAYA
Kerajaan Sriwijaya sekarang
diperkirakan terletak disekitar kota Palembang, Sumatra selatan. Kerajaan ini didirikan sekitar abad ke VII, para Raja di kerajaan ini
umumnya menganut agama Buddha, hal ini dapat dilihat dari catatan bahwa di ibu
kota terdapat Perguruan Tinggi agama Buddha.Di Perguruan tinggi ini banyak
bhikkhu yang belajar agama dan ilmu pengetahuan lainnya.Di Kerajaan ini tinggal
seorang pujangga yang sangat terkenal yaitu Dharmapala dan sakyakirti yang
sempat belajar di Perguruan tinggi ini.Agama Buddha di Sriwijaya juga
diberitakan oleh seorang pemuda dari daratan China bernama Itsing.
Itsing datang ke Sriwijaya pada tahun
671, setelah ia berziarah ke India. Itsing tinggal di sriwijaya selama 6 bulan
sebelum ia kembali lagi ke India.Untuk kedua kalinya Itsing datang kembali ke
Sriwijaya pada tahun 688 dan menetap selama 7 tahun.Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Itsing para bhikkhu yang belajar berjumlah 1.000 orang.
2.
KERAJAAN MATARAM I
WANGSA SYAILENDRA
Kerajaan Mataran dipimpin oleh Raja
Wangsa Syailendra pada abad ke VIII antara tahun 775-850.Pada zaman ini agama
Buddha berkembang sangat pesat sekali karena pada saat itulah Candi Borobudur,
Candi Pawon, Candi Mendut, Candi Plaosan, Candi Kalasan, Candi Sewu didirikan
oleh seniman bangsa Indonesia.Candi-candi tersebut dapat berdiri atas perintah
Raja syailendraSetelah raja Samaratungga meninggal, Mataram diperintah kembali
oleh Raja dari Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, namum agama Buddha dan Hidu
dapat berkembang dengan rukun dan damai.
3.
KERAJAAN MAJAPAHIT
Kerajaan ini dipimpin oleh Raja
Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada tahun 1292-1478.Dibawah Raja-raja Majapahit,
yang menganut agama Hindu dan agama Buddha tetap berkembang dengan baik.Untuk
membina rakyat yang beragama Buddha dan Hindu raja mengangkat dua penasehat
agung yaitu Dharmadhyaksa Ring Kasogatan dari golongan Buddha dan Dharmadhyaksa
Ring Kasewan dari golongan Hindu. Kerukunan tetap terjaga berkat ide cemerlang
dari seorang Pujangga Buddhis bernama Mpu Tantular terkenal dengan bukunya
Sutasoma.Salah satu syair yang terdapat dalam buku tersebut adalah : Ciwara
Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.Kalimat ini sampai saat ini
masih kita jumpai dengan nama Bhinneka Tunggal Ika.
Selasa, 28 Juli 2015
Senin, 20 April 2015
Artikel Nibbana
Abstrak
Nibbana adalah kebahagiaan
tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Kebahagiaan Nibbana
tidak dapat dialami dengan memanjakan indra, tetapi dengan memadamkannya.
1.
Pendahuluan
Nibbana adalah kebahagiaan
tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Kebahagiaan Nibbana
tidak dapat dialami dengan memanjakan indra, tetapi dengan memadamkannya.
Nibbana adalah tujuan akhir ajaran Buddha. Lantas,
apakah Nibbana itu? Tidak mudah untuk mengetahui apa Nibbana itu
sebenarnya; lebih mudah mengetahui apa yang bukanNibbana.
Nibbana bukanlah ketiadaan atau kepenuhan.
Apakah Buddha akan meninggalkan keluarga dan kerajaan-Nya dan
berceramah selama 45 tahun-semuanya hanya demi suatu keadilan?
Nibbana bukanlah suatu surga. Berapa
abad setelah Buddha, sebagian aliran Buddhisme mulai menggambarkan Nibbana sebagai
surga. Tujuan mereka menyetarakan Nibbanadengan alam
surgawi adalah untuk meyakinkan orang yang “kurang pintar” dan untuk menarik
mereka pada ajaran aliran itu, lalu berjuang menuju Nibbana berarti
jadi menjadi mencari suatu tempat yang indah dimana semua hal baik adanya dan
semua orang bahagia selamanya. Ini mungkin suatu dongeng yang menyenangkan,
tetapi itu bukan Nibbana yang dialami dan diperkenalkan oleh
Buddha. Selama hidup-Nya Buddha tidak menyangkal gagasan tentang surga seperti
yang dikenal dalam agama-agama awal India, tetapi itu Buddha
mengetahui bahwa surga-surga ini masih termasuk dalam samsara,
sementara keterbatasan akhir berada diluar itu. Buddha mampu melihat bahwa
jalan menuju Nibbanatertuju lebih dari surga.
2. Pembahasan
2.1 Pengertian Nibbana
Nibbana adalah kebahagiaan
tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Kebahagiaan Nibbana
tidak dapat dialami dengan memanjakan indra, tetapi dengan memadamkannya.
Nibbana adalah tujuan akhir ajaran Buddha. Lantas,
apakah Nibbana itu? Tidak mudah untuk mengetahui apa Nibbana itu
sebenarnya; lebih mudah mengetahui apa yang bukanNibbana.
Nibbana bukanlah ketiadaan atau kepenuhan.
Apakah Buddha akan meninggalkan keluarga dan kerajaan-Nya dan
berceramah selama 45 tahun-semuanya hanya demi suatu keadilan?
Nibbana bukanlah suatu surga. Berapa
abad setelah Buddha, sebagian aliran Buddhisme mulai menggambarkan Nibbana sebagai
surga. Tujuan mereka menyetarakan Nibbanadengan alam
surgawi adalah untuk meyakinkan orang yang “kurang pintar” dan untuk menarik
mereka pada ajaran aliran itu, lalu berjuang menuju Nibbana berarti
jadi menjadi mencari suatu tempat yang indah dimana semua hal baik adanya dan
semua orang bahagia selamanya. Ini mungkin suatu dongeng yang menyenangkan,
tetapi itu bukan Nibbana yang dialami dan diperkenalkan oleh
Buddha. Selama hidup-Nya Buddha tidak menyangkal gagasan tentang surga seperti
yang dikenal dalam agama-agama awal India, tetapi itu Buddha
mengetahui bahwa surga-surga ini masih termasuk dalam samsara,
sementara keterbatasan akhir berada diluar itu. Buddha mampu melihat bahwa
jalan menuju Nibbanatertuju lebih dari surga.
Jika Nibbana bukan suatu tempat,
lalu di manakah Nibbana itu? Secara tegas, kita tidak dapat
bertanya di manakah Nibbana itu. Nibbana ada
sama seperti adanya api. Tidak ada tempat penyimpanan untuk api ataupun
untuk Nibbana. Tetapi jika Anda menggosok potongan kayu
bersamaan, maka gesekan dan panas adalah kondisi yang tepat bagi api untuk
muncul. Demikian juga, jika sifat pikiran manusia sedemikian sehingga bebas
dari semua noda, maka kebahagiaan Nibbana akan muncul.
Setiap orang dapat
merealisasikan Nibbana, tetapi sebelum mengalami keadaan tertinggi
kebahagiaan Nibbana, ia hanya dapat berspekulasi seperti apa itu
sebenarnya, sekalipun kita bisa mendapatkannya sekilas dalam kehidupan
sehari-hari. Bagi mereka yang bersikeras pada teori, teks-teks menawarkan
bantuan. Teks-teks menyarankan bahwaNibbana adalah keadaan
kebahagiaan murni yang luar biasa.
Dengan dirinya sendiri, Nibbana cukup
tidak dapat dijelaskan dan didefinisikan. Seperti kegelapan hanya dapat
dijelaskan dengan lawannya: terang, dan seperti ketenangan hanya dapat
dijelaskan oleh lawannya: gerakan, demikian pula Nibbana, sebagai
suatu keadaan yang setara dengan pemadaman segala duka dapat dijelaskan dengan
lawannya: duka yang dipukul dalam samsara. Seperti kegelapan timbul
pada saat tidak ada cahaya, seperti ketenangan muncul pada saat tidak ada
gerakan, demikian pula Nibbana ada di mana-mana saat duka,
perubahan, dan cemaran batin tidak ada.
Seorang penderita yang menggaruk
lukanya dapat mengalami rasa lega sementara. Rasa lega ini hanya memperburuk
luka dan memperparah penyakit. Kegembiraan kesembuhan akhir tidak dapat
dibandingkan dengan rasa lega sementara yang diperoleh dari garukan, pemuasan
nafsu indrawi hanya membawa kepuasan atau kebahagiaan sementara yang justru
memperpanjang perjalanan samsara adalah Nibbana. Nibbana adalah
akhir dari nafsu yang menyebabkan semua penderitaan kelahiran, usia, tua,
penyakit, kematian, kepedihan, ratapan, dan keputusasaan. Kegembiraan
penyembuhan Nibbana sulit dibandingkan dengan kesenagan
sementara dalam samsara yang diperoleh dari pemenuhan nafsu
indrawi.
Tidak disarankan untuk berspekulasi
tentang apakah Nibbana itu; lebih baik untuk mengetahui bagaimana
menyampaikan kondisi yang diperlukan untuk Nibbana, bagaimana
mencapai keheningan dan kebeningan pandangan yang menuju Nibbana.
Ikuti nasehat Buddha, praktekan ajaran-Nya. Lenyapkan semua kotoran yang
berakar dalam ketamakan (lobha), kebencian (dosa) dan ketakutan (moha).
Murnikan batin sendiri dari semua nafsu dan sadari tiadanya inti diri yang
mutlak. Jalani hidup dengan tindakan moral yang benar dan secara konstan
lakukan meditasi. Dengan upaya aktif, bebaskan diri sendiri dari semua keakuan
dan khayalan. Kemudian, Nibbana akan direalisasikan
dan dialami.
3.2
Samsara Dan Nibbana
pelajar Buddhisme Mahayana
terkemuka, Ngarjuna, berkata bahwa samsara danNibbana adalah
satu. Penafsiran ini bisa dengan mudah disalahpahami oleh orang lai. Bagaimanapun,
menyatakan bahwa samsara dan Nibbana itu sama
saja, berarti mengatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam hilangnya hal
terkondisi dan keadaan tak terkondisi dari Nibbana. Berdasarkan
Tipitaka pali, samsara digambarkan sebagai kesinambungan tak terputus dari lima
gugus, empat unsur, dan dua belas besar dasar atau sumber proses batin;
sedangkan Nibbana digambarkan sebagai pemadaman sumber relatif
fisik dan mental itu.
Mereka yang merealisai
kebahagiaan Nibbana dapat mengalaminya selama sisa keberadaan
mereka sebagai manusia. Setelah kematian, hubungan dengan unsur-unsur tersebut
akan luruh, karena alasan yang sederhana bahwa Nibbana tidak
terkondisi, tidak relatif, atau tidak salin bergantung. Jadi tiada lain
bahwa Nibbana adalah “Kebenaran Mutlak”.
Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan saat
ini juga. Ajaran Buddha tidak menyatakan bahwa tujuan akhir itu hanya dapat
dicapai dalam kehidupan sesudahnya. Ketika Nibbanadirelisasikan
dalam hidup ini dengan tubuh masih ada, hal ini disebut Saupadisesa Nibbana.
Saat seorang Araha merealisai Parinibbana, setelah
luruhnya tubuh, tanpa sisa keberadaan fisik, hal ini disebut Anupadisesa
Nibbana.
Kita harus belajar untuk tidak
melekat dari semua hal keduniawian. Jika ada kelekatan terhadap seorang atau
sesuatu, atau jika ada keengganan terhadap seseorang atau sesuatu, kita tidak
akan pernah merealisasi Nibbana karena Nibbana melampaui
semua kelekatan dan keengganan, suka dan tidak suka.
Saat keadaan tertinggi itu tercapai,
kita akan memahami sepenuhnya hidup keduniawian yang sekarang ini. Dunia ini
akan berhenti menjadi obyek nafsu. Kita akan menyadari ketaktetapan,
ketakpuasan, dan ketiadadirian semua yang hidup dan yang tak hidup. Dengan
tergantung pada guru atau buku suci tanpa usaha kita sendiri dengan
cara yang benar, sukar untuk meraih penyadaran Nibbana. Mimpi akan
buyar. Tidak ada istana yang akan dibangun di udara. Badai akan berlalu.
Perjuangan hidup akan usai. Proses alam akan berhenti. Semua kecemasan,
kesengsaraan, gangguan, beban, penyakit fisik dan mental, dan emosi akan
berakhir setelah merealisasikan keadaan kebahagiaan Nibbana ini.
Mengatakan bahwa Nibbana adalah
ketidaan, semata-mata karena orang tidak mampu merasakannya dengan
panca indra, sama tidak logisnya dengan berkata bahwa cahaya itu tidak ada
hanya karena orang buta tidak melihatnya. [1]
Nibbana mempunyai pengertian khusus
untuk menggambarkan akhir proses yang terjadi dalam diri manusia, yang berbeda
dengan konsep sorga maupun neraka, ataupun arti yang identik dengan itu dalam
agama Islam, Kristen, maupun Hindu. Radhakrishnan memberikan pengertian nibbana
sebagai bebas dari kelahiran kembali, berakhirnya rantai kehidupan, paniadaan
keinginan, dendam dan kebodohan teratasi, maka tercapailah nibbana yang mutlak.
3.3
JALAN MENUJU NIBBANA
Bagaiamana caranya untuk
mencapai Nibbana? Dengan melakasanakan delapan faktor jalan utama,
yaitu Pengertian benar ( samma-ditthi), pikiran benar (samma-sankappa), ucapan
benar (samma-vaca), perbuatan benar (samma-kammanta), penghidupan benar (
samma-vayama), perhatian benar (samma-sati), konsentrasi benar (samma-samdhi).
Pengertian benar yang merupakan
kunci utama agma budha, mencakup pengetahuan tentang empat kebenaran mulia.
Mengerti dengan benar berarti memahami segala sesuatu sebagaimana adanya bukan
sebagaimana nampaknya. Pada pokoknya ini menyatakan pengertian benar terhadap
diri sendiri, karena seperti tertulis di dalam Rohitassa Sutta: “empat
kebenaran mulia tergantung pada tubuh ini yang panjangnya dua depan beserta
kesadaranya”. Dalam melaksanakan delapan faktor jalan utama, pengertian benar
berada permulaan karena hal itu memberi motivasi serta arah yang benar kepada
tujuh faktor jalan utama lainnya. Pada tingkat akhir melaksanakan pengertian
benar masak menjadi kebijaksanaan pandangan terang sempurna (vipassana panna),
yang langsung membawa kepada tingkat-tingkat kesucian.
Pengertian benar mengakibatkan
pemikiran benar. Karena itu, faktor kedua dari jalna utama ini
(samma-sankkappa), mempunyai dua tujuan: melenyapkan pikiran-pikiran jahat dan
mengembangkan pikiran baik. Dalam hubungan ini, pikiran benar terdiri dari tiga
bagian, yaitu:
Ø Nekkhamma: melepaskan
diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan diri sendiri yang berlawanan
dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri.
Ø Abyapada: cinta kasih,
i’tikad baik, atau kelemah-lembutan yang berlawanan dengan kebencian, i’tikad
jahat, atau kemarahan.
Ø Avihmsa: tidak kejam
atau kasih sayang, yang berlawanan dengan kekejamana atau ketangisan.
Pikiran benar menimbulkan ucapan
benar, faktor ketiga. Ucapan benar mencakup perbuatan untuk menahan diri dari
berbohong, memfitnah, berkata kasar dan bicara yang tidak berguna.
Ucapan benar harus diikuti dengan
perbuatan benar, yang meliputi perbuatan menahan diri dari pembunuhan
makhluk-makhluk hidup, pencurian dan perbuatan-perbuatan kelamin yang salah.
Dalam membersihkan pikiran, ucapan
dan perbuatan pada tingkat awal. Musafir spiritual berusaha memperbaiki
penghidupanya dengan cara menahan diri dari lima macam perdagangan yang
terlarang bagi seorang umat Budha, yaitu: Memperdagangkan senjata, manusia,
binatang-binatang untuk dibunuh, minuman keras, obat bius dan racun.
Bagi para Bikkhu, penghidup salah
meliputi perbuatan-perbuatan munafikan cara-cara yang tidak dibenarkan untuk
memeperoleh kebutuhan-kebutuhan hidup seorang Bikkhu.
Usaha benar, terdiri atas empat
macam kegiatan yaitu: usaha melenyapkan kejahatan yang telah timbul, usaha
mencegah timbulnya kejahatan yang belum timbul, usaha membengkitkan kebajikan
yang belum timbul dan usaha mengembangkan kebajikan yang telah timbul.
Perhatian benar, adalah kesadaran
yang terus menerus terhadap jasmani, perasaaan-perasaan, pikiran-pikiran, serta
obyek-obyek batin. Usaha benar dan perhatian benar menimbulkan konsentrasi
benar, yaitu menunggalnya pikiran pada satu obyek yang luhur, yang memundak
dalam Jhana.
Dari kehidupan faktor jalan utama
ini, dau yang pertama dikelompokkan ke dalam bagian kebijaksanaan (panna), tiga
yang selanjutnya ke dalam bagian moral (sila). Dan tiga yang terakhir ke dalam
bagian konsentrasi (sammadhi). Tetapi menurut urutan pengembangannya, rangkaian
itu adalah sebagai berikut Sila, Samadhi, Panna.
Moral (Sila) merupakan tingkatan
pertama pada jalan yang menuju ke Nibbana ini. Dengan tidak membunuh ata
melukai makhluk-makhluk apapun, orang akan memiliki rasa belas kasihan dan
cinta kasih terhadap semua makhluk, kepada makhluk yang paling kecil sekalipun
yang merayap di bawah kakinya. Dengan menahan diri dari mencuri, ia akan
berlaku jujur dalam semua usahanya. Dengan menahan diri dari persetubuhan yang
tidak benar yang akan merendahkan derajat manusia, ia akan berlaku saleh.
Dengan menahan diri dari ucapan salah, ia akan berbicara benar. Dengan
menghindari minuman keras yang mengakibatkan kelalaian, ia akan waspada dan
rajin.
Azas-azas dasar kelakuan bermoral
ini amat penting bagi seorang yang melangkahkan kakinya menuju Nibbana.
Melanggar hal-hal tersebut berarti menciptakan rintangan pada kemajuan batinya
sendiri. Pelaksanaan hal-hal tersebut berarti kemajuan yang mantap dan lancar
sepanjang jalan itu.
Dengan mendisiplinkan ucapan-ucapan
dan perbuatan-perbuatan seorang musafir spiritual akan maju lebih jauh.
Sewaktu ia maju dengan lambat tapi
mantap denagn mendisiplinkan segala ucapan dan tingkah lakunya, serta
mengendalikan indra-indranya, kekuatan kamma dari siswa yang sedang berjuang
ini mungkin akan mendorongnya untuk melepaskan kesenangan-kesenangan duniawi
dan menempuh kehidupan sebagai Bikkhu, kemudian dalam dirinya muncul pengertian
bahwa: “Kehidupan rumah tangga merupakan medan perjuangan. Penuh
dengan kerja keras dan kebutuhan; tetapi menjalani kehidupan tanpa berumah
tangga adalah seperti udara terbuka”.
Namun demikian jangan salah tafsir
bahwa seiap orang harus menjadi Bikkhu atau hidup membujang untuk mencapai
tujuan akhir. Kemajuan spiritual seseorang dipercepat dengan menjadi Bikkhu,
walaupun sebagai umat awam ia dapat juga mencapai tingkat Arahat. Setelah
mencapai tingkat kesucian ketiga yaitu, Anagami, seseorang menempuh hidup
membujang. Setelah memperoleh pijakan teguh di atas fondasi moralitas, kemudian
musafir spiritual yang telah memperoleh kemajuan tersebut mulai pelaksaan yang
lebih tinggi, yaitu pengendalian dan pengembangan batin (samadhi), tingkat
kedua pada jalan ini.
Sammadhi adalah pemusatan pikiran
pada satu proyek dengan mengesampingkan semua persoalan yang tidak perlu.
Terdapat berbagai macam objek
meditasi sesuai dengan watak masing-masing individu. Pemusatan pikiran pada
pernafasan merupakan cara termudah untuk mencapai Sammadhi. Meditasi pada cinta
kasih amat berguna karena hal itu mengakibatkan kedamaian dan kebahagian batin.
Pengembangan empat keadaan batin
luhur: cinta kasih (Metta), belas kasihan (karuna), kegembiraan bersimpati
(Mudita) dan keseimbangan batin (Upekkha) amat dipuji oleh para bijaksana.
Setelah mempertimbangkan dengan
hati-hati obyek-obyek meditasi, ia harus memilih salah satu obyek yang paling
cocok dengan wataknya. Setelah dapat memutuskan obyek yang akan dipilih, ia
melakukan usaha terus menerus untuk memusatkan pikirannya sampai ia benar-benar
tenggelam dan masuk ke dalamnya, sehingga semua bentuk pikiran lainnya tida
dapat menerobos ke dalam batinnya. Lima rintangan bagi kemajuan batin adalah:
keinginan indara, kebencian, kemalasan dan kelambanan, kegelishan, kekhawatiran
dan keragu-raguan.
Akhirnya ia mencapai pemusatan
pikiran dan dengan kegembiraan yang dapat diterangkan, ia terserap dalam Jhana,
menikmati ketenangan dan kedamaian penunggalan pikiran.
Bilamana seseorang telah mencapai
keadaan penunggalan pikiran ini, adalah mungkin baginya untuk mengembangkan
lima kemampuan batin luar biasa (abhinna), yaitu: mata-dewa (Dibbacakkhu),
telinga-dewa (Dibbasota), ingatan akan kelahiran-kelahiran lampau
(Pubbenivasanussati-nana), membaca-pikiran (paracitta vijanna), dan berbagai
kemampuan-kemampuan batin lainnya (iddhividha). Namun harus diingat bahwa
kekuatan-kekuatan batin luar biasa ini tidak mutlak bagi pencapaian tingkat
kesucian.
Walaupun sekarang pikiran telah
bersih, tetapi masih ada kecendrungan-kecendrungan yang terpendam dalam batin.
Karena dengan samadhi nafsu-nafsu hanya tertidur untuk sementara.
Kotoran-kotoran batin itu dapat muncul pada saat-saat yang tak terduga.
Baik Sila maupun Sammadhi amat
berguna untuk membersihkan jalan dari rintangn-rintangan, tetapi hanya
pandangan terang sajalah yang memungkinkan seseorang melihat segala sesuatu
sebagaimana adanya untuk akhirnya mencapai tujuan akhir dengan penghancuran
nafsu-nafsu oleh Sammadhi. Inilah tingkat ketiga dan terakhir dari jalan yang
menuju ke Nibbana.
Dengan batin yang telah terpusat,
yang sekarang menyerupai sebuah kaca yang telah digosok, ia meliahat ke dunia
untuk mendapatkan pandangan benar tentang hidup. Kemampuan ia mengalihkan
pandangannya, ia tidak melihat apapun selain tiga corak umum kehidupan, yaitu:
Annica ( ketidak-kekalan), Dukkha (penderitaan), dan Anatta (tanpa pribadi
kekal), yang merupakan gambar timbul yang tegas. Ia memahami bahwa kehidupan
selalu berubah dan semua yang bersayarat itu tidak kekal adanya. Baik disurga
ataupun di dunia ia tidak akan mendapatkan kebahagiaan sejati, karena setiap
bentuk kesenangan hanyalah merupakan pendahulu bagi penderitaan. Karena itu,
apa yang tidak kekal adalah tidak memuaskan dan di mana terdapat perubahan dan
kesedihan, di sana tidak dapat ditemui adanya sesuatu yang kekal abadi.
Kemudian, diantara ketiga corak umum
ini, ia memilih salah satu yang paling menarik baginya dan dengan tekun terus
mengembangkan pandangan terang dalam jurusan yang telah dipilihnya, sampai
saat-saat yang membahagiakan tiba kepadanya ketika ia dapat memahami Nibbana
untuk pertama kali dalam hidupnya, setelah menghancrkan tiga belenggu:
pandangan salah tentang aku (sakkaya ditthi), keragu-raguan (vicikiccha), serta
kepercayaan bahwa upacara dan doa dapat membebaskan manusia dari penderitaan
(Silabbata-paramasa).
Pada tingkat kesucian ini ia disecut
seorang Sotapanna (pemenang arus), seorang yang telah memasuki arus yang akan
membawanya ke Nibbana. Karena ia masih belum menghancurkan semua belenggu, maka
paling banyak ia hanya akan dilahirkan kembali tujuh kali. Dengan mengumpulkan
semangat baru sebagai akibat pandangan terang yang lebih dalam sehingga
mencapai tingkat kesucian kedua, Sakadagami (hanya kembali sekali) dengan
melemahkan dua belenggu kali, yaitu: keinginan indra (Kamaraga) dan i’tikad
jahat (patigha). Ia disebut sakadagami karena ia hanya akan dilahirkan sekali
lagi seandainya ia masih belum mencapai tingkat kesucian terakhir, Arahat.
Pada tingkat kesucian tertinggi
inilah, anagami (tak pernah kembali), ia dapat menghancurkan dua belenggu yang
disebutkan di atas. Setelah itu, ia tidak akan kembali ke dunia ini atau ke
alam dewa. Karena ia tidak memiliki kesenangan-kesenagan indria lagi. Setelah
meninggal dunia, ia terlahir kembali dalam “Alam Murni” (Suddavasa), suatu alam
brahma yang menyenangkan.
Sekarang dengan keberhasilan
usahanya yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka ia mengushakan kemajuannya
yang paling akhir dan menghancurkan sisa belenggu batin seperti, keinginan akan
kelahiran kembali dalam alam-alam bentuk (rupa raga) dan alam-alam tak
berbentuk (arupa-raga), kesombongan (mana), kegelisahan (unddhacca), kebodohan
(avijja), dan menjadi seorang suci yang sempurna (Arahat).
Dengan segera ia menyadari bahwa apa
yang harus dikerjakan telah dikerjakan, bahkan berat penderitaan telah
diletakkan, semua bentuk kemelekatan telah dihancurkan, dan jalan ke Nibbana
telah ditempuh. Beliau Yang Mulia sekarang berdiri di atas ketinggian yang
melebihi surga kediaman para dewa, jauh dari gejolak-gejolak nafsu dan
kekotoran dunia, menikmati kebahagiaan Nibbana yang tak dapat diungkapkan
dengan kata-kata.[5]
4.
Penutup
4.1
Kesimpulan
Dengan kita bersama mempelajari tentang
nibba ini semoga kita biasa mendidikasikan nibbana didalam diri kita sehingga
kita biasa merealisasikan nibbana.
4. 2
Saran
Untuk merealisasikan nibbana mari kita
bersama – sama melakukan perbuaatan bajik semasa kita masih hidup,mari kita
menabung kebajikan-kebajikan demi merealisasikan nibbbana.
Ucapan
Terima Kasih
Secara khusu saya ucapkan terimaksih kepada Dosen pengampu
saya sudah mau menerima ARTIKEL yang buat...
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha), h-154-158
2.
Mukti Ali (agama-agama dunia), h-116.
3.
Rampaian Dhamma, panjika (
dpp Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha Indonesia ), jakarta pusat, 2000,
h69.
4.
Practical Buddhism warisan bhikkhu buddhadasa, Jesspeter koffman, thitikwan liamsiriwattana, direvisi oleh NoelBoivin, pustaka
karaniya ke 131, cet-I, november 2007, h- 210.
5.
Http://Www.semanggi-pahala.or.id/naskah-dhamma/nibbana/.
Rabu, 15 April 2015
Tujuan Hidup Manusia
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hidup tidaka
hanya sekali. Adanya siklus lahir dan mati., bagaikan siang dan malam. Kematian
bukanlah akahir, karena seketika itu pula berlanjut dengan kelahiran kembali.
Melalui lahir dan mati dari alam yang satu kea lam yang lain, ataupun kembali
ke alam yang sama,para makhluk menjalani lingkaran tumimbal lahir. Buddha
mengatakan, “sesuai dengan karmanya mereka akan bertumimbal lahir dan dalam
tumimbal lahirnya itu mereka akan menerima akibat dari perbuatannya sendiri.
Karena itu aku menyatakan: semua makhluk adalah ahliwaras dari perbuatannya
sendiri.” (A. V , 291).
Manusia terdiri
dari kombinasi antara jasmani dan batin (nama rupa). Dalam bahasa pali, badan
jasmani oleh sang Buddha disebut dengan rupa, batin disebut nama. Rupa dan nama
terdiri dari kelompok kehidupan yang disebut pancakkhanda, yaitu: rupa, vedana,
sanna, sankhara, dan vinnana. Rupa merupakan sesuatu yang berbentuk yaitu badan
jasmani dari ujung rambut sampai ujung jari kaki. Vedana adalah perasaan. Sanna
adalah kepercayaan, pengalaman dan ingatan. Sankhara adalah bentuk-bentuk
pikiran. Vinnana adalah kesadaran. Hubungan antara jasmani dan batin bagaikan
hubungan erat antara bunga dan bau. Jasmani sebagai bunga dan batin sebagai
bau. Jasmani dan batin tidak dapat dipisahkan oleh manusia biasa, hanya para
arahat atau Buddha yang dapat memisahkan kedua hal tersebut. Kematian hanya
merupakan pemisahan antara kedua hal ini, yang berlangsung hanya sesaat dan
secara otomatis batin akan bergabung dengan jasmani yang baru dalam kelahiran
berikutnya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa tujuan hidup manusia?
2.
Mengapa agama itu perlu?
3.
Bagaimana cara mencari tujuan hidup?
4.
Apa yang dimaksud dengan penyadaran atau pencerahan?
5.
Apa yang dimaksud dengan jalan menuju pencerahan?
6.
Bagaimana ajaran agama Buddha di masyarakat luas?
C.
Tujuan
1.
Memahami dan mengkaji tujuan hidup manusia
2.
Memahami perlunya suatu agama
3.
Mengetahui tentang mencari tujuan hidup
4.
Mengetahui dan memahami arti penyadaran/perncerahan
5.
Mengetahui dan memahami jalan menuju pencerahan
6.
Memahami dan mengkaji ajaran agama Buddha bagi masyarakat luas
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tujuan
Hidup Manusia
Tujuan hidup
adalah untuk mencapai akhir penderitaan atau ketidakpuasan. Tujuan hidup
manusia, selain untuk melangsungkan keturunan dan memperoleh kemajuan hidup,
maka yang terpenting adalah untuk mencapai tujuan akhir yakni Nibbana, yaitu
suatu keadaan seperti yang diajarkan oleh sang Buddha, serta suatu keadaan yang
pasti setelah melenyapkan keinginan-keinginan. Nibbana adalah padamnya
keinginan, ikatan-ikatan, nafsu-nafsu, dan kotoran-kotoran batin.
Nibbana adalah
kensunyataan abadi, tidak dilahirkan (na uppado pannayati), tidak termusnakan
(na vayopannayati), ada dan tidak berubah (na thitassa annathattan pannayati).
Nibbana disebut Asankhata Dhamma, yang sulit dibabarkan yang bagaimana keadaan
gelap yang hanya dapat dialami jika dhukka telah disadari. Bagi umat Buddha,
nibbana adalah cita-cita atau tujuan hidup yang kelak akan dicapai, entah dalam
kehidupan sekarang maupun pada kehidupan yang akan datang yang diperlukan
hanyalah tekad yang kuat (Adhittana) untuk mengikuti jalan yang telah
ditunjukan oleh guru kita, Sang Buddha Gotama.
Nibbana adalah
tujuan akhir umat Buddha juga suatu keadaan
yang pasti setelah keinginan lenyap. Nibbana adalah batin yang bersih
dari dosa (ketidak senangan), lobha (keserakahan), dan moha (kebodohan). Dalam
Cattari Ariya Saccani, nibbana diartikan sebagai “ dukkha-nirodha” yaitu
lenyapnya dukkha, yang juga diartikan sebagai lenyapnya penyebab dukkha yakni “
tanha”. Tanha muncul karena adanya avijja (kebodohan). Karena tanha lenyap,
maka avijjapun lenyap. Seseorang yang telah menlenyapkan semua kekotoran batin
disisebut telah mencapai kilesa nibbana. (Virana.Ensiklopedia Buddha Dhamma).
Ingat bahwa
tujuan utama umat Buddha adalah mencapai kemurnian dan pencerahan. Pencerahan
menundukan ketidaktahuan yang merupakan akar kelahiran dan kematian.
Bagaimanapun, penundukan ketidaktahuan ini tidak dapat dicapai kecuali dengan
latihan kepercayaan diri sesorang. Semua usaha lain khususnya usaha intelektual
semata tidaklah efektif. Inilah sebabnya sang Buddha menyimpulkan, “pertanyaan (metafisik) ini tidak membawa manfaat; hal ini tidak
berhubungan dengan dharma; hal ini tidak menuju pada perbuatan benar, atau
ketidakmelekatan, atau pemurnian dari nafsu, atau kesunyian, atau menuju hati
yang tenang, atau pengetahuan sejati, atau padangan yang lebih tinggi, atau
Nibbana.” (malunkyaputta
sutta-majjhima Nikaya).
B.
Perlunya
Suatu Agama
Menurut Encyclopaedia of Buddhism, kata “agama”
berasal dari a-gam yang artinya “datang” atau “tiba”, maksudnya mendekat,
menemui, sumber, doktrin dan pengetahuan tradisional, khususnya dipakai untuk
menujuk kepada kitab suci. Balakangan “agama”
diartikan sebagai apa yang diwariskan oleh para guru secara
turun-temurun, berupa sabda, ajaran, aturan, riwayat dan sebagainya. Kata
“agama” juga dipergunakan oleh golongan agama lain di india, misalnya Jaina dan
berbagai aliran Hindu.
Dalam bahasa
Indonesia sekarang, kata agama merupakan padanagan atau terjemahan dari kata religion (inggris) dan ad-din (arab). Menurut kamus besar
bahasa Indonesia, agama berarti: kepercayaan kepada tuhan (dewa, dan
sebagainya) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian
dengan kepercayaan itu.(Krishnanda Wijaya-Mukti).
Kepercayaan
bukanlah agama, bila hanya merupakan komponen dari suatu agama atau religi.
Tetapi aliran kepercayaan atau gerakan kebatinan di luar agama tertentu dan apa
yang dinamakan agama asli, agama etnis atau agama suku, dapat dianggap sebagai
salah satu bentuk religi.
Dalam perspektif
Buddhis, kepercayaan dan upacara saja tidak cukup; sebagai salah satu kreteria
agama, yang penting adalah nilai-nilai moral. Berdasarkan pengertian yang
benar, menurut Buddha ada nilai dalam amal, “pengorbanan dan persembahan; ada
ganjaran atas perbuatan baik atau perbuatan jahat; ada dunia ini, dan ada pula
dunia setelah kematian; ada kewajiban-kewajiban moral, termaksud berbakti
kepada ibu dan ayah; ada guru-guru setelah melaksanakan sendiri hidup yang
baik, mewartakan pengetahuan tertinggi dan pemahaman pribadinya mengenai
hakikat dunia ini dan dunia seberang.” (M.III, 72).
Agama adalah
wujud perjuangan manusia, agama merupakan kekuatan terbersarnya menuntunya
menuju penyadaran diri agama memiliki kekuatan untuk mengubah seseorang dengan
sifat negatif menjadi seseorang dengan sifat positif. Agama mengubah orang yang
tidak mulia menjadi mulia, orang egois jadi tidak egois, orang sombong jadi
rendah hati, orang angkuh jadi sabar, orang tamak jadi murah hati, orang kejam
jadi baik, orang subjektif jadi objektif. Setiapa agama mewakili, bagaimanapun
tidak sempurnanya, suatu pencapaian ketingkat mahluk yang lebih tinggi. Sejak
awal, agama menjadi sumber artistik dan inspirasi budaya manusia. Walaupun
berbagai bentuk agama timbul dalam sejarah, beberapa hanya lewat dan dilupakan,
setiap agama dlam masanya telah menyumbangkan sesuatu terhadap kemajuan
manusia. Kristen membantu peradaban barat, dan melemahnya pengaruh Kristen
telah menandai turunnya semangat orang barat. Ajaran Buddha, yang menbudayakan
sebagian besar wilayah timur jahu hari sebelumnya, masih merupakan sesuatu
kekuatan vital, dan dalam masa pengetahuan ilmiah ini cenderung berkembang dan
memperkuat pengaruhnya. Ajaran Buddha dalam sudut apapun, tidak bertentangan
dengan pengetahuan modern, tetapi mencakup dan melampaui semuanya dalam cara
yang tidak pernah dilakukan oleh sistem pemikiran lain, sebelum dan sesudahnya.
Orang barat berjuang menaklukan alam semesta untuk tujuan material. Ajaran
Buddha dan filosofi timur berjuang untuk mencapai keselarasan dengan alam atau
meningkatkan kepuasan spiritual.
Agama mengajarkan
seseorang bagaimana cara menenangkan indera serta membuat hati dan pikiran
damai. Rahasia penenangan idera adalah dengan melenyapkan nafsu yang merupakan
akar pengganggu. Sangat penting bagi kita untuk memiliki kepuasan. Semakin
orang bernafsu akan kepemilikikannya, orang akan semakin menderita. Kepemilikan
tidak memberikan kebahagiaan sejati bagi
manusia. Kebanyakan orang kaya di dunia saat ini menderita sejumlah masalah
fisik dan mental. Dengan semua unag yang mereka miliki, mereka tidak dapat
membeli solusi bagi masalah mereka. Tetapi, orang termiskin yang telah belajar
untuk memiliki kepuasan dapat lebih menikmati hidup dari pada orang terkaya.
Seperti yang dikatakan suatu sajak :
“beberapa orang
memiliki terlalu banyak, tetapi tetap bernafsu : saya memiliki sedikit dan
tidak lagi mencari : mereka miskin sekalipun banyak yang mereka miliki : dan
saya kaya dengan sedikit perbekalan : mereka miskin, saya kaya : mereka
meminta, saya memberi : mereka kekurangan, mereka merana, saya hidup.” (Sri Dhammananda)
C.
Mencari
Tujuan Hidup
Tujuan hidup
setiap orang berbeda. Seorang Seniman mungkin berjuang untuk melukis mahakarya
yang akan bertahan lama setelah ia tiada. Seorang ilmuan mungkin ingin
menemukan suatu fenomena, memformulasikan suatu teori baru, atau menemukan
mesin baru. Seorang politikus mungkin ingin menjadi perdana mentri atau
presiden. Seorang eksekutif muda mungkin bertujuan untuk menjadi direktur
perusahaan multi nasional. Bagaimanapun, jika anda bertanya pada seniman,
ilmuan, pilitikus, dan eksekutif muda itu mengapa mereka bertujuan semacam itu,
mereka akan menjawab bahwa pretasi tersebut akan memberi mereka suatu tujuan
dalam hidup dan membuat mereka bahagia. Tetapi akan kah pencapaian ini membawa
kebahagia abadi? Semua orang bertujuan untuk kebahagiaan dalam hidup, tetapi
dalam prosesnya mereka malah lebih menderita. Nilai kehidupan bukan terletak
pada panjangannya hari tetapi pada jarak kita memanfaatkan hidup. Orang mungkin
hidup panjang tanpa melakukan pelayanan apapun kepada sesama, hidup semacam ini
tidaklah bernilai. (Sri Dhammananda).
D.
Penyadaran/Pencerahan
Sekali kita
menyadari sifat kehidupan (ditandai dengan perubahan, ketidakpuasan, dan
tiadanya ego) serta sifat ketamakan dan cara pemuasannya, kita akan dapat
memahami mengapa kebahagiaan yang sangat ingin dicari oleh banyak orang itu
sungguh sulit diraih, ibarat sulitnya menggenggam sinar rembulan. Mereka
mencoba meraih kebahagiaan melalui pengumpulan. Ketika mereka tidak sukses
dalam pengumpulan kekayaan, peroleh posisi, kekuasaan dan kebahagiaan, dan
mendapatkan kesenangan dari pemuasan indera, mereka akan merana dan menderita.
Iri pada orang lain yang sukses melakukan hal itu. Sekalipun jika mereka
‘sukses’ dalam mencapai hal-hal tersebut, mereka tetap saja menderita karena
mereka kemudian takut kehilangan apa yang telah diperoleh, atau keinginan mereka
sekarang telah meningkat untuk lebih kaya, posisi yang lebih tinggi, lebih
berkuasa, dan kesenangan yang lebih besar. Keinginan mereka tidak dapat
dikenyangkan sepenuhnya.inilah sebabnya pemahaman hidup itu penting agar kita
tidak membuang waktu terlalu banyak melakukan hal yang tidak mungkin.
Disinilah
pemelukan suatu agama menjadi penting, karena hal ini mendorong kepuasan dan
mendorong orang untuk melihat lebih dari sekedar kebutuhan daging dan egonya.
Dalam suatu agama seperti agama Buddha, kita diingatkan bahwa kita adalah ahli
waris kamma dan tuan nasib kita
sendiri. Untuk memperoleh kebahagian yang lebih besar, kita harus siap untuk
meninggalkan kesenangan jangka pendek. Jika seseorang tidak percaya tentang
kehidupan setelah kematian, bahkan cukup baginya untuk menjalani hidup yang
lebih baik dan mulia di bumi, menikmati hidup damai dan bahagia disini dan
sekarang. Juga melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi kebahagian orang lain.
Menjalani hidup yang positif dan bermanfaat semacam itu di bumi dan menciptakan
kebahagian bagi diri sendiri dan orang lain adalah jauh lebih baik daripada
hidup egois dengan mencoba memuaskan ego dan ketamakan sendiri. Jika kita tidak
tahu bagaimana cara hidup sesuai harapan orang lain, bagaimana kita dapat
mengaharapkan orang lain untuk hidup sesuai dengan harapan kita.
Jika seseorang
percaya akan kehidupan setelah kematian, maka menurut hukum kamma, tumimbal
lahir akan terjadi sesuai dengan kualittas perbuatanya. Orang yang telah
melakukan banyak perbuatan baik mungkin terlahir dalam kondisi yang
menyenangkan di mana mereka ia menikamati kekayaan dan kesuksesan, kecantiakan
dan kekuatan, kesehatan yang baik, dan bertemu teman dan guru spiritual yang
baik. Perbuatan yang bermanfaat dapat juga menuntun pada tumimbal lahir di surga
dan keadaan luhur lainnya, sedangakan perbuatan yang tak bermanfaat menuntun
pada tumimbal lahir dalam keadaan menderita. Jika seseorang memahami kamma. Ia
akan menahan diri dari perbuatan buruk dan coba mengembangakan kebaikan. Dengan
berbuat demikian, ia memperoleh keuntungan bukan hanya dalam hidup saat ini,
tetapi juga dalam banyak kehidupan mendatang.
Saat seseorang
memahami sifat manusia. Maka timbul beberapa penyadaran yang penting. Ia
menyadari bahwa tidak seperti batu atau karang. Manusia memilki potensi bawaan
lahir untuk tumbuh dalam kebijaksanaan. Belas kasih,kesadaran dan di ubahkan
oleh perkembangan dan pertumbuhan hidup ini .Ia juga memahami bahwa tidak mudah
untuk terlahirkan sebagai manusia.khususnya manusia yang memiliki kesempatan untuk mendengarkan dhamma. Sebagai tambahan, Ia
sepenuhnya sadar bahwa hidupnya tidak abadi dan karena itu, Ia mempraktikan
dhamma selama masih dalam posisi yang memungkinkan untuk berbuat itu. Ia
menyadari bahwa praktik dhamma adalah suatu proses pendidikan seumur hidup yang
memungkinkannya untuk membebaskan potensi sejati yang terperangkap dalam
pikirannya oleh kegelapan batin dan ketamakan. Untuk mengalami kesenangan
duniawi harus ada objek eksternal atau rekan, tetapi tidak mencapai kebahagiaan
batin tidak di perlukan objek eksternal.
Berdasarkan pada
penyadaran dan pemahaman ini, ia kemudian akan mencoba untuk lebih sadar akan
apa dan bagaimana ia perpikir, berucap dan berbuat. Ia akan mempertimbangkan
apakah pikiran, ucapan dan tindakannya berguna, di lakukan dari welas asih dan
memiliki dampak yang baik bagi dirinya sendiri serta orang lain. Ia akan
menyadari nilai sejati dan menapaki jalan yang menuju pengubahan diri sempurna,
yang di kenal oleh umat Buddha sebagai jalan Ariya beruas delapan. Jalan ini
dapat membantu seseorang mengembangkan kekuatan moralnya (Sila) memalui
penahanan perbuatan negatif dan perkembangan sifat positif yang mendukung
pertumbuhan pribadi, mental dan spiritual. Sebagai tambahan, jalan ini
mengandung jalan teknik yang dapat di terapkan seseorang untuk memurnikan
pikiran, memperluas kemungkinan pikiran, dan membawa perubahan sempurna menuju
kepribadian yang bermanfaat. Praktik mengembangkan mental (bhavana) ini dapat
memperluas dan memperdalam pikiran untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik
sifat dan karakteristik fenomena,
kehidupan dan alam semesta. Singkat kata, hal ini mengarah pada
pengembangan kebijaksanaan (panna). Saat kebijaksanaanya tumbuh, demikian juga
cinta, belas kasih, kebajikan, dan kegembiraannya. Ia akan memiliki kesadaran
yang lebih besar terhadap semua bentuk kehiduapan dan pemahaman yang lebih baik
akan pikiran, perasaan dan motivasinya sendiri.
Dalam proses
perubahan diri, orang tidak lagi bercita-cita untuk suatu kelahiran kembali
dengan tujuan akhir dalam hidup. Ia kemudian akan menetapkan tujuan yang jauh
lebih tinggi, dan mengikuti jejak Sang Buddha yang telak mencapai puncak
kesempurnaan manusia dan mencapai tingkat yang tak terkatakan yang kita sebut
pencerahan atau Nibbana. Di sinilah umat Buddha mengembangkan kepercayaan diri
yang besar dalam tiratana dan menerima Sang Buddha sebagai panutan spiritual.
Umat Buddha akan berjuang untuk membasmi ketamakan, mengembangkan kebijaksanaan
dan belas kasih, dan untuk sepenuhnya terbebas dari belenggu samsara. (Sri
Dhammananda).
Pencerahan
adalah pemgalaman rohani yang dalam seketika menyadarkan dan menyempurnakan
hidup seseorang yang mengalaminya. Penyempurnaan yang dimaksud terkait dengan kebijaksanaan dan kesucian,
yang membuatnya terbebas dari samsara. Mereka yang mengalami pencerahan
menyadari hakikat diri sendiri serta dunia yang kosong dan sementara. Sekalipun
Buddha dan Bodhisattwa mungkin mengambil bentuk manusia, mereka tidak terkait
pada apa yang dinamakan diri.
Dalam agama
Buddha pencerahan adalah suatu realisasi atau pengcapaian aktivitas. Bukan
secara ilham, mimpi, atau wahyu. Manusia mendapatkan pencerahan bukan karena
adanya kekuatan yang datang dari luar dirinya, tetapi dibangunkan dari
kesadaran dirinya sendiri sebagai manusia. Walaupun pencerahan debedakan atas
sravaka-bodhi, prateyaka-Bodhi, Samyak-Sambodhi, pada dasarnya ketiga macam
pencerahan itu berada dalam jalan yang sama.
Pencerahan dapat
dipandang sebagai pembebasan dari khayalak yang menyesatkan. Pada dasarnya kita
semua memiliki apa yang disebut
pencerahan, tetapi terhalangi oleh khayalan seperti halnya matahari yang
tertutup awan. Itulah sebabnya pencerahan bukan suatu prestasi dalam arti
mendapatkan sesuatu yang baru. Ketika terjadi pencerahan kita hanya terbebaskan
dengan menyingkirkan awan-awan menutupi.
Pencerahan yang
diungkapkan oleh Kitab Suci merupakan pencapaian kebijaksanaan dan kesucian.
Pencapaian terjadi krena penembusan (pativedha), yang dibedakan dalam empat
katagori berdasarkan tingkat kesucian. Tingkat kesucian pertama sotapatti;
kedua sadakagama; ketiga anagami dan keempat, yang tertinggi, arahatta. Ukuran
kesucian adalah sejauh mana kesepuluh belenggu (samyojana) yang membuat
sesorang terkait pada kelahiran kembali, dihancurkan. Penembusan dapat dialami
oleh laki-laki atau peerempuan, tua atau muda.
Pencerahan
adalah menyingkirkan ketidaktahuan; merupakan cita-cita hidup umat Buddha. Kita
sekarang dapat meliahat dengan jelas bahwa pencerahan bukanlah aksi
intelektualitas semata. Spekulasi semata tidak menolong sesorang untuk
mendekati kenyataan hidup. Inilah sebabnya sang Buddha memberikan penekanan
utama pada pengalaman pribadi. Meditasi merupakan sistem ilmiah praktis untuk
menguji kebenaran yang datang dari pengalaman pribadi. (Krishnanda
Wijaya-Mukti).
E.
Jalan
Menuju Pencerahan
Jalan menuju
pencerehan hingga tercapainya nibbana adalah jalan tengah, jalan mulia berunsur
delepan. Menurut urutan pengembangannya, terdapat tahapan, dimulai dari
unsur-unsur sila, lalu berikutnya samadi dan kebijaksanaan. Pada dasarnya unsur
yang satu terkait dengan yang lain, karena sila, samadi dan kebijaksaan
merupakan satu jalan yang tunggal.
Sang Buddha menghampiri mereka, seraya berkata, “Para
bhikkhu, jalan yang kalian bicarakan adalah keadaan di luar diri kalian.
Seorang bhikkhu seharusnya hanya terpusat pada ‘jalan utama’ (jalan Ariya) dan
berusaha keras berbuat sesuai dengan ‘Jalan Ariya’ yang membimbing kita
merealisasi kedamaian abadi (nibbana).”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 273 sampai dengan 276
berikut ini :
Di antara semua jalan,
maka ‘Jalan Mulia Berfaktor Delapan’ adalah yang terbaik;
di antara
semua kebenaran,
maka
‘Empat Kebenaran Mulia’ adalah yang terbaik.
Di antara
semua keadaan,
maka
keadaan tanpa nafsu adalah yang terbaik;
dan di
antara semua makhluk hidup,
maka orang
yang ‘melihat’ adalah yang terbaik.
Inilah satu-satunya ‘Jalan’.
Tidak ada jalan lain
yang dapat
membawa pada kemurnian pandangan.
Ikutilah
jalan ini,
yang dapat
mengalahkan Mara (penggoda).
Dengan mengikuti ‘Jalan’ ini,
engkau dapat mengakhiri penderitaan.
Dan jalan
ini pula
yang
Kutunjukkan setelah Aku mengetahui
bagaimana
cara mencabut duri-duri (kekotoran batin).
Engkau sendirilah yang harus berusaha,
para Tathagata hanya menunjukkan ‘Jalan’.
Mereka
yang tekun bersemadi dan memasuki ‘Jalan’ ini
akan
terbebas dari belenggu Mara.
Kelima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat,
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
(Sutta
Pitaka-Khuddaka Nikaya-Dhammapada Atthakatha(273,274,275,276)
Jalan
Mulia Beruas delapan (Ariya Atthangika Magga):
1. Pandangan Benar (Samma Ditthi)
2. Pikiran Benar (Samma Sankappa)
3. Ucapan Benar (Samma Vaca)
4. Perbuatan Benar (Samma Kammanta)
5. Penghidupan Benar (Samma Ajiva)
6. Usaha Benar (Samma Vayama)
7. Perhatian Benar (Samma Sati)
8. Konsentrasi Benar (Samma Samadhi)
a)
Tujuh tingkat kesucian
Tingkat
kesucian yang dicapai melalui meditasi terdiri dari :
1) Kesucian
sila (sila-visuddhi), mematuhi janji pelaksanaan sila, menjaga keenam pintu
indera, mempertahankan kehidupan yang benar, menggunakan keperluan hidup dengan
bijaksana.
2)
Kesucian pikiran (citta-visuddhi), baik
melalui jalan ketenangan atau jalan pandangan terang, mencapai konsentrasi.
3)
Kesucian pandangan (ditthi-visuddhi),
munculnya pengertian langsung mengenai batin dan jasmani, menandai saat
permulaan lepas dari pandangan yang spekulatif, terutama padangan mengenai
diri.
4)
Kesucian pandangan terang yang mengatasi
keragu-raguan (kankhavitarana-visuddhi), mampu menentukan sifat-sifat dari
timbul dan tenggelamnya agrigrat kehidupan (batin dan jasmani).
5)
Kesucian pandangan terang menyadari apa
yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan
(magga-amaggananadassana-visudddhi).
6)
Kesucian pandangan terang mengetahui
cara praktik (patipadananadassana-visuddhi).
7)
Kesucian pandangan terang
(nanadassana-visuddhi), menunjukan pada sang jaln dan sang hasil.
Pada
tingkat berikutnya tercapai kesucian kebijaksanaan (panna-visuddhi) dan
kesucian kebebasan (vimutti-visuddhi).
b).
Cara pencapaian
setiap orang memerlukan teori
yang berfungsi sebagai peta yang membibingnya menempuh jalan yang benar. Ini
merupakan aspek belajar teori (pariyatti). Berikutnya ia melakukan penyelidikan
dengan mengikuti petunjuk peta. Ini yang dinamakan praktik (patipatti) dengan
itu ia akan memperoleh hasil dari proses belajar yang dinamakan penembusan
(pativedha) (AA.V,33).
Untuk mencapai pencerahan
terdapat berbagai macam-macam latihan atau metode yang dikembangkan oleh
berbagai sekte. Pada dasarnya semua bentuk pelatihan itu tak lain dari
meditasi. Pembacaan berulang-ulang sutta atau mantra atau nama Buddha pun merupakan
sejenis meditasi.
Dalam tradisi Zen, untuk mendapatkan
satori praktiksi sebagai subjek melihat objek dengan masuk kedalam objek
sendiri. Aku dalam diri telah hilang. Tidak seperti aliran soto yang menekankan
za-zen, aliran Rinzai juga mengembangkan tehnik koan dan mondo. Koan (masalah
umum) adalah bentuk tanya jawab yang mengesankan bagai teka-teki tidak logis,
membuat orang mengalami batas-batas kemampuan intelek. Mencari jawaban atas
pertanyaan koan dilakukan dengan za-zen. Mondo adalah dialok antara guru dengan
murid yang berlangsung pendek berfungsi menunjuk ada dan tidaknya pengalaman
satori. Pencapaian kebebasan (vimutti) dibedakan atas :
1)
Melalui kekuatan batin (ceto-vimutti).
2)
Melaui kekuatan kebijaksanaan
(panna-vimutti).
Yang
pertama dicapai oleh mereka yang mengembangkan pandangan terang setelah
mencapai jhana: dengan itu terbebas dari ikatan hawa nafsu. Yang kedua langsung
melalui padangan terang : dengan itu terbebas dari kebodohan (A.1.60).
Pada
kebijaksaan yang timbul melalui pikiran atau perenungan (cintamaya) : ada yang
timbul melaui pendengeran, mendengar khotbah atau pelajaran dari orang lain
(sutamaya) : adapula timbul melalui pengembangan batin (bhavanamaya) (D.III.
209).
Pemusatan
pikiran dapat timbul secara alamnya atau sebagai hasil dari latihan-latihan
tertentu hasil terakhir dari kedua cara tersebut adalah sama, yaitu pikiran
akan terpusat dan siap digunakan untuk melakukan intropeksi. Terdapat sejumlah
bhikkhu yang berhasil menjadi arahat setelah mendengarkan khotbah Buddha.
Contoh : kelima petapa murid Buddha yang pertama setelah mendengarkan babaran
anattalakkagana-sutta tentang tiadanya suntansi inti atau tanpa aku (vin.1,14)
atau seribu bhikkhu yang mendengar adittapariyaya-sutta) atau khotbah Api
(vin.1,35). Suppabuddha seprang penderita kusta mencapai tingkat kesucia
sotapatti ketika mendengarkan khotbah dengan penuh perhatian (DhpA. 66).
(Krishnanda Wijaya-Mukti)
F.
Ajaran
Agama Buddha Bagi Masyarakat Luas
Ajaran Buddha
dewasa ini tetap merupakan kekuatan besar peradaban dalam dunia modern. Sebagai
suatu kekuatan peradaban, ajaran Buddha membangun kehormatan dan rasa tanggung
jawab dari banyak orang dan membangkitkan semangat bangsa. Ajaran Buddha
mendorong kemajuan spiritual dengan menarik daya pikir umat manusia. Ajaran
Buddha meningkatkan rasa toleransi dalam diri orang dengan tetap terbebas dari
kesempitan dan fanatisme agama dan bangsa. Ajaran Buddha memenangkan dan
menjernihkan pikiran para warga Negara. Singkatnya, ajaran Buddha menumbuhkan rasa percaya diri dengan mengajarkan bahwa
seluruh nasib manusia ada dalam tangan kita sendiri, dan bahwa diri kita
sendiri memiliki kemampuan untuk mengembangkan kekuatan dan penglihatan untuk
mencapai tujuan tertinggi.
Salama lebih
dari dua ribu tahun ajaran Buddha telah memuaskan kebutuhan spiritual hampir
seperlima jumlah manusia. Ajaran Buddha tetap berada di antara sumber spiritual
terkaya karena ajaran ini mengangkat upaya manusia ke tingkat yang lebih
tinggi, lebih dari sekedar pengajaran kebutuhan dan nafsu yang tak pernah
terpuaskan. Karena keluasan cara pandangnya, buah dari visi sang Buddha adalah
sesuatu yang lebih dari latihan atau atau penghiburan intelektual yang tak
berguna. Ajaran Buddha tidak menyuguhkan spekulasi verbal dan argument demi
dirinya sendiri.
Ajaran Buddha
itu praktis, rasional, dan menawarkan pandangan yang realistis tentang
kehidupan dan dunia. Ajaran Buddha tidak memikat orang untuk hidup dalam surga
yang konyol ataupun menakut-nakuti dan membuat orang menderita dengan segala
jenis khayalan ketakutan dan perasaan bersalah. Ajaran Buddha juga tidak
menciptakan kefanatikan agama untuk mengusik penganut agama lain. Sikap umat
Buddha terhadap agama lain sungguh luar biasa. Alih-alih mengubah penganut
agama lain menjadi ajaran Buddha, umat Buddha mampu mendorong mereka untuk
mempraktikan agama mereka sendiri karena umat Buddha tidak pernah berfikir
bahwa penganut agama lain adalah orang
buruk. Ajaran Buddha memberitahu kita secara tepat dan objektif apakah diri
kita itu dan apakah dunia di sekitar itu, dan menunjukan kita jalan menuju
kebebasan, kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan sempurna.
Jika umat
manusia saat ini dijauhkan dari tindakan yang bertentangan dengan standar moral
yang diajarkan agama. Ajaran Buddha adalah sarana yang paling efektif. Ajaran
Buddha adalah agama kemanusiaan, yang penemunya adalah seorang manusia yang
tidak mencari pengungkapan atau campur tangan ilahi dalam pembentukan
ajaran-Nya. Pada masa dimana orang bergembira dengan keberhasilan mengendalikan
dunia materi. Manusia mungkin akan meninjau balik pengendalian fenomena
tersulit, yaitu diri sendiri. Dalam tugas inilah, manusia modern akan menemukan
ajaran Buddha sebagai jawaban untuk berbagai masalah dan keraguannya. (Sri
Dhammananda).
Ajaran Buddha dalah jalan hidup yang benar untuk
kedamaian dan kebahagiaan semua mahluk hidup. Ajaran Buddha merupakan suatu
metode untuk lepas dari kesengsaraan dan menemukan pembebasan. Ajaran Buddha
tidak terbatas pada satu bangsa atau ras. Ajaran
Buddha ini juga bukanlah syahadar atau iman semesta. Ini adalah ajaran untuk
seluruh alam semesta. Ini adalah ajaran untuk sepajang masa. Tujuannya adalah
pelayanan yang tidak egois, niat baik, kedamaian, keselamatan, dan pembebasan
dari penderitaan.
Ajaran Buddha
mengandung kebijaksanaan praktis yang tidak dapat dibatasi pada teori atau
filosofi kerena filosofi terutama berhubungan dengan pengetahuan tetapi tidak
peduli dengan penerjemahan pengetahuan dalam praktik sehari-hari.
Ajaran Buddha
menarik bagi bangsa Barat karena ajaran Buddha tidak memiliki dogma dan
memuaskan hati maupun pikiran. Ajaran Buddha berteguh pada keyakinan diri
digabung dengan toleransi terhadap orang lain. Ajaran Buddha mencakup penemuan
ilmiah modern jika di tujukan untuk hal yang membangaun. Ajaran Buddha menunjuk
manusia sendiri sebagai pencipta kehidupannya saat ini dan sebagai perancang
tunggal nasibnya sendiri. Demikianlah sifat ajaran Buddha. Inilah sebabnya
mengapa banyak pemikiran modern yang bukan umat Buddha menggambarkan ajaran
Buddha sebagai suatu agama kebebasan dan akal budi.
Ajaran buddah
sebagai suatu agama talah melayani harapan dan cita-cita manusia dengan baik;
telah membantu perkembanagan mahluk social dengan jalan hidup yang patut
dihargai dan semangat kebersamaan yang ditandai dengan usaha keras menuju
kedamaian dan kebahagiaan. Ajaran Buddha telah menjadi lini depan kesejahteraan
manusia.
Bahkan dalam
politik ajaran Buddha tercatat dalam banayak peristiwa sebagai terobosan besar
bagi keadilan, prosedur demokrasi, dan kehormatan nilai-nilai moral dasar.
Ajaran Buddha telah memberikan cita rasa berbeda bagi budaya Timur. Ajaran
Buddha telah memberikan perilaku etika dasar ke antara masayarakat yang
menyerapnya dalam berbagai bentuk.
Memang potensi
besar ajaran Buddha belum disadari sepenuhnya oleh kebanyakan orang yang telah
menyerapnya sampai batas tertentu. Kapasitas ajaran Buddha untuk meningkatakan
potensi individu dan umum telah dikalahkan oleh sumbangsih ajaran Buddha dalam
bidang seni dan literature. Tetapi satu aspek ajaran Buddha yang tetap merupakan
hal yang penting sepanjang sejarahnya adalah pada rasionalismenya. Akal budi,
walaupun sering dilanggar, adalah sesuatu yang dimiliki manusia, untuk membuat
manusia beradab, tak peduli betapa kaburnya hal itu dengan segi-segi sifat
manusia lainnya seperti emosi. Ajaran Buddha akan terus mendesak menusia
menjadi mahluk berakal budi, diatur oleh pikiran, tetapi juga member
pertimbangan pada hati.
Sumbangsih sang
Buddha terhadap kemajuan sosial dan spiritual umat manusia sangatlah lauar
biasa bahwasanya pesan-Nya yang menyebar ke seluruh dunia mendapatkan kasih dan
perhatian orang-orang dengan rasa hormat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Baik untuk diketahui bahwa ajaran Buddha tidak memilih orang dengan mengikuti
mereka untuk mengubah mereka dengan janji-janji surga. Orang-oranglah yang
memilih agama Buddha.
Ada beberapa
orang yang percaya bahwa ajaran Buddha adalah sistem yang sangat luhur dan
mulia sehingga tidak dapat dipraktikan oleh pria dan wanita biasa dalam dunia
kerja saat ini. Mereka berfikir bahwa orang harus mengendurkan diri ke suatu
vihara atau tempat sunyi jika ingin menjadi umat Buddha sejati.
Ini adalah
kesalah pahaman yang menyedihkankan akibat kurangnya pemahaman jalan hidup umat
Buddha. Orang pada kesimpulan semacam itu setelah menbaca atau mendengar
sesuatu tentang ajaran Buddha secara sepintas. Beberapa orang membangun kesan
mereka tentang ajaran Buddha setelah membaca artikel atau buku hanya memberi
pandangan atau sebagian berat sebelah tentang ajaran Buddha. Pengarang artikel
dan buku semacam itu hanya memiliki pemahaman yang terbatas tentang ajaran
Buddha. Ajaran-Nya tidak dimaksudkan hanya untuk anggota sangha dan vihara.
Ajaran itu juga untuk pria dan wanita biasa yang hidup di rumah bersama
keluarga mereka. Jalan Ariya Beruas Delepan adalah jalan hidup Buddhis bagi
semua orang. Jalan hidup ini ditawarkan bagi seluruh umat manusia tanpa
perbedaan apapun. Ketika keempat aspek kehidupan, yaitu kehidupan keluarga,
bisnis, sosial, dan spiritual diselaraskan secara memuaskan, kebahagiaan akan
diperoleh.
Mayoritas orang
di dunia tidak dapat menjadi bhikkhu atau mengundurkan diri kedalam gua atau
hutan. Betapa pun mulia yang sucinya ajaran Buddha hal ini tidak berguna bagi
khayalak jika mereka tidak dapat mengikutinya dalam dunia modern. Namun jika
anda memahami semangat ajaran Buddha dengan benar, anda tentu dapat mengikuti
dan mempraktikan sembari menjalani hidup sebagi orang biasa.
Mungkin ada
sebagian orang yang merasa lebih muda dan nyaman untuk menjalani agama Buddha
dalam hidup di tempat terpencil dengan kata lain, dengan menarik diri mereka
dari masyarakat luas. Tetapi orang lain merasa bahwa jenis pengasingan semacam
ini membosankan dan menekankan seluruh diri mereka, baik fisik maupun mental
dan kerenanya hal ini mungkin tidak kunduksif bagi pengembangan hidup spiritual
dan intelektualnya.
Pengasingan
sejati bukan berarti melarikan diri secara fisik dari dunia. Sariputta murid
utama sang Buddha, berkata bahwa seseorang dapat hidup dalam hutan mengabdikan
diri pada praktik petapa, tetapi mungkin penuh dengan pikiran yang tidak murni
dan cemaran. Orang lain mungkin hidup di sebuah desa atau kota, tidak
mempraktikkan disiplin petapa, tetapi pikirannya murni dan bebas dari cemaran.
“dari kedua orang ini,” kata sariputta, “orang yang menjalani hidup murni di
desa atau kota tentunya jauh lebuh unggul dan mulia dari pada orang yang hidup
di hutan. “(Majjhima Nikaya).
Kepercayaan umum
bahwa untuk mengikuti ajaran budhha orang harus mengundurkan diri dari
kehidupan keluarga normal adalah suatu kesalah pahaman. Hal ini benar-benar
merupakan pertahanan yang tak disadari menentang praktiknya. Adalah sebuah
rujukan dalam literatur buddhis bagi orang-orang yang menjalani kehidupan
keluarga normal dan lumrah yang dengan sukses mempraktikan apa yang di ajarkan
sang Buddha dan menyadari nibbana. Vacchagotta si pengembara, pernah bertanya
pada sang Buddha secara langsung apakah ada orang awam yang menjalani hidup
berkeluarga yang mengikuti ajarannya dengan sukses dan mencapai tingkat spiritual
yang tinggi sang Buddha menyatakan bahwa ada banyak orang awam yang menjalani
hidup berkeluarga yang telah mengikuti ajarannya dengan sukses dan mencapai
tingkat spiritual yang tinggi.
Orang tertentu
mungkin setuju unutk menjalani hidup pengasingan dalam tempat jauh dari
kebisingan dan gangguan. Tetapi tentunya lebih patut dipuji dan brani jika
mempraktikan ajaran Buddha dengan hidup diantara manusia biasa, membantu mereka
yang mengeluarkan jasa pada mereka. Mungkin berguna dalam kasus tertentun jika
seseorang hidup dalam pengasingan selama waktu tertentu untuk meningkatkan
pikiran dan perangaiannya senang suatu awal dari pelatihan moral, spiritual,
intelektual, agar menjadi cukup kuat untuk suatu saat keluar dan menolong orang
lain. Tetapi jika seseorang menjalani seluruh hidupnya dalam pengasingan, hanya
memikirkan kebahagian dan keselamatannya sendiri, tanpa peduli pada sesama, hal
ini tentunya tidak sesuai dengan ajaran Buddha yang didasarkan pada cinta,
belas kasih, dan pelayanan bagi orang lain.
Orang mungkin
kuni bertanya, “jika seseorang bisa mengikuti ajaran Buddha dengan menjalani
hidup sebagai orang biasa, mengapa sangha, persamuan bhikkhu didirikan oleh
sang Buddha? .“ persamuan ini menyedikan kesempatan bagi mereka yang ingin
mengabdikan hidup mereka buakan hanya untuk pengembangan spiritual dan
intelektual mereka sendiri, tetapi juga untuk melayani orang lain. Seseorang
umat awam dengan keluarga yang tidak dapat diharapakan untuk mengabdikan
seluruh hidupnya untuk melayani orang lain, sedangkan seorang bhikkhu, yang
tidak memiliki tanggung jawab keluarga atau ikatan duniawi lainnya. Berada
dalam posisi lebih leluasa untuk mengabdikan hidupnya bagi kebaikan banyak
orang (Dr.Walpola Rahula).
Dan apakah
kebaikan yang dapat mengutungkan banyak orang ini? Bhikkhu tidak dapat memberi
kenyamanan materi bagi orang awam, tetapi mereka dapat menyediakan bimbingan
spiritual bagi mereka yang disulitkan oleh masalah duniawi, keluarga,
emosional, dan sebagainya. Bhikkhu mengabdikan hidupnya untuk pengetahuan dhamma
seperti yang diajarkan oleh sang Buddha.
Mereka menjelaskan ajaran itu dalam bentuk yang disederhanakan kepada
orang awam yang tak terlatih. Dan jika orang awam ini terpelajar, mereka ada
untuk mendiskusikan aspek yang lebih dalam dari ajaran itu sehingga keduanya
mendapat sesuatu secara intelektual dari diskusi itu.
Di Negara-negara
buddhis, sangha sangat bertanggung jawab untuk pendidikan generasi muda. Akibat
sumbangsih mereka, Negara-negara buddhis memiliki populasi dengan angka
litelasi tinggi dengan berpengetahuan baik dalam nilai-nilai spiritual. Sangha
juaga memberikan pemahaman kepada mereka yang kehilangan dengan menjelaskan
bahwa umat manusia adalah subjek gangguan yang sama.
Sebaliknya, umat
awam diaharapkan memperhatikan kesejahteraan material sangha yang tidak mencari
penghasilan bagi diri mereka diri untuk menyedikan makanan, tempat bernaung,
obat, dan pakaian. Dalam praktis buddhis dalam umumnya, umat awam dianggap
berjasa jika berperang dalam kesejahteraan sangha karena dengan demikian sangha
untuk terus melayani kebutuhan masyarakat dan mengembangkan kemurnian mental
mereka sendiri. (Narada).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tujuan
hidup adalah untuk mencapai akhir penderitaan atau ketidakpuasan. Tujuan hidup
manusia, selain untuk melangsungkan keturunan dan memperoleh kemajuan hidup,
maka yang terpenting adalah untuk mencapai tujuan akhir yakni Nibbana, yaitu
suatu keadaan seperti yang diajarkan oleh sang Buddha, serta suatu keadaan yang
pasti setelah melenyapkan keinginan-keinginan. Nibbana adalah padamnya
keinginan, ikatan-ikatan, nafsu-nafsu, dan kotoran-kotoran batin.
B. Saran
Untuk
memahami tujuan hidup sebenarnya, kita disarankan untuk memilih dan mengikuti
sistem etika-moral yang menahan kita dari perbuatan buruk, mendorong berbuat
baik, dan memungkinkan pemurnian batin. Dengan agama sebagai tolak ukur, dalam
pencapaian kesucian.
DAFTAR
PUSTAKA
Dhammananda, Sri. 2005. Keyakinan Umat Buddha.
Jakarta : Ehipassiko Foundation.
Wijaya-Mukti, Krishnanda. 2006. Wacana Buddha Dharma. Jakarta : Yayasan
Dharma Pembangunan.
Narada, Ven. 1998. Sang Buddha dan Ajaran-ajaranNya. Bagian
II. Jakarta : Yayasan Dhammadipa Arama.
Virana.2008. Keyakinan Umat Buddha (Menjadi Buddhis Sejati). Jakarta :
Ensiklopedia Buddha Dhamma.
Langganan:
Postingan (Atom)