Abstrak
Nibbana adalah kebahagiaan
tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Kebahagiaan Nibbana
tidak dapat dialami dengan memanjakan indra, tetapi dengan memadamkannya.
1.
Pendahuluan
Nibbana adalah kebahagiaan
tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Kebahagiaan Nibbana
tidak dapat dialami dengan memanjakan indra, tetapi dengan memadamkannya.
Nibbana adalah tujuan akhir ajaran Buddha. Lantas,
apakah Nibbana itu? Tidak mudah untuk mengetahui apa Nibbana itu
sebenarnya; lebih mudah mengetahui apa yang bukanNibbana.
Nibbana bukanlah ketiadaan atau kepenuhan.
Apakah Buddha akan meninggalkan keluarga dan kerajaan-Nya dan
berceramah selama 45 tahun-semuanya hanya demi suatu keadilan?
Nibbana bukanlah suatu surga. Berapa
abad setelah Buddha, sebagian aliran Buddhisme mulai menggambarkan Nibbana sebagai
surga. Tujuan mereka menyetarakan Nibbanadengan alam
surgawi adalah untuk meyakinkan orang yang “kurang pintar” dan untuk menarik
mereka pada ajaran aliran itu, lalu berjuang menuju Nibbana berarti
jadi menjadi mencari suatu tempat yang indah dimana semua hal baik adanya dan
semua orang bahagia selamanya. Ini mungkin suatu dongeng yang menyenangkan,
tetapi itu bukan Nibbana yang dialami dan diperkenalkan oleh
Buddha. Selama hidup-Nya Buddha tidak menyangkal gagasan tentang surga seperti
yang dikenal dalam agama-agama awal India, tetapi itu Buddha
mengetahui bahwa surga-surga ini masih termasuk dalam samsara,
sementara keterbatasan akhir berada diluar itu. Buddha mampu melihat bahwa
jalan menuju Nibbanatertuju lebih dari surga.
2. Pembahasan
2.1 Pengertian Nibbana
Nibbana adalah kebahagiaan
tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Kebahagiaan Nibbana
tidak dapat dialami dengan memanjakan indra, tetapi dengan memadamkannya.
Nibbana adalah tujuan akhir ajaran Buddha. Lantas,
apakah Nibbana itu? Tidak mudah untuk mengetahui apa Nibbana itu
sebenarnya; lebih mudah mengetahui apa yang bukanNibbana.
Nibbana bukanlah ketiadaan atau kepenuhan.
Apakah Buddha akan meninggalkan keluarga dan kerajaan-Nya dan
berceramah selama 45 tahun-semuanya hanya demi suatu keadilan?
Nibbana bukanlah suatu surga. Berapa
abad setelah Buddha, sebagian aliran Buddhisme mulai menggambarkan Nibbana sebagai
surga. Tujuan mereka menyetarakan Nibbanadengan alam
surgawi adalah untuk meyakinkan orang yang “kurang pintar” dan untuk menarik
mereka pada ajaran aliran itu, lalu berjuang menuju Nibbana berarti
jadi menjadi mencari suatu tempat yang indah dimana semua hal baik adanya dan
semua orang bahagia selamanya. Ini mungkin suatu dongeng yang menyenangkan,
tetapi itu bukan Nibbana yang dialami dan diperkenalkan oleh
Buddha. Selama hidup-Nya Buddha tidak menyangkal gagasan tentang surga seperti
yang dikenal dalam agama-agama awal India, tetapi itu Buddha
mengetahui bahwa surga-surga ini masih termasuk dalam samsara,
sementara keterbatasan akhir berada diluar itu. Buddha mampu melihat bahwa
jalan menuju Nibbanatertuju lebih dari surga.
Jika Nibbana bukan suatu tempat,
lalu di manakah Nibbana itu? Secara tegas, kita tidak dapat
bertanya di manakah Nibbana itu. Nibbana ada
sama seperti adanya api. Tidak ada tempat penyimpanan untuk api ataupun
untuk Nibbana. Tetapi jika Anda menggosok potongan kayu
bersamaan, maka gesekan dan panas adalah kondisi yang tepat bagi api untuk
muncul. Demikian juga, jika sifat pikiran manusia sedemikian sehingga bebas
dari semua noda, maka kebahagiaan Nibbana akan muncul.
Setiap orang dapat
merealisasikan Nibbana, tetapi sebelum mengalami keadaan tertinggi
kebahagiaan Nibbana, ia hanya dapat berspekulasi seperti apa itu
sebenarnya, sekalipun kita bisa mendapatkannya sekilas dalam kehidupan
sehari-hari. Bagi mereka yang bersikeras pada teori, teks-teks menawarkan
bantuan. Teks-teks menyarankan bahwaNibbana adalah keadaan
kebahagiaan murni yang luar biasa.
Dengan dirinya sendiri, Nibbana cukup
tidak dapat dijelaskan dan didefinisikan. Seperti kegelapan hanya dapat
dijelaskan dengan lawannya: terang, dan seperti ketenangan hanya dapat
dijelaskan oleh lawannya: gerakan, demikian pula Nibbana, sebagai
suatu keadaan yang setara dengan pemadaman segala duka dapat dijelaskan dengan
lawannya: duka yang dipukul dalam samsara. Seperti kegelapan timbul
pada saat tidak ada cahaya, seperti ketenangan muncul pada saat tidak ada
gerakan, demikian pula Nibbana ada di mana-mana saat duka,
perubahan, dan cemaran batin tidak ada.
Seorang penderita yang menggaruk
lukanya dapat mengalami rasa lega sementara. Rasa lega ini hanya memperburuk
luka dan memperparah penyakit. Kegembiraan kesembuhan akhir tidak dapat
dibandingkan dengan rasa lega sementara yang diperoleh dari garukan, pemuasan
nafsu indrawi hanya membawa kepuasan atau kebahagiaan sementara yang justru
memperpanjang perjalanan samsara adalah Nibbana. Nibbana adalah
akhir dari nafsu yang menyebabkan semua penderitaan kelahiran, usia, tua,
penyakit, kematian, kepedihan, ratapan, dan keputusasaan. Kegembiraan
penyembuhan Nibbana sulit dibandingkan dengan kesenagan
sementara dalam samsara yang diperoleh dari pemenuhan nafsu
indrawi.
Tidak disarankan untuk berspekulasi
tentang apakah Nibbana itu; lebih baik untuk mengetahui bagaimana
menyampaikan kondisi yang diperlukan untuk Nibbana, bagaimana
mencapai keheningan dan kebeningan pandangan yang menuju Nibbana.
Ikuti nasehat Buddha, praktekan ajaran-Nya. Lenyapkan semua kotoran yang
berakar dalam ketamakan (lobha), kebencian (dosa) dan ketakutan (moha).
Murnikan batin sendiri dari semua nafsu dan sadari tiadanya inti diri yang
mutlak. Jalani hidup dengan tindakan moral yang benar dan secara konstan
lakukan meditasi. Dengan upaya aktif, bebaskan diri sendiri dari semua keakuan
dan khayalan. Kemudian, Nibbana akan direalisasikan
dan dialami.
3.2
Samsara Dan Nibbana
pelajar Buddhisme Mahayana
terkemuka, Ngarjuna, berkata bahwa samsara danNibbana adalah
satu. Penafsiran ini bisa dengan mudah disalahpahami oleh orang lai. Bagaimanapun,
menyatakan bahwa samsara dan Nibbana itu sama
saja, berarti mengatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam hilangnya hal
terkondisi dan keadaan tak terkondisi dari Nibbana. Berdasarkan
Tipitaka pali, samsara digambarkan sebagai kesinambungan tak terputus dari lima
gugus, empat unsur, dan dua belas besar dasar atau sumber proses batin;
sedangkan Nibbana digambarkan sebagai pemadaman sumber relatif
fisik dan mental itu.
Mereka yang merealisai
kebahagiaan Nibbana dapat mengalaminya selama sisa keberadaan
mereka sebagai manusia. Setelah kematian, hubungan dengan unsur-unsur tersebut
akan luruh, karena alasan yang sederhana bahwa Nibbana tidak
terkondisi, tidak relatif, atau tidak salin bergantung. Jadi tiada lain
bahwa Nibbana adalah “Kebenaran Mutlak”.
Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan saat
ini juga. Ajaran Buddha tidak menyatakan bahwa tujuan akhir itu hanya dapat
dicapai dalam kehidupan sesudahnya. Ketika Nibbanadirelisasikan
dalam hidup ini dengan tubuh masih ada, hal ini disebut Saupadisesa Nibbana.
Saat seorang Araha merealisai Parinibbana, setelah
luruhnya tubuh, tanpa sisa keberadaan fisik, hal ini disebut Anupadisesa
Nibbana.
Kita harus belajar untuk tidak
melekat dari semua hal keduniawian. Jika ada kelekatan terhadap seorang atau
sesuatu, atau jika ada keengganan terhadap seseorang atau sesuatu, kita tidak
akan pernah merealisasi Nibbana karena Nibbana melampaui
semua kelekatan dan keengganan, suka dan tidak suka.
Saat keadaan tertinggi itu tercapai,
kita akan memahami sepenuhnya hidup keduniawian yang sekarang ini. Dunia ini
akan berhenti menjadi obyek nafsu. Kita akan menyadari ketaktetapan,
ketakpuasan, dan ketiadadirian semua yang hidup dan yang tak hidup. Dengan
tergantung pada guru atau buku suci tanpa usaha kita sendiri dengan
cara yang benar, sukar untuk meraih penyadaran Nibbana. Mimpi akan
buyar. Tidak ada istana yang akan dibangun di udara. Badai akan berlalu.
Perjuangan hidup akan usai. Proses alam akan berhenti. Semua kecemasan,
kesengsaraan, gangguan, beban, penyakit fisik dan mental, dan emosi akan
berakhir setelah merealisasikan keadaan kebahagiaan Nibbana ini.
Mengatakan bahwa Nibbana adalah
ketidaan, semata-mata karena orang tidak mampu merasakannya dengan
panca indra, sama tidak logisnya dengan berkata bahwa cahaya itu tidak ada
hanya karena orang buta tidak melihatnya. [1]
Nibbana mempunyai pengertian khusus
untuk menggambarkan akhir proses yang terjadi dalam diri manusia, yang berbeda
dengan konsep sorga maupun neraka, ataupun arti yang identik dengan itu dalam
agama Islam, Kristen, maupun Hindu. Radhakrishnan memberikan pengertian nibbana
sebagai bebas dari kelahiran kembali, berakhirnya rantai kehidupan, paniadaan
keinginan, dendam dan kebodohan teratasi, maka tercapailah nibbana yang mutlak.
3.3
JALAN MENUJU NIBBANA
Bagaiamana caranya untuk
mencapai Nibbana? Dengan melakasanakan delapan faktor jalan utama,
yaitu Pengertian benar ( samma-ditthi), pikiran benar (samma-sankappa), ucapan
benar (samma-vaca), perbuatan benar (samma-kammanta), penghidupan benar (
samma-vayama), perhatian benar (samma-sati), konsentrasi benar (samma-samdhi).
Pengertian benar yang merupakan
kunci utama agma budha, mencakup pengetahuan tentang empat kebenaran mulia.
Mengerti dengan benar berarti memahami segala sesuatu sebagaimana adanya bukan
sebagaimana nampaknya. Pada pokoknya ini menyatakan pengertian benar terhadap
diri sendiri, karena seperti tertulis di dalam Rohitassa Sutta: “empat
kebenaran mulia tergantung pada tubuh ini yang panjangnya dua depan beserta
kesadaranya”. Dalam melaksanakan delapan faktor jalan utama, pengertian benar
berada permulaan karena hal itu memberi motivasi serta arah yang benar kepada
tujuh faktor jalan utama lainnya. Pada tingkat akhir melaksanakan pengertian
benar masak menjadi kebijaksanaan pandangan terang sempurna (vipassana panna),
yang langsung membawa kepada tingkat-tingkat kesucian.
Pengertian benar mengakibatkan
pemikiran benar. Karena itu, faktor kedua dari jalna utama ini
(samma-sankkappa), mempunyai dua tujuan: melenyapkan pikiran-pikiran jahat dan
mengembangkan pikiran baik. Dalam hubungan ini, pikiran benar terdiri dari tiga
bagian, yaitu:
Ø Nekkhamma: melepaskan
diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan diri sendiri yang berlawanan
dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri.
Ø Abyapada: cinta kasih,
i’tikad baik, atau kelemah-lembutan yang berlawanan dengan kebencian, i’tikad
jahat, atau kemarahan.
Ø Avihmsa: tidak kejam
atau kasih sayang, yang berlawanan dengan kekejamana atau ketangisan.
Pikiran benar menimbulkan ucapan
benar, faktor ketiga. Ucapan benar mencakup perbuatan untuk menahan diri dari
berbohong, memfitnah, berkata kasar dan bicara yang tidak berguna.
Ucapan benar harus diikuti dengan
perbuatan benar, yang meliputi perbuatan menahan diri dari pembunuhan
makhluk-makhluk hidup, pencurian dan perbuatan-perbuatan kelamin yang salah.
Dalam membersihkan pikiran, ucapan
dan perbuatan pada tingkat awal. Musafir spiritual berusaha memperbaiki
penghidupanya dengan cara menahan diri dari lima macam perdagangan yang
terlarang bagi seorang umat Budha, yaitu: Memperdagangkan senjata, manusia,
binatang-binatang untuk dibunuh, minuman keras, obat bius dan racun.
Bagi para Bikkhu, penghidup salah
meliputi perbuatan-perbuatan munafikan cara-cara yang tidak dibenarkan untuk
memeperoleh kebutuhan-kebutuhan hidup seorang Bikkhu.
Usaha benar, terdiri atas empat
macam kegiatan yaitu: usaha melenyapkan kejahatan yang telah timbul, usaha
mencegah timbulnya kejahatan yang belum timbul, usaha membengkitkan kebajikan
yang belum timbul dan usaha mengembangkan kebajikan yang telah timbul.
Perhatian benar, adalah kesadaran
yang terus menerus terhadap jasmani, perasaaan-perasaan, pikiran-pikiran, serta
obyek-obyek batin. Usaha benar dan perhatian benar menimbulkan konsentrasi
benar, yaitu menunggalnya pikiran pada satu obyek yang luhur, yang memundak
dalam Jhana.
Dari kehidupan faktor jalan utama
ini, dau yang pertama dikelompokkan ke dalam bagian kebijaksanaan (panna), tiga
yang selanjutnya ke dalam bagian moral (sila). Dan tiga yang terakhir ke dalam
bagian konsentrasi (sammadhi). Tetapi menurut urutan pengembangannya, rangkaian
itu adalah sebagai berikut Sila, Samadhi, Panna.
Moral (Sila) merupakan tingkatan
pertama pada jalan yang menuju ke Nibbana ini. Dengan tidak membunuh ata
melukai makhluk-makhluk apapun, orang akan memiliki rasa belas kasihan dan
cinta kasih terhadap semua makhluk, kepada makhluk yang paling kecil sekalipun
yang merayap di bawah kakinya. Dengan menahan diri dari mencuri, ia akan
berlaku jujur dalam semua usahanya. Dengan menahan diri dari persetubuhan yang
tidak benar yang akan merendahkan derajat manusia, ia akan berlaku saleh.
Dengan menahan diri dari ucapan salah, ia akan berbicara benar. Dengan
menghindari minuman keras yang mengakibatkan kelalaian, ia akan waspada dan
rajin.
Azas-azas dasar kelakuan bermoral
ini amat penting bagi seorang yang melangkahkan kakinya menuju Nibbana.
Melanggar hal-hal tersebut berarti menciptakan rintangan pada kemajuan batinya
sendiri. Pelaksanaan hal-hal tersebut berarti kemajuan yang mantap dan lancar
sepanjang jalan itu.
Dengan mendisiplinkan ucapan-ucapan
dan perbuatan-perbuatan seorang musafir spiritual akan maju lebih jauh.
Sewaktu ia maju dengan lambat tapi
mantap denagn mendisiplinkan segala ucapan dan tingkah lakunya, serta
mengendalikan indra-indranya, kekuatan kamma dari siswa yang sedang berjuang
ini mungkin akan mendorongnya untuk melepaskan kesenangan-kesenangan duniawi
dan menempuh kehidupan sebagai Bikkhu, kemudian dalam dirinya muncul pengertian
bahwa: “Kehidupan rumah tangga merupakan medan perjuangan. Penuh
dengan kerja keras dan kebutuhan; tetapi menjalani kehidupan tanpa berumah
tangga adalah seperti udara terbuka”.
Namun demikian jangan salah tafsir
bahwa seiap orang harus menjadi Bikkhu atau hidup membujang untuk mencapai
tujuan akhir. Kemajuan spiritual seseorang dipercepat dengan menjadi Bikkhu,
walaupun sebagai umat awam ia dapat juga mencapai tingkat Arahat. Setelah
mencapai tingkat kesucian ketiga yaitu, Anagami, seseorang menempuh hidup
membujang. Setelah memperoleh pijakan teguh di atas fondasi moralitas, kemudian
musafir spiritual yang telah memperoleh kemajuan tersebut mulai pelaksaan yang
lebih tinggi, yaitu pengendalian dan pengembangan batin (samadhi), tingkat
kedua pada jalan ini.
Sammadhi adalah pemusatan pikiran
pada satu proyek dengan mengesampingkan semua persoalan yang tidak perlu.
Terdapat berbagai macam objek
meditasi sesuai dengan watak masing-masing individu. Pemusatan pikiran pada
pernafasan merupakan cara termudah untuk mencapai Sammadhi. Meditasi pada cinta
kasih amat berguna karena hal itu mengakibatkan kedamaian dan kebahagian batin.
Pengembangan empat keadaan batin
luhur: cinta kasih (Metta), belas kasihan (karuna), kegembiraan bersimpati
(Mudita) dan keseimbangan batin (Upekkha) amat dipuji oleh para bijaksana.
Setelah mempertimbangkan dengan
hati-hati obyek-obyek meditasi, ia harus memilih salah satu obyek yang paling
cocok dengan wataknya. Setelah dapat memutuskan obyek yang akan dipilih, ia
melakukan usaha terus menerus untuk memusatkan pikirannya sampai ia benar-benar
tenggelam dan masuk ke dalamnya, sehingga semua bentuk pikiran lainnya tida
dapat menerobos ke dalam batinnya. Lima rintangan bagi kemajuan batin adalah:
keinginan indara, kebencian, kemalasan dan kelambanan, kegelishan, kekhawatiran
dan keragu-raguan.
Akhirnya ia mencapai pemusatan
pikiran dan dengan kegembiraan yang dapat diterangkan, ia terserap dalam Jhana,
menikmati ketenangan dan kedamaian penunggalan pikiran.
Bilamana seseorang telah mencapai
keadaan penunggalan pikiran ini, adalah mungkin baginya untuk mengembangkan
lima kemampuan batin luar biasa (abhinna), yaitu: mata-dewa (Dibbacakkhu),
telinga-dewa (Dibbasota), ingatan akan kelahiran-kelahiran lampau
(Pubbenivasanussati-nana), membaca-pikiran (paracitta vijanna), dan berbagai
kemampuan-kemampuan batin lainnya (iddhividha). Namun harus diingat bahwa
kekuatan-kekuatan batin luar biasa ini tidak mutlak bagi pencapaian tingkat
kesucian.
Walaupun sekarang pikiran telah
bersih, tetapi masih ada kecendrungan-kecendrungan yang terpendam dalam batin.
Karena dengan samadhi nafsu-nafsu hanya tertidur untuk sementara.
Kotoran-kotoran batin itu dapat muncul pada saat-saat yang tak terduga.
Baik Sila maupun Sammadhi amat
berguna untuk membersihkan jalan dari rintangn-rintangan, tetapi hanya
pandangan terang sajalah yang memungkinkan seseorang melihat segala sesuatu
sebagaimana adanya untuk akhirnya mencapai tujuan akhir dengan penghancuran
nafsu-nafsu oleh Sammadhi. Inilah tingkat ketiga dan terakhir dari jalan yang
menuju ke Nibbana.
Dengan batin yang telah terpusat,
yang sekarang menyerupai sebuah kaca yang telah digosok, ia meliahat ke dunia
untuk mendapatkan pandangan benar tentang hidup. Kemampuan ia mengalihkan
pandangannya, ia tidak melihat apapun selain tiga corak umum kehidupan, yaitu:
Annica ( ketidak-kekalan), Dukkha (penderitaan), dan Anatta (tanpa pribadi
kekal), yang merupakan gambar timbul yang tegas. Ia memahami bahwa kehidupan
selalu berubah dan semua yang bersayarat itu tidak kekal adanya. Baik disurga
ataupun di dunia ia tidak akan mendapatkan kebahagiaan sejati, karena setiap
bentuk kesenangan hanyalah merupakan pendahulu bagi penderitaan. Karena itu,
apa yang tidak kekal adalah tidak memuaskan dan di mana terdapat perubahan dan
kesedihan, di sana tidak dapat ditemui adanya sesuatu yang kekal abadi.
Kemudian, diantara ketiga corak umum
ini, ia memilih salah satu yang paling menarik baginya dan dengan tekun terus
mengembangkan pandangan terang dalam jurusan yang telah dipilihnya, sampai
saat-saat yang membahagiakan tiba kepadanya ketika ia dapat memahami Nibbana
untuk pertama kali dalam hidupnya, setelah menghancrkan tiga belenggu:
pandangan salah tentang aku (sakkaya ditthi), keragu-raguan (vicikiccha), serta
kepercayaan bahwa upacara dan doa dapat membebaskan manusia dari penderitaan
(Silabbata-paramasa).
Pada tingkat kesucian ini ia disecut
seorang Sotapanna (pemenang arus), seorang yang telah memasuki arus yang akan
membawanya ke Nibbana. Karena ia masih belum menghancurkan semua belenggu, maka
paling banyak ia hanya akan dilahirkan kembali tujuh kali. Dengan mengumpulkan
semangat baru sebagai akibat pandangan terang yang lebih dalam sehingga
mencapai tingkat kesucian kedua, Sakadagami (hanya kembali sekali) dengan
melemahkan dua belenggu kali, yaitu: keinginan indra (Kamaraga) dan i’tikad
jahat (patigha). Ia disebut sakadagami karena ia hanya akan dilahirkan sekali
lagi seandainya ia masih belum mencapai tingkat kesucian terakhir, Arahat.
Pada tingkat kesucian tertinggi
inilah, anagami (tak pernah kembali), ia dapat menghancurkan dua belenggu yang
disebutkan di atas. Setelah itu, ia tidak akan kembali ke dunia ini atau ke
alam dewa. Karena ia tidak memiliki kesenangan-kesenagan indria lagi. Setelah
meninggal dunia, ia terlahir kembali dalam “Alam Murni” (Suddavasa), suatu alam
brahma yang menyenangkan.
Sekarang dengan keberhasilan
usahanya yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka ia mengushakan kemajuannya
yang paling akhir dan menghancurkan sisa belenggu batin seperti, keinginan akan
kelahiran kembali dalam alam-alam bentuk (rupa raga) dan alam-alam tak
berbentuk (arupa-raga), kesombongan (mana), kegelisahan (unddhacca), kebodohan
(avijja), dan menjadi seorang suci yang sempurna (Arahat).
Dengan segera ia menyadari bahwa apa
yang harus dikerjakan telah dikerjakan, bahkan berat penderitaan telah
diletakkan, semua bentuk kemelekatan telah dihancurkan, dan jalan ke Nibbana
telah ditempuh. Beliau Yang Mulia sekarang berdiri di atas ketinggian yang
melebihi surga kediaman para dewa, jauh dari gejolak-gejolak nafsu dan
kekotoran dunia, menikmati kebahagiaan Nibbana yang tak dapat diungkapkan
dengan kata-kata.[5]
4.
Penutup
4.1
Kesimpulan
Dengan kita bersama mempelajari tentang
nibba ini semoga kita biasa mendidikasikan nibbana didalam diri kita sehingga
kita biasa merealisasikan nibbana.
4. 2
Saran
Untuk merealisasikan nibbana mari kita
bersama – sama melakukan perbuaatan bajik semasa kita masih hidup,mari kita
menabung kebajikan-kebajikan demi merealisasikan nibbbana.
Ucapan
Terima Kasih
Secara khusu saya ucapkan terimaksih kepada Dosen pengampu
saya sudah mau menerima ARTIKEL yang buat...
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha), h-154-158
2.
Mukti Ali (agama-agama dunia), h-116.
3.
Rampaian Dhamma, panjika (
dpp Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha Indonesia ), jakarta pusat, 2000,
h69.
4.
Practical Buddhism warisan bhikkhu buddhadasa, Jesspeter koffman, thitikwan liamsiriwattana, direvisi oleh NoelBoivin, pustaka
karaniya ke 131, cet-I, november 2007, h- 210.
5.
Http://Www.semanggi-pahala.or.id/naskah-dhamma/nibbana/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar