KATA PENGANTAR
Namo Sanghyang Adi Buddhaya
Namo Buddhaya Bodhisattvaya Mahasattvaya
Terpujilah
Sanghyang Adi Buddha Tuhan Yang Maha Esa, Sang Tri Ratna, serta
Boddhisatva-Mahasatva karena berkat pancaran cinta kasih yang tanpa batas serta
karma baik yang penyusun miliki, akhirnya penyusun mampu menyelesaikan
penyusunan makalah yang membahas tentang “Keyakinan
Dengan Dasar Kebijaksanaan”
pada waktunya.
Penyusun
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan,
untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca selalu
penyusun terima demi perbaikan dalam penyusunan makalah di kedepannya nanti.
Tidak
lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat
dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak
terutama mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha (STIAB) Jinarakkhita Bandar
Lampung.
Bandar
Lampung, 16 Februari
2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................. i
Kata Pengantar................................................................................................. ii
Daftar Isi.......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan................................................................................................... 3
D. Manfaat................................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Esensi
Keyakinan................................................................................. 5
B. Pokok-pokok
Keyakinan...................................................................... 10
C. Pandangan
Benar.................................................................................. 16
D. Semangat
Misioner............................................................................... 17
E. Agama
Yang Tepat............................................................................... 20
F. Keyakinan
Versus Kepercayaan........................................................... 22
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................... 24
B.
Saran..................................................................................................... 25
Daftar Pustaka
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Keyakinan yang didasari dengan kebijaksanaan
merupakan kunci utama yang harus dimiliki oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari. Sang Buddha telah
mengajarkan agar para siswanya tidak langsung percaya pada apa yang telah
didengar, apa yang telah dilihat, apa yang menjadi tradisi dan apa yang telah tertulis dalam suatu kitab
suci sebelum mempraktekkannya secara langsung dan memperoleh manfaatnya.
Banyak orang yang mempunyai keyakinan di dunia ini
namun banyak juga diantaranya yang belum terlebih dahulu membuktikan kebenaran
keyakinannya dan belum mengetahui keyakinannya memang keyakinan yang sudah dibuktikan atau hanya kepercayaan semata saja.
Seseorang
sulit menentukan keyakinan yang tepat untuk mengarahkan hidupnya dalam mencapai
kebahagian karena masih terpaku dengan
keyakinan yang berasal dari tradisi dan keyakinan yang memiliki pengikut dengan
jumlah mayoritas dalam suau lingkungan. Dengan begitu seseorang dapat
dikatakan mempunyai keyakian tetapi
tanpa kebijaksanaan.
Pengertian dan pandangan benar dapat
mengarahkan pola pikir seseorang menjadi
bijaksana dalam menentukan keyakinan yang tepat. Keyakinan yang rasional akan
membawa seseorang merasakan kedamaian, kebahagian dan ketenangan tanpa
mempunyai rasa takut, cemas dan khawatir akan pihak dari luar.
Sebagai umat Buddha perlu penerapan
dan pengamalan Buddha Dhamma karena merupakan perwujudan dari keyakinan yang
bijaksana. Melaksanakan Dhamma merupakan
wujud semangat siswa Buddha dalam meyakini Triratna (Buddha, Dhamma, Sangh
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan
masalah yang timbul dalam penulisan makalah ini antara lain:
1. Mengetahui apakah latar belakang keyakinan yang didasari dengan
kebijaksanaan?
2. Mengetahui apakah esensi
keyakinan dan pokok-pokok keyakinan?
3. Mengetahui apakah pandangan benar?
4. Mengetahui bagaimana semangat
misioner?
5. Mengetahui
bagaimana agama yang tepat ?
6. Mengetahui
apakah perbedaan keyakinan dan kepercayaan?
C. Tujuan
Dalam
pembuatan makalah ini penulis memiliki tujuan yaitu:
1. Memberikan
pengetahuan tentang hakekat atau esensi keyakinan yang harus dipahami oleh
setiap orang.
2. Memberikan
informasi tentang pokok-pokok keyakinan umat beragama.
3. Memberikan
dorongan agar seseorang memiliki sebuah semangat misioner Buddhis untuk
memperkuat keyakinan yang telah mereka tentukan.
4. Memberikan
suatu gambaran tentang agama yang tepat bagi orang-orang yang memilki keyakinan
tetapi dalam dirinya masih timbul rasa takut, cemas dan keragu-raguan.
5. Memberikan
informasi tentang perbedaan antara keyakinan dengan kepercayaan.
D. Manfaat
Adapun manfaat dalam penyusunan makalah ini adalah dapat memberikan
wawasan dan pemahaman kepada pembaca tentang pokok-pokok
keyakinan yang ada, serta memberikan suatu gambaran tentang agama yang tepat, dari
pengertian dan pandangan benar seseorang dapat menentukan agama yang tepat bagi mereka sendiri, karena terkadang
seseorang dalam menentukan agama masih memiliki rasa takut, ce,as dan
keragu-raguan pada diri mereka masing-masing. Semoga setelah membaca makalah ini
seseorang dapat memiliki suatu keyakinan yang dapat membawa menemukan kebahagian, kedamaian dan ketenangan serta dapat bermanfaat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari sehingga seseorang
dapat mengerti dan memhami perbandingan dari keyakinan dan kepercayaan, dengan
begitu seseorang tidak akan hanya sekedar percaya dengan apa yang mereka lihatdan
dengar melainkan membuktikannya dengan penuh kebijaksanaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Esensi
Keyakinan
Keberadaan manusia, pengalaman dalam perjalanan
hidupnya ditengah pergerakan alam semesta ini merupakan misteri yang mengusik
keingintahuan dan membentuk segala harapan manusia. Dengan akalnya ia
melahirkan ilmu. Tetapi akal tidak selalu berhasil menyikapi semua rahasia.
Ketika manusia sampai pada batas kemampuan rasionalnya apalagi saat menghadapi
penderitaan, kesulitan dan ketakutan misalnya ia terbuka untuk hal-hal yang
bersifat suprasional.
Malionoski
mengamati beberapa suku primitif dikepulauan pasifik melakukan upacara religius
hanya jika akan menangkap ikan didaerah perairan dalam. Upacara semacam itu
tidak ada ketika cuaca sangat baik dan mereka cukup mencari ikan didekat
pantai. Bila mesti berlayar jauh atau cuaca buruk mereka membuthkan sesuatu
yang lain dari ilmu atau keterampilan
yang diperolehnya melalui proses belajar dan pengalaman. Yang lain itu adalah
“agama”. Maka manusia membutuhkan dua hal, yaitu akan dan imam.
Bagi
orang-orang seperti mereka, apa yang dipercaya sebagai iman tidaklah harus
masuk akal.
Berbagai bentuk kepercayaan atau agama agaknya telah
ada dan sama tuanya dengan umur kemanusiaan. Pada mulanya kekuatan alam
diidentifikasikan secara antropomorfik seperti manusia yang mempunyai perasaan
keinginan dan sebagainya. Apa yang dipikirkan sebagai makhliuk-makhluk itu
kemudian dipandang mempunyai sifat-sifat ilahi, misterisu, berkuasa dan
menakutkan. Hasilnya adalah munculnya pemujaan dewa-dewa dan kepada
makhluk-makhluk itu manusia menggantungkan kehidupannya. Setiap orang
bergantung kepada kebutuhan dan keinginannya, memilih satu diantara dewa-dewa
itu untuk dipuja yang kemudian cenderung memandangnya sebagai yang tertinggi
diantara para dewa. Konsepsi dewa ini berkembang kedua arah, yaitu monoteisme
(dalam bentuk seperti faruna dan kemudian prajapati dan brahma), dan apa yang
disebut monisme (yang berpuncak dalam konsepsi brahma-atma seperti yang
tercermin dalam upanisa).
Nilai-nilai
keagamaan yang pernah dihayati manusia senantiasa memiliki dasar-dasar yang
mengandung persamaan-persamaaan elemen, yaitu perasaan takut, khawatir, cinta
dan percaya kepada yang maha gaib. Dan
manusia dianggap memiliki pitrah, sifat asal atau bakat untuk baragama.
Bagaimana menghadapi perasaan takut ini juga mendapat perhatian dari Buddha,
sebagaimana yang disabdakan-Nya: “jika engkau berlindung kepada Buddha, Dharma
dan Sangha, perasaan takut, khawatir, cemas, tidak akan muncul”. (S. I 220).
Namun Buddha mengajarkan agama yang
bebas dari otoritas adiskodrati, dan menolak ketergantungan manusia pada
kekuatan diluar dirinya sendiri. Keyakinan seharusnya timbul dan berkembang
bukan karena takut, tetapi karena memiliki pengertian yang benar. Agama Buddha
tidak mengenal dikotomi antara akal dan iman. Iamn yang bertentangan dengan
akal sehat tak ada bedanya dari tahayul.
1.
Iman
Rasional
Keyakinan dinamakan saddha, adalah
iman atau kepercayaan yang berdasarkan kebijaksanaan. Apa yang diajarkan oleh
Buddha sebagai kebenaran mutlak, bukan sesuatu yang masih diragukan atau
samar-samar. Tetapi agama Buddha tidak dimulai dengan iman yang buta atau tanpa
dasar (amulika-saddha). Setelah
penyelidikan awal orang dapat mengembangkan suatu hipotesis dan mengujinya
melalui pengalaman pribadi. Iman seperti itu yang berakhir dengan pengukuhan
atau kepastian disebut iman rasional (akaravati-saddha). Tentu saja iman rasional adalah iman yang
dewasa, tidak kekanak-kanakan.
Seseorang yang kuat dalam keyakinan tetapi lemah
dalam kebijaksanaan akan memiliki keyakinan yang panatik dan tanpa dasar.
Seseorang yang kuat dalam kebijaksanaan tetapi lemah dalam keyakinan akan
mengetahui bahwa ia bersalah jika berbuat kejahatan, tetapi sulit untuk
menyembuhkannya bagaikan seseorang yang penyakitnya disebabkan oleh si obat
sendiri. Bila keduanya seimbang, seseorang akan memiliki keyakinan hanya bila
ada dasarnya (vism 129).
Menurut Asanga (abad ke-4) saddha itu mengandung unsur, yakni: (1) keyakinan yang kuat akan
sesuatu hal ; (2) kegembiraan yang mendalam terhadap sifat-sifat yang baik ;
(3) harapan untuk memperoleh sesuatu dikemudian hari. Keyakinan yang kuat bukan
berarti sebatas percaya seperti yang lazim dikenal oleh kebanyakan orang.
Keyakinan disini menekankan aspek melihat, mengetahui dan memahami. Persoalan
percaya akan timbul apabila kita tidak dapat melihat segala sesuatu dengan
jelas. Begitu kita dapat melihat sendiri dengan jelas pada saat itu pula tidak
adalagi persoalan percaya atau tidak.
Dalam ajaran yang bersifat ehipassiko yang selalu kita
temukan adalah melihat atau membuktikan, sehingga keyakinan memiliki kepastian
bukan percaya kepada sesuatu yang belum jelas kebenarannya.
Kegembiraan terhadap sifat-sifat yang baik akan
ditemukan pada orang yang memiliki pengertian dan kebijaksanaan. Tidak mungkin
orang percaya karena takut dapat merasakannya. Dan suatu pengharapan tidak
pernah keluar dari sikap moral manusia. “siapa orang memiliki harapan? Dia yang
bermoral dan berwatak baik, belajar bahwa demikianlah seharusnya cara hidup
seorang siswa, yang memathkan kecenderungan buruk, mencapai kesempurnaan lewat
jalan kebijaksanaan dan pemusatan pikiran bersih dari dorongan yang keliru.
Setelah ia sendiri memahami dan menyaadari akan tujuan yang lebih luhur dari
hidup ini, lalu berfikir untuk melaksanakannya” (Pug/ Des. III, 1).
Sariputta memberikan kesaksiaan bagaimana seseorang
dapat memiliki keyakinan yang sempurna kepada Tathagata dan tidak meragukan
ajarannya. Keyakinan diuji dengan mengendalikan indera. Dengan keyakinan ini,
semangat, kesadaran, konsentrasi dan kebijaksanaan berkembang terus menerus.
“sebelumnya aku hanya mendengar hal-hal ini, sekarang aku hidup dengan
mengalaminya sendiri. Kini dengan pengetahuan yang dalam aku menembusnya dan membuktikannya
dengan jelas”. (S. V, 226).
Dengan memiliki keyakinan kepada Buddha, ada yang
berhasil mencapai tujuan, ada yang mendekati tujuan, namu tidak sedikit pula
yang tidak berubah nasibnya. Ganaka-moggallana bertanya kalau ada nirwana, ada
jalan untuk mencapainya, ada Buddha sebagai gurunya kenapa tidak semua orang
berhasil mencapai nirwana? Buddha membalas bartanya, apakah brahmana itu tahu
jalan ke Rajagaha sang brahmana tahu, tentu karena sering pergi ke kota itu.
Kalau orang-orang bertanya tentang jalan ke Rajagaha, ia bisa memberi petunjuk
dengan benar. Lalu pertanyaan Buddha ada kota rajagaha, ada jalan ke kota itu,
ada yang memberi petunjuk, tetapi kenapa tidak semua orang yang mendapat
petunjuk itu tiba di Rajagaha? Jawab Ganaka-Moggallana, ia hanya menunjukkan
jalan, dan hasilnya jelas tergantung pada orang yang mendapat petunjuk (M. III 4-6.) orang boleh percaya tetapi
jika ia tidak menempuh jalan sendiri tidak akan sampai ke tempat tujuan. Dan
orang yang jalan menyimpang dari petunjuk, tentu akan tersesat jalan.
Ketika brahmana Pingiyanin di tanya mengenai
keyakinannya terhadap Buddha, antara lain ia membandingkan Buddha dengan
seorang dokter. “seperti seorang dokter yang pandai dalam waktu singkat
menyembuhkan penyakit, melenyapkan penderitaan seorang pasien, manakala
seseorang memahami dharma yang diajarka Buddha Gotama apakah itu melalui sabda,
khotbah, tanya jawab, atau mukjizat, maka lenyaplah kesedihan, keluh kesah
kesengsaraan, ketidaksenagan dan keputusasaannya” (A.III, 238) boleh saja orang percaya bahwa dokter itu benar ahli,
obatnya manjur, tetapi hanya percaya saja jelas tidak bermanfaat. Yang menjadi
persoalan adalah apakah pasien mau menaati petunjuk dokternya dan menggunakan
obatnya dengan benar. Seorang pasien boleh jadi tidak perlu mengetahui siapa
dokternya yang penting ia mendapat obat yang tepat dan sembuh. Seperti halnya
Pukkusati yang mendapat manfaat dari ajaran Buddha sebelum ia mengenal Buddha (M. III, 238).
Setiap orang memiliki kebebasan untuk
mempertimbangkan dan menentukan keyakinannya sendiri. Dia beriman bukan karena
dipengaruhi oleh orang lain ketika Baddhiya dari suku Licchavi minta diterima
sebagai pengikut, Buddha bertanya, “Baddhiya apakah aku mengajakmu: mari
Baddhiya menjadi muridmu dan aku akan menjadi gurumu?” jawab Baddhiya. “tidak
bhante”. Buddha tidak mengajak tetapi Baddhiya sendiri yang ingin menjadi
pengikut karena menaruh keyakinan. Banyak orang seperti Baddhiya yang meninggalkan kepercayaannya
yang lama, lalu meminta sendiri untuk menjadi murid Buddha. Orang-orang yang
tidak senang terhadap Buddha menuduh bahwa ia menggunakan kekuatan sihir
sehingga orang percaya kepadanya. Badhiya berpendapat, baik sekali jika
orang-orang bisa ditundukkan dengan cara itu, karena sebenarnya bermanfaat bagi
mereka sendiri. Namun menurut Buddha yang mendatangkan kebahagian bagi
orang-orang itu adalah karena mereka menghindari kejahatan dan melakukan jadi,
bukan masalah tunduk atau percaya kepadanyya (A .II, 193).
2.
Kekuatan Keyakinan
Keyakinan
atau kepercayaan adalah kekayaan yang terbaik yang dapat dimiliki seseorang (S.I,41). Kekayaan yang dimaksud tidak
hanya harta benda tetapi juga sukses dalam kehidupan sosial, hingga dilahirkan
di alam-alam surga, dan puncaknya mencapai nirwana. Orang yang tak tergoyahkan keyakinannya dan
mempunyai kebajikan yang dihargai oleh orang-orang mulia, akan melaju dan
mencapai pantai serbang, menuju lenyapnya kekotoran batin (S. V, 396).
Keyakinan dapat mengubah penderitaan menjadi
kebahagian dalam rumasan sebab-musabab yang saling bergantungkan disebutkan
bahwa penderitaan menimbulkan keyakinan; keyakinan menimbulkan rasa kegimbara;
rasa gembira menimbulkan menimbulkan rasa terpesona; rasa terpesona menimbulkan
ketenangan; ketenangan menimbulkan kebahagiaan; kebahagiaan menimbulkan pemusatanpikiran;
pemusatan pikiran menimbulkan pengetahuan dan pandangan akan segala hal
sebagaimana adanya; pengetahuan dan pandangan akan segala hal sebagaimana
adanya menimbulkan kejenuhan; kejenuhan menimbulkan ketiadaan hawa nafsu;
ketiadaan hawa nafsu menimbulkan pembebasan; pembebasan menimbulkan pemadaman
atau tiada lagi kelahiran lagi. Inilah tujuan akhir atau Nirwana yang dicapai
oleh arahat (S.II,32).
Karena keyakinannya Ananda pernah mengemukakan bahwa
ia beruntung mendapat seorang guru dengan kekuatan adikodrati yang suaranya
menjangkau seluruh jagad raya (melampaui semilyar alam tata surya raya). Udayin
menyindir Ananda, walau Sang Guru memiliki kekuasaan itu, apa gunanya untuk
dia. Kepada Udayin Buddha menyatakan bahwa berdasarkan keyakinan yang teguh
itu, sekalipun misalnya Ananda wafat sebelum mencapai kebebasan sempurna ia
akan terlahir tujuh kali merajai para dewa, dan merajai tanah jambudipa (A.I,228). Tentu saja karena Ananda
melatih dirnya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Buddha tidak hanya karena
percaya.
Menjelang
Parinibbana Buddha menyatakan bahwa dengan memiliki keyakinan, mereka yang
melakukan ziarah atau melihat dan menghormati stupa Buddha, akan merasa tenang
dan bahagia. Keyakinan yang kuat akan membuatnya terlahir kembali dialam surga
dikemudian hari (D.II, 140-142).
Pikiran mendahului segala sesuatu. Dengan pikiran kita mengontrol perbuatan dan
ucapan. Seperti bayangan perbuatan yang didasarkan pada keyakinan takkan pernah
meniggalkan prang yang terlahir kembali di alam surga atau alam manusia. Hal
ini dikemukakan oleh Buddha sehubungan dengan kasus mattehakundali yang
menjelang saat meninggal dunia menaruh kayakinan pada Buddha dan kemudian ia
terlahir kembali di Surga Tavatimsa (Dhp.
A. 2).
Nagasena
menjelasan kepada Raja Milinda bahwa ciri-ciri keyakinan adalah dengan memiliki
ketenangan dan langkah maju. Ketika keyakinan timbul ia akan menghancurkan
segala halangan. Tanpa penghalang, pikiran akan mejadi terang , bersih dan
tenang. Langkah maju diukur dari praktik meditasi mencapai apa yang belum
dipakai, mengatasi apa yang belum teratasi, merealisasi apa yang belum teratasi
(Miln. 34).
B.
Pokok-Pokok
Keyakinan
“Pintu
kehidupan abadi telah terbuka, Brahma. Biarlah mereka yang dapat mendengar
menjawabnya dengan keyakinan,”. Kata Buddha menjawab permohonan
Brahmasahampati, agar Buddha mengajarkan dharma kepada orang lain (M. I, 169).
Ada empat pokok keyakinan yang
paling utama. Yang pertama, keyakinan kepada Buddha. Kedua, keyakinan kepada
jalan mulia berunsur delapan (Arya
Atthangika-magga). Ketiga, keyakinan pada ketiadaan hawa nafsu (viraga) atau Nirvana,yang dinyatakan
juga sebagai Dhamma. Keempat keyakinan pada arya-sangha,
persekutuan orang-orang suci (A. II,
34).
Beriman kepada Buddha berarti memiliki keyakinan
pada penerangan sempurna dari Tathagata (Tathgatabodhi-sadda).
Keyakinan ini juga terkait erat dengan keyakinan terhadap hokum karma atau
perbuatan (karma-saddha), keyakinan
terhadap akibat dari hokum karma (vipaka-saddha),
keyakinan bahwa semua makhluk mempunyai karma masing-masing dan bertanggung
jawab atas perbuatannya sendiri (kammassakata-saddha).
1. Keyakinan
Terhadap Triratna
Kehidupan agama Buddha sepenuhnya dibangun atas
dasar keyakinan terhadap Buddha Gotama, yang disebut juga Sakyamuni. “Demikian
sesungguhnya Bhagawa, Yang Mahasuci (araham),
yang telah mencapai Penerangan Sempurna berkat kekuatan-Nya sendiri (Sammasambuddho), sempurna pengetahuan
serta tingkah laku-Nya (Vijjacaranasampanno),
sempurna menempuh Jalan (Sugato), pengenal
segenap alam (Lokavidu), pembimbing
manusia yang tiada taranya (Anuttaro
purisadammasarathi), Guru para dewa dan manusia (satthadeva manussanam), Yang Bangun (Buddho), Junjungan yang dimuliakan (Bhagava)” (M. I, 37).
Buddha artinya orang yang telah
mencapai Penerangan Sempurna (budh, bangun, mengetahui). Buddha adalah gelar, bukan nama diri.
Sebutan untuk Buddha yang sering dipergunakan, antara lain: Bhagawa, Tathagata,
Sugata. Ada banyak Buddha. Sammasambuddha
adalah Buddha yang menurunkan ajaran kepada orang lain, baik manusia
ataupun dewa. Kitab Lalitavistara mengemukakan
54 Buddha dan Mahavastu lebih dari
100 Buddha. Kitab Buddhavamsa mencatat
secara kronologis 28 Sammasambuddha yang
muncul dalam 5 periode siklus masa-dunia
(kalpa). Pada masa dunia sekarang
terdapat 5 Budha. Buddha yang dikenal secara historis, Buddha Gotama (Sakyamuni) adalah yang ke empat,
(sebelumnya Kakusandha, Konagamana, Kassapa) dan kelak akan datang Buddha
berikutnya yang dinamakan Buddha Maitreya. Paccekabudha
adalah Buddha yang tidak memberikan ajaran kepada orang lain. Sedangkan Savakabuddha atau Anubuddha mencapai
penerangan sempurna dengan melaksanakan ajaran Sammasambuddha.
Bagaimana seseorang dapat
membuktikan bahwa Buddha benar-benar mencapai penerangan sempurna? Mereka yang
menjadi pengikut Buddha Gotama memilki keyakinan karena mendengar sabda dan
kotbah-Nya (baik langsung atau tidak langsung); karena puas dengan Tanya jawab;
karena melihat tanda-tanda fisik Manusia Agung (Mahapurisa-Lakkhana); mengamati tingkah laku Buddha sehari-hari
yang maha suci, maha tahu, maha pengasih; menyaksikan berbagai mukjizat dan
kekuatan atau kemampuan supernatural yang ditunjukan oleh-Nya. Lalu lewat
praktik, khususnya meditasi, mereka membuktikan sendiri realitas yang diajarkan
itu.
Sekarang ini, kita hanya dapat
mendengar tentang Buddha lewat kesaksia orang lain. Kita belajar dari Guru,
khususnya Bhikkhu-bhikkhu, dan menggunakan kitab suci sebagai referensi. Dari
dekat kita dapat mengamati dengan kritis bagaimana mereka yang menjalankan
ajaran Buddha hidupnya tidak akan tercela dan mencapai kemajuan, sehingga dapat
diteladani. Keyakinan menjadi kuat lewat pengalaman, setelah kita mendapat
manfaat dari ajaran yang dipraktikan oleh kita sendiri.
Keyakinan pada Dharma meliputi Jalan
Mulia Berunsur Delapan dan Nirwana, berkenaan dengan aspek duniawi (lokiya) dan diatas duniawi (lokuttara), atau keadaan yang bersyarat
(sankhata-dhamman) dan keadaan yang
tidak bersyarat (asankhata-Dhamma). Dharma
(skt.), Dhamma (pali) sebenarnya mengandung banyak makna, berbeda-beda artinya
untuk konteks yang berlainan. Secara harfiah Dharma diartikan segala sesuatu
kecuali ketiadaan atau nihil (dhr
berada atau mendukung dirinya). Dharma bisa berarti kebenaran, ajaran, agama,
hukum, moral, kebajikan, keadilan, nilai, suatu tujuan hidup, tugas dan
kewajiban, segala Sesutu, fenomena, keadaan, perbuatan, objek mental.
Dalam pengertian ontology dan ketuhanan dharma dimaksudkan:
1. Dharma
sebagai kebenaran mutlak, transenden dan
merupakan tujuan tertinggi atau terakhir. Dharma ini adalah yang mutlak
(asankhata-dhamma) yang dikenal
sebagai nirwana, dharmakaya, dharmabhuta,
paramartha.
2. Dharma
sebagai hukum dharma (dhamma niyama)
yang menguasai dan mengatur alam semesta, tidak diciptakan, kekal dan imanen.
3. Dharma
adalah fenomena atau peristiwa yang multiple, yang sesaat, fisik maupun mental,
yang tunduk pada hukum dharma. Dalam hal makhluk hidup yang mempunyai kehendak,
hokum itu mewujud sebagai sebab musabab yang saling bergantungan.
Dhamma yang dipandang dalam dua aspek, transenden
dan imanen merupakan dhrma yang telah membangunkan Bodhisatva Gotama saat
penerangan sempurna. Tidak lama setelah mencapai penerangan sempurna, Buddha
Gotama menyatakan, “Dharma yang telah menimbulkan penerangan sempurna dalam
diri-ku, hidup dalam-nya, aku memuja dan menghormati Dharma.” Kemudian Brahma
Sahampati berkata, “mereka, Bhagawa, para Buddha dimasa yang lalu, hidup
didalam Dharmma, memuja dan menghormati-Nya. Mereka yang akan menjadi Buddha
dimasa yang akan datang, juga hidup di dalam Dhamma memuja dan menghormatinya.
Begitu pula dengan Bhagawa, Buddha masa sekarang, hidup didalam Dhamma, memuja
dan menghormatinya.” (S. I, 139).
Apakah Tathagata muncul atau tidak, Dharmma dalam
pengertian di atas selalu ada. Kita memang mengenal-Nya melalui apa yang
diajarkan oleh Buddha. “Dharma telah dibabarkan sempurna oleh Bhagawa (Svakkahato Bhagawata Dhammo), berada
sangat dekat (Sandhitiko), tidak
dibatasi oleh waktu (Akaliko), mengundang
untuk dibuktikan (ehipashiko),
menuntun kearah pembebasan (opanayiko), dapat
diselami oleh para bijaksana dalam batin masing-masing (Paccatam veditabbo vinnu)” (M. I, 37).
Mengenai Arya-Sangha
dinyatakan sebagai berikut: “sangha siswa sang Bhagawa berperilaku baik (supatipanno Bhagavato savaka sangho), berperilaku
lurus (ujupatipanno), berperilaku
benar (nayapatipanno), berperilaku
patut (samicipatipanno). Mereka empat
pasang makhluk terdiri dari delapan makhluk suci. Itulah Sangha siswa Sang
Bhagava, patut dimuliakan dan menerima persembahan (ahuneyyo), patut disambut dngan ramah (pahuneyyo), patut menerima persembahan (dakkhineyyo), patut dihormati (anjalikaraneyyo);
lapangan menanam jasa yang tiada taranya dialam semesta (anuutaram punnakettham lokasa).” (M.I.37) .
Keempat pasang makhluk suci yang dimaksud adalah
mereka adalah yang telah mencapai kesucian tingkat pertama hingga keempat,
yaitu: Sotapatti (pemasuk arus), sakadagami (yang akan kembali atau terlahir di
bumi sekali lagi), anagami (yang tidak kembali lagi dialam dewa dan manusia),
dan arahatta (yang telah sempurna, tidak lagi mengalami kelahiran dan
kematian), masing-masing dibedakan atas yang telah mencapai jalan (magga), dan telah mencapai hasil (phala), (Pug 73). orang-orang kudus itu dinamakan arya-puggala, bisa seorang Bhikkhu atau Bhikkhuni, bisa saja
upassaka atau upassika.
Seorang Sotapanna telah berhasil membasmi belenggu (samyojhana) berupa pandangan keliru
tentang keakuan (sakkayadhitti), terhadap
guru dan ajaran sejati. (vicikiccha), kepercayaan
akan tahayul bahwa upacara saja dapat mengakhiri penderitaan (silabbataparamasa). Ia tidak akan
mundur atau mandek dalam perkembangn batin, sehingga tidak akan dilahirkan
lebih dari tujuh kali dalam perajalanannya mencapai penerangan sempurnanya.
Selain telah membasmi ketiga belenggu yang disebut terdahulu, sakadagami telah
melemahkan dan anagami telah membasmi belenggu lain berupa cengkraman nafsu
birahi (kamaraga) dan keingina jahat,
benci dan dendam (patigha), arahat
lebih jauh telah membasmi belenggu berupa nafsu keinginan untuk hidup dialam
yang bermateri (ruparaga), nafsu keinginan untuk hidup dialam yang tidak
bermateri (aruparaga), kesombongan (mana), kegelisahan (uddhacca), dan ketidaktahuan atau kegelapan batin (avijja).
2.
Makna
Perlindungan
Buddha, Dhamma dan Sangha disebut sebagai Triratna
atau Tiga Permata. Langkah pertama ynag diambil oleh setiap umat Buddha dalam
memasuki jalan keselamatan adalah menyatakan keyakinannya dengan pengakuan
berlindung pada Triratna (Tisarana).
Aku berlindung pada Buddha (Buddham saranang gacchami)
Aku
berlindung pada Dharma (Dhammang saranang
gacchami
Aku
berlindung pada Sangha (Sanghang saranang
gacchami)
Berlindung pada Triratna adalah yakin
dengan sepenuh hati kepada Triratna sebagai pembawa inspirasi, penuntun hidup,
bahkan menjadi tujuan hidup. Orang yang berlindung pada Buddha, dharma dan
Sangha dengan bijaksana dapat melihat Empat Kebenaran Mulia yaitu Dukkha, asal
mula Dukkha, lenyapnya Dukkha dan jalan mulia berunsur delapan yang menuju
lenyapnya Dukkha (Dhp.190-1910. Setelah
melihat dirinya dengan baik ia memperoleh perlindungan yang sukar didapat,
sehingga sesungguhnya diri sendirilah yangmenjadi pelidung bagi dirinya, (Dhp. 160). Jelas, berlindung pada Buddha bukan suatu
sikap yang pasif pasrah pada kehendak diluar diri sendiri. Buddha mengajarkan
agar kita tidak menyandarkan nasib pada makhluk lain, dan menjadi pelindung
bagi diri sendiri dengan berpegang teguh pada kebenaran. “karena itu Ananda,
jadilah pelita pada dirimu sendiri. Jadilah pelindung bagi dirimu sendiri.
Jangan menyandarkan dirimu pada perlindungan dari luar. Peganglah teguh dharma
sebagai pelita. Peganglah teguh dharma sebagai pelindung. Jangan mencari
perlindungan diluar dirimu.” (D.II, 100).
Keyakinan yang disertai pernyataan
berlindung ini mempunyai tiga aspek: (1) aspek kemauan, yang menghendaki adanya
kesadaran dan tindakan aktif, bukan pasif menunggu berkah dari atas; (2) aspek
pengertian, yang menghendaki pemahaman terhadap hakikat perlindungan dan
perlunya perlindungan, yang memberi harapan dan yang menjadi tujuan; (3) aspek
perasaan, yang engandung unsur percaya, keikhlasan, syukur dan cinta kasih,
yang menimbulkan bakti, mendorong pengabdian, dan memberi ketenangan,
kedamaian, semangat, kekuata, dan kegembiraan. Berlindung pada Buddha
mengandung arti menjunjung Buddha yang diyakini telah mencapai penerangan
dengan kekuatan sendiri dan mengajarkan pengetahuan, sehingga kita dapat
melaksanakan dan mengalami apa yang telah dicapainya; mengingat setiap orang
mempunyai benih kebuddhaan dalam dirinya dan dapat menjadi Buddha. Buddha
sebagai pelindung bukanlah pribadi petapa Gotama, melainkan para Buddha sebagai
manivestasibodhi (kebuddhaan) yang mengatasi keduniawian.
Berlindung kepada Dharma mengandung arti
menjunjung Dharama yang tiada lain dari kebenaran mutlak. Dan dalam pengertian
sebagai hukum yang menguasai atau mengatur alam semesta, Dharma melindungi
mereka yang melaksanakan kebenaran. Dharma sebagai pelindung tidak dimaksudkan
dengan kata-kata yang tertulis dalam kitab suci atau konsep dalam pikiran
manusia yang masih dicengkram keduniawian, melainkan kesucian dan nirwana yang
dicapai pada akhir jalan.
Berlindung kepada Sangha mengandung arti
menjunjung tinggi sangha yang memeiliki perilaku benar, menjadi contoh teladan,
membimbing dan menuntun makhluk-makhluk lain. Sangha sebagai pelindung bukan
kumpulan bhikkhu yang bebas kekotoran batin (sammuti-sangha),
melainkan orang-orang yang telah mencaapai kesucian. Perlindungan berhubungan
dengan kemampuan yang ada pada setiap untuk mencapai tingkat kesiucia hingga
menjadi Buddha. Mereka yang berlindung pada Triratna mengikuti suatu cara hidup
untuk mencapai cita-cita penerangan diantaranya, dalam praktik sehari-hari umat
memuja Triratna. Pemujaan demikian dapat dimengarti, apabila diingat bahwa
dalam konsep Triratna itulah yang transenden dapat dijangakau oleh pikiran
manusia biasa. Triratna dipandang merupakan manivestasi atau cerminan Tuhan
Yang Maha Esa dalam dunia ini karena aspek transenden yang dimiliknya. Tetapi
konsep Triratna tidaklah sama dengan konsep Tuhan dalam agama lain.
C.
Pandangan
Benar (Samma Ditthi)
Pandangan benar adalah
pengetahuan benar tentang Empat Kebenaran Mulia yaitu pengetahuan benar tentang
Dukkha, sebab menculnya DUKKHA , lenyapnya Dukkha dan jalan menuju lenyapnya Dukkha. Pada tingkatan biasa hanya merupakan pengetahuan yang berdasarkan pada penalaran
manusia biasa saja yang didasarkan pada kemampuan berpikir seseorang yang masih
terbatas pada pengalaman yang dialaminya sehari-hari melalui indera-inderanya.
Pandangan benar akan memastikan kebenaran pikiran dan keselarasan gagasan.
Ketika gagasan dan pikiran menjadi jelas dan bermanfaat, ucapan dan perbuatan
akan mengikutinya. Pandangan benar juga akan menyebabkan seseorang menghentikan
usaha yang tanpa hasil dan mengusahakan daya upaya benar yang membantu
mengembangkan perhatian benar. Daya upaya benar dan perhatian benar, dengan
dituntun oleh pengertian benar, akan menyababkan unsur-unsur lain dari sistem
bergerak dalam hubungan yang tepat.
Pandangan benar dengan
penalaran biasa setelah mempelajari Buddha Dhamma akan menyimpulkan bahwa kamma kita sendiri sangatlah
mempengaruhi keberadaan dan kehidupan kita. Kitapun dapat mengetahui secara garis besarnya mengenai cara kerja
hukum kamma dan meyakini bahwa pada
umumnya semua keadaan kita adalah sebagai akibat dari kamma kita sendiri. Pandangan benar akan keyakinan terhadap
hukum-hukum kamma meliputi:
1. Kammassaka
(kamma sebagai milik atau harta)
2. Kammadayada
(kamma sebagai warisan)
3. Kammayoni
( kamma yang melahirkan)
4. Kammabandu
(kamma sebagai kerabat)
5. Kammappatissarana
(kamma sebagai pelindung)
Pandangan benar kita akan mengingat
apabila pengalaman kita telah meningkat pula.
Misalnya kita sukses melaksanakan meditasi, yang akan membantu kita
melihat, mengetahui dan mengerti hal-hal yang belum pernah kita ketahui
sebelumnya, yang akan mengakibatkan pengetahuan kita meningkat pula.
Pengetahuan yang tinggi akan menghasilkan cara berfikir yang lebih maju,
sehingga dengan demikian pandangan hidup kita akan lebih jelas dan keyakinan
bertambah kuat.
Pandangan benar seseorang akan menjadi
sempurna pada saat ia mencapai pembebasan mutlak, atau lenyap nya Dukkha, yaitu
Nibbana. Pada tingkat ini, pandangan
benar telah berkembang pada tingkat tertinggi, sebab pengetahuan tentang
kesunyataan telah direalisasikannya, serta menyadarinya dengan penuh pengertian
bahwa segala sesuatu yang terkondisi adalah tidak kekal (Anicca). Ia juga akan mengerti dengan sempurna bahwa
ketidak-kekalan segala sesuatu yang terkondisi itu adalah tidak menyenangkan
atau tidak memuaskan (Dukkha), sebab
segala sesuatu yang terkondisi itu adalah tanpa suatu jiwa atau aku yang kekal (Anatta).
D.
Semangat
Misioner
Ketika kita membalik halaman sejarah ajaran Buddha,
kita mempelajari bahwa para misioneris buddhis menyebarkan pesan mulia sang
Buddha dengan jalan penuh kedamaian dan terhormat. Misi penuh damai semacam itu
semestinya membuat malu mereka yang melakukan metode kekerasan dalam
menyebarkan agama mereka.
Misioneris buddhis tidak belomba dengan umat
beragama lain dalam mengubah orang diluar sana. Tidak ada misionaris atau
biarawan Buddha yang berfikir untuk membabarkan niat buruk terhadap orang ‘yang
tidak percaya’. Intoleransi agama, budaya, dan bangsa bukanlah prilaku orang
yang terisi dengan semangat buddhis sejati. Agresi tidak pernah disetujui dalam
ajaran Buddha. Dunia telah berdarah dan cukup menderita akan penyakit
dokmatisme, panatisme agama, dan intoleransi. Baik dalam agam maupun politik,
orang dengan sengaja membawa manusia untuk menerima jalan hidup mereka sendiri.
Dalam melakukan hal ini, kadang-kadang menunjukkan permusuhan mereka terhadap
pengikut agama lain.
Ajaran Buddha tidak pernah bertentangan dengan
tradisi dan adat nasional, seni, dan budaya orang yang menerimanya sebagai
suatu jalan hidup, tetapi membiarkan mereka tetap ada dan mendorong perbaikan
lebih lanjut. Pesan sang Buddha tentang
cinta dan belas kasih membuka hati orang dan mereka mau menerima ajaran
tersebut, dengan demikian membantu ajaran agama Buddha menjadi agama dunia.
Misionaris buddhis diundang oleh berbagai negara yang menyambut mereka dengan
rasa hormat. Ajaran buddha tidak pernah diperkenalkan kenegara manapun melalui
pengaruh penjajahan atau kekuasaan politik lainnya.
Ajaran Buddha adalah kekuatan spritual pertama yang
kita ketahui dalam sejarah yang mampu mempererat sejumlah besar ras yang terpisahkan
oleh hambatan jarak, bahasa, budaya, dan moral. Motifnya bukanlah perebutan
perdagangan internasional, pembangunan kekaisaran atau nafsu pendudukan daerah
baru. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana orang dapat memperoleh lebih
banyak kedamaian dan kebahagiaan melalui praktek Dhamma.
Contoh yang baik, dari kualitas dan pendekatan
misionaris buddhis adalah kaisar asoka. Pada masa Kaisar Asoka ajaran Buddha
menyebar kebanyak negara asia dan barat. Kaisar Asoka mengutus misionaris
buddhis keberbagai belahan dunia untuk memperkenalkan pesan sang Buddha. Asoka
menghormati dan mendudkung setiap agama pada masa itu. Pengertiannya terhadap
agama lain sungguh mengesankan. Salah satu kutipannya tertatah pada batu
dipilar Asoka dan masih berdiri di India hingga kini.
“seseorang sebainya tidak hanya
menghormati agamanya sendiri dan mengutuk agama lain, tetapi seseorang
sebaiknya enghormati agama lain dengan alasan tertentu. Dengan berbuat
demikian, seseorang membantu agama sendiri untuk tumbuh dan menyumbangkan jasa
bagi agama lain. Dengan berbuat sebaliknya, seseorang manggali kubur bagi
agamanya sendiri dan juga menyakiti agama lain. Barang siapa yang menghormati
agamanya sendiri dan mengutuk agama lain, melakukannya melalui pemujaan
terhadap agamanya sendiri, berfikir, ‘saya akan memuliakan agama saya sendiri’
namun sebaliknya, dengan berbuat demikian ia justru melukai agamanya sendiri
dengan lebih parah; maka kerukunan itu baik adany. Biarkan semua mendengar dan
berniat mendengarkan ajaran yang dianut oleh orang lain”.
Sekitar tahun 268 SM, beliau membuat doktrin Sang
Buddha menjadi suatu kekuatan yang hidup di india. Rumah sakit, lembaga
pelayanan sosial, universitas untuk pria dan wanita, kesejahteraan umum, dan
pusat rekreasi bersemi dengan gerakan baru ini, dengan demikian orang menyadari
kejamnya perang berdarah.
Zaman keemasan dalam sejarah India dan negara-negara
Asia lainnya adalah masa ketika seni, budaya, pendidikan, dan peradaban
mancapai puncaknya. Ini terjadi pada masa umat Buddha merupakan pengaruh
terbesar di negara-negara ini. Perang suci, perusakan pengejaran, dan
diskriminasi agama tidak mencemari masa-masa negara buddhis. Inilah sejarah
mulia umat manusia yang benar-benar dibanggakan. Universitas besar Nalanda
India yang tumbuh subur sejak abad ke-2 sampai ke-9 merupakan produk ajaran
Buddha. Ini adalah universitas pertama dalam sejarah yang kita ketahui dan
dibuka untuk siswa internasioanal.
Pada masa lalu, ajaran Buddha mampu berada dibanyak
negara belahan timur, walaupun komunikasi dan transportasi masih sulit dan
orang harus menyeberangi bukit dan gurun. Dalam rintangan yang sulit ini, jaran
Buddha menyebar jauh dan luas. Kini pesan dhamma ini menyebar ke barat. Orang
barat tertarik pada ajaran Buddha dan percaya bahwa ajaran Buddha adalah
satu-satunya agama yang selaras dengan pengetahuan modern.
Misionaris Buddhis tidak memilki keinginan atau
bernafsu untuk mengubah orang yang telah memiliki agama yang layak untuk
dijalani. Jika orang puas dengan agamanya sendiri, maka tidak ada keperluan
bagi misioneris Buddhis untuk mengubah mereka. Mereka mendukung penuh
misioneris ajaran lain jika gagasannya adalah untuk mengubah orang-orang jahat,
kejam, dan tak beradab menjadi menjalani hidup religius. Umat Buddha bahagia
melihat kemajuan agama lain sepanjang mereka benar-benar menolong orang lain
untuk menjalani kehidupan religius menurut keyakinan mereka serta menikmati
kedamaian, harmoni, dan pengertian. Sebaliknya misioneris Buddhis menyesalkan
tingkah laku misionaris tertentu yang menggangu pengikut agama lain karena
tidak ada alasan bagi mereka untuk membuat suasana kompetisi yang tidak sehat
untuk mengubah agama jika tujuan mereka murni hanya untuk mengajari orang untuk
menjalani kehidupan religius.
Dalam memperkenalkan Dhamma kepada orang lain,
misionaris Buddhis tidak pernah mencoba untuk menggunakan pernyataan khayalan
yang dilebih-lebihkan yang menggambarkan hidup surgawi untuk menaruh keinginan
orang dan membangkitkan hasrat mereka. Sebaliknya, mereka mencoba untuk
menjelaskan sifat sejati manusia dan kehidupan adiduniawi seperti yang
diajarkan Sang Buddha.
E.
Agama
Yang Tepat
Agama apapun yang mengandung hal-hal semacam empat
kebenaran arya dan jalan arya beruas delapan, dapat dianggap sebagai yang
tepat.
Sangat sulit untuk mengetahui kenapa
ada begitu banyak agama dan agama man yang benar. Pengikut setiap agama mencoba
menunjukakan keunggulan agama masing-masing. Perbedaan melahirkan beberapa
bentuk pengembangan. namun dalam hal
agama, orang memandang satu sma lain dengan kecemburuan, kebencian dan
penghinaan. Praktek religus yang palng dihormati pada satu agama dianggap
menggelikan oleh yang lain. Untuk memperkenalkan kehebatan dan pesan perdamaian
bebrapa orang telah mengambil jalan dengan senjata dan perang. Apakah mereka tidak
malah mencemari nama baik agama? Tampaknya agama-agama tertentu justru
mangakibatkan perpecahan alih-alih persatuan umat manusia. Saat ini kita
mengetahui banyak agama yang mendorong pengikutnya utuk membenci agama lain,
tetapi hanya segelintir agama yang mendorong penghormatan pada agama lain.
Setiap agama mengajarkan tentang kasih, tetapi kenapa suatu agama tidak bisa
mengasihi agama lain?
Untuk menemukan agama yang sejati dan tepat kita
harus menimbang dengan pikiran yang tidak berat sebelah apakah sebenarnya agama
yang salah. Agama atau filosofi yang salah mencakup: materialisme yang
menyangkal kelangsungan hidup setelah kematian; amoralisme yang menyangkal
kebaikan dan kejahatan agama yang menyatakan bahwa manusia secara ajaib
diselamatkan atau dihukum; evolusia keilahian yang berpegang bahwa segala hal
sudah ditakdirkan dan semua orang ditakdirkan untuk mencapai pengampunan akhir
melalui iman belaka.
Ajaran Buddha bebas dari dasar-dasar yang tidak
memuaskan dan tidak pasti. Ajaran Buddha adalah realiatas dan dapat dibuktikan.
Kebenarannya telah dibuktikan oleh sang Buddha, dibuktikan oleh
murid-murid-Nya, dan selalu tetap terbuka dan dibuktikan pleh siapapun yang
ingin membuktikkannya dan saat ini ajaran Buddha, sedang dibuktikan oleh metode
penyelidikan ilmiah yang paling hebat.
Sang Buddha menasehatkan bahwa bentuk agama apapaun
adalah tepat jika mengandung empat kebenaran arya dan jalan mulia beruas
delapan. Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa sang Buddha tidak ingin
membentuk agama tertentu. Yang ia inginkan adalah mengungkapkan kebenaran
sejati hidup kita dan dunia. Walaupun Sang Buddha menjelaskan empat kebenaran
arya dan jalan mulia berunsur delapan dengan terperinci, metode ini bukan milik
umat Buddha saja. Hal ini adalah kebenaran universal dan terbuka bagi siapa
saja yang ingin memahami kondisi manusia dan mencapai kebahagiaan.
Kebanyakan orang merasa perlu untuk mengajukan
argumen untuk ‘membuktikan’ kesahihan agama yang mereka ikuti. Beberapa orang
menyatakan bahwa agama mereka adalah agama tertua, maka itulah yang benar. Yang
lain menyatakan bahwa agama mereka adalah agama terakhir atau terbaru, maka
itulah yang benar. Beberapa menyatakan bahwa agama mereka punya pengikut paling
banyak maka itulah yang benar. Tetapi tidak satupun argument ini yang sahih
untuk menetapkan kebenaran suatu agama. Seseorang dapat menilai suatu agama
hanya dengan menggunakan akal sehat dan pengertian. Beberapa tradisi agama
mengharuskan manusia untuk tunduk pada kekuatan yang lebih besar dari dirinya, kekuatan
yang mengatur dan mengendalikan ciptaanya, tndakannya, dan pembebasan akhirnya.
Sang Buddha tidak menerima kekuatan semacam itu tetapi beliau memberikan
kekuatan dahsyat tersebut kepada manusia dengan menyatakan bahwa setiap orang
pencipta dirinya sendiri dan bertanggung jawab akan keselamatannya sendiiri.
Itulah sebabnya dikatakan bahwa: “tak seoarangpu yang sangat tak bertuhan
seperti sang Buddha, namun tak seorangpun yang sangat serupa tuhan seperti Sang
Buddha”. Agama Buddha menberikan martabat yang besar bagi manusia; sekaligus
memberinya tanggung jawab yang besar. Umat Buddha tidak melemparkan kesalahan
pada kekuatan eksternal ketika sesuatu yang buruk menimpa dirinya. Tetapi
mereka dapat menghadapi kemalangan dengan keseimbangan batin karena mereka tahu
bahwa mereka mempunya kekuatan untuk melepaskan dirinya sendiri dari semua
kesengsaraan.
Salah satu alasan mengapa ajaran buddha menarik bagi
kaum intelektual dan mereka yan berpendidikan tinggi adalah abahwa sang Buddha
dengan jelas melarang pengikutnya untuk menerima semua hal yang mereka dengar
tanpa menguji kesahihannya lebih dahulu (bahkan sekalipun hal itu datang dari
Sang Buddha). Ajaran Buddha tetap dan bertahan dengan tepat karena kaum
intelektual telah menantang setiap aspek ajaran ini dan telah menyimpulkan
bahwa sang Buddha selalu mengucapkan kebenaran yang tak terbantahkan. Sementara
ahli-ahli agama lain mencoba untuk mempertimbangkan kembali ajaran penemunya
dalam pandangan pengetahuan modern tentang alam semesta, ajaran Buddha justru menjadi
acuan dan dibuktikan para ilmuan.
F.
Keyakinan
Versus Kepercayaan
Keyakinan dan kepercayaan merupakan dua kata yang
sangat mirip dalam pengartianya, banyak orang awam mengartikan sebagai dua kata
yang memiliki arti yang sama, dimana yakin bisa dikatakan percaya dan percaya
bisa dikatakan yakin. Namun jika dikaji dari makna katanya sesuai dengan
pengertian dan pandangan yang benar, pengertian kedua kata tersebut sanganlah
berbeda. Arti keyakinan disini bukan berarti kepercayaan yang membabi buta atau
asal percaya begitu saja, akan tetapi merupakan suatu keyakinan yang didasarkan
pada pengertian yang muncul karena bertanya dan menyelidiki (S. V, 226). Karena keyakinan itu muncul akibat pengertian, maka
keyakinan umat Buddha pada sesuatu yang diyakini tidaklah sama kualitasnya.
Tidak ada pengertian yang sama pada orang yang berbeda-beda dan akibatnya
kualitas keyakinan setiap individu berbeda.
Yang disebut keyakinan adalah mengetahui
suatu hukum kebenaran dengan jelas, sedangkan kepercayaan hanyalah karena
menganggap suatu itu benar, tetapi tidak disertai dengan suatu bukti-bukti atau
penglihatan lengkap. Seperti halnya pada zaman nenek moyang terdahulu, mereka
mempunyai kepercayaan untuk dijadikan keyakinan mereka, seperti kepercayaan
animisme dan dinamisme yang dijadikan sebagai tempat berlindung dan memohon
kebahagian bagi mereka, akan tetapi kepercayaan yang mereka yakini belumlah
mereka buktikan kebenarannya sesuai pengertian dan pandangan yang rasioanl.
Setiap agama apapun bersendikan
Ketuhanan Yang Maha Esa, meskipun pengertian dan makna yang diberikan oleh tiap
agama terhadap Tuhan Yang Maha Esa berlainan antara agama yang satu dengan
agama yang lainnya. Agama Buddha yakin dengan adanya Tuhan. Keyakinan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa tidak sam dengan keyakinan terhadap adanya Benua Amerika
atau keyakinan terhadap bentuk dunia yang bulat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Arti dari keyakinan bukan berarti kepercayaan yang membabi
buta atau asal percaya begitu saja, akan tetapi merupakan suatu keyakinan yang
didasarkan pada pengertian yang muncul karena bertanya dan menyelidiki sendiri
dengan pengertian yang rasional dan bijaksana. Sedangkan kepercayaan hanyalah anggapan
terhadap sesuatu yang dianggap benar, tetapi tidak disertai dengan suatu bukti
hasil dari pembuktian baik dalam bentuk bertanya atau penyelidikan dengan dasar
pengertian dan pandangan yang rasioanal maupun
bikaksana.
Ada empat pokok-pokok keyakinan yang paling utama. Yang pertama,
keyakinan kepada Buddha. Kedua, keyakinan kepada jalan mulia berunsur delapan (Arya Atthangika-magga). Ketiga, keyakinan
pada ketiadaan hawa nafsu (viraga) atau
Nirvana,yang dinyatakan juga sebagai Dhamma. Keempat keyakinan pada arya-sangha, persekutuan orang-orang
suci (A. II, 34).
Kebijaksanaan seseorang dalam menentukan keyakinan
pada dirinya sendiri merupakan sember kekuatan keyakinan. Kekuatan keyakinan
tersebut dapat menjadi pelindung seseorang apabila seseorang mempraktekkan ajaran
dari keyakinan yang sudah ditentukkannya dengan baik.
Pandangan benar adalah pengetahuan benar tentang
Empat Kebenaran Mulia yaitu pengetahuan benar tentang Dukkha, sebab menculnya Dukka,
lenyapnya Dukkha dan jalan menuju
lenyapnya Dukkha. Pada tingkatan
biasa hanya merupakan pengetahuan yang
berdasarkan pada penalaran manusia biasa saja yang didasarkan pada kemampuan
berpikir seseorang yang masih terbatas pada pengalaman yang dialaminya
sehari-hari melalui indera-inderanya
Agama
apapun yang mengandung hal-hal semacam empat kebenaran arya dan jalan arya
beruas delapan, dapat dianggap sebagai yang tepat.
Misionaris Buddhis tidak memilki keinginan atau
bernafsu untuk mengubah orang yang telah memiliki agama yang layak untuk
dijalani. Jika orang puas dengan agamanya sendiri, maka tidak ada keperluan
bagi misioneris Buddhis untuk mengubah mereka. Mereka mendukung penuh
misioneris ajaran lain jika gagasannya adalah untuk mengubah orang-orang jahat,
kejam, dan tak beradab menjadi menjalani hidup religius. Umat Buddha bahagia
melihat kemajuan agama lain sepanjang mereka benar-benar menolong orang lain
untuk menjalani kehidupan religius menurut keyakinan mereka serta menikmati
kedamaian, harmoni, dan pengertian. Sebaliknya misioneris Buddhis menyesalkan
tingkah laku misionaris tertentu yang menggangu pengikut agama lain karena
tidak ada alasan bagi mereka untuk membuat suasana kompetisi yang tidak sehat
untuk mengubah agama jika tujuan mereka murni hanya untuk mengajari orang untuk
menjalani kehidupan religius.
B.
Saran
Saran
dan kritikan dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis guna mengoreksi
kekeurangan yang terdapat dalam penulisan makalah ini, sehingga untuk
kedepannya penulis dapat memperbaiki kekurangan yang terdapat dalam penulisan
makalah selanjutnya semoga makalah ini dapat menjadi bahan untuk digunakan
sebagaimana diharapkan.
Daftar Pustaka
Dhammananda Sri. Keyakinan
Umat Buddha, Jakarta: Ehipassiko Foundation 2005.
Tim Penyusun Departemen Agama, Buku
Pelajaran Agama Buddha SLTA Kelas 1, Surabaya: Paramita
Wijaya, Krishnanda Mukti, Wacana Buddha Dhamma, Jakarta : Yayasan
Dharma Pembangunan, 2006.
Merkur Gold Strike Safety Razor - FEBCASINO
BalasHapusMerkur's Gold Strike Safety Razor, aprcasino Merkur Platinum Edge Plated Finish, German, 바카라 사이트 Gold-Plated, Satin https://febcasino.com/review/merit-casino/ Chrome Finish. Merkur communitykhabar has a more aggressive looking, 출장안마