Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 20 April 2015

Artikel Nibbana


Abstrak
Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Kebahagiaan Nibbana tidak dapat dialami dengan memanjakan indra, tetapi dengan memadamkannya.


1.      Pendahuluan
Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Kebahagiaan Nibbana tidak dapat dialami dengan memanjakan indra, tetapi dengan memadamkannya.
Nibbana adalah tujuan akhir ajaran Buddha. Lantas, apakah Nibbana itu? Tidak mudah untuk mengetahui apa Nibbana itu sebenarnya; lebih mudah mengetahui apa yang bukanNibbana.
Nibbana bukanlah ketiadaan atau kepenuhan. Apakah Buddha akan meninggalkan keluarga dan  kerajaan-Nya dan berceramah selama 45 tahun-semuanya hanya demi suatu keadilan?
Nibbana bukanlah suatu surga. Berapa abad setelah Buddha, sebagian aliran Buddhisme mulai menggambarkan Nibbana sebagai surga.  Tujuan mereka menyetarakan Nibbanadengan alam surgawi adalah untuk meyakinkan orang yang “kurang pintar” dan untuk menarik mereka pada ajaran aliran itu, lalu berjuang menuju Nibbana berarti jadi menjadi mencari suatu tempat yang indah dimana semua hal baik adanya dan semua orang bahagia selamanya. Ini mungkin suatu dongeng yang menyenangkan, tetapi itu bukan Nibbana yang dialami dan diperkenalkan oleh Buddha. Selama hidup-Nya Buddha tidak menyangkal gagasan tentang surga seperti yang dikenal dalam agama-agama awal India,  tetapi itu Buddha mengetahui bahwa surga-surga ini masih termasuk dalam samsara, sementara keterbatasan akhir berada diluar itu. Buddha mampu melihat bahwa jalan menuju Nibbanatertuju lebih dari surga.

  
2. Pembahasan
2.1 Pengertian Nibbana
Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Kebahagiaan Nibbana tidak dapat dialami dengan memanjakan indra, tetapi dengan memadamkannya.
Nibbana adalah tujuan akhir ajaran Buddha. Lantas, apakah Nibbana itu? Tidak mudah untuk mengetahui apa Nibbana itu sebenarnya; lebih mudah mengetahui apa yang bukanNibbana.
Nibbana bukanlah ketiadaan atau kepenuhan. Apakah Buddha akan meninggalkan keluarga dan  kerajaan-Nya dan berceramah selama 45 tahun-semuanya hanya demi suatu keadilan?
Nibbana bukanlah suatu surga. Berapa abad setelah Buddha, sebagian aliran Buddhisme mulai menggambarkan Nibbana sebagai surga.  Tujuan mereka menyetarakan Nibbanadengan alam surgawi adalah untuk meyakinkan orang yang “kurang pintar” dan untuk menarik mereka pada ajaran aliran itu, lalu berjuang menuju Nibbana berarti jadi menjadi mencari suatu tempat yang indah dimana semua hal baik adanya dan semua orang bahagia selamanya. Ini mungkin suatu dongeng yang menyenangkan, tetapi itu bukan Nibbana yang dialami dan diperkenalkan oleh Buddha. Selama hidup-Nya Buddha tidak menyangkal gagasan tentang surga seperti yang dikenal dalam agama-agama awal India,  tetapi itu Buddha mengetahui bahwa surga-surga ini masih termasuk dalam samsara, sementara keterbatasan akhir berada diluar itu. Buddha mampu melihat bahwa jalan menuju Nibbanatertuju lebih dari surga.
Jika Nibbana bukan suatu tempat, lalu di manakah Nibbana itu? Secara tegas, kita tidak dapat bertanya di manakah Nibbana itu. Nibbana ada sama seperti adanya api. Tidak ada tempat penyimpanan untuk api ataupun untuk Nibbana. Tetapi jika Anda menggosok potongan kayu bersamaan, maka gesekan dan panas adalah kondisi yang tepat bagi api untuk muncul. Demikian juga, jika sifat pikiran manusia sedemikian sehingga bebas dari semua noda, maka kebahagiaan Nibbana akan muncul.
Setiap orang dapat merealisasikan Nibbana, tetapi sebelum mengalami keadaan tertinggi kebahagiaan Nibbana, ia hanya dapat berspekulasi seperti apa itu sebenarnya, sekalipun kita bisa mendapatkannya sekilas dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka yang bersikeras pada teori, teks-teks menawarkan bantuan. Teks-teks menyarankan bahwaNibbana adalah keadaan kebahagiaan murni yang luar biasa.
Dengan dirinya sendiri, Nibbana cukup tidak dapat dijelaskan dan didefinisikan. Seperti kegelapan hanya dapat dijelaskan dengan lawannya: terang, dan seperti ketenangan hanya dapat dijelaskan oleh lawannya: gerakan, demikian pula Nibbana, sebagai suatu keadaan yang setara dengan pemadaman segala duka dapat dijelaskan dengan lawannya: duka yang dipukul dalam samsara. Seperti kegelapan timbul pada saat tidak ada cahaya, seperti ketenangan muncul pada saat tidak ada gerakan, demikian pula Nibbana ada di mana-mana saat duka, perubahan, dan cemaran batin tidak ada.
Seorang penderita yang menggaruk lukanya dapat mengalami rasa lega sementara. Rasa lega ini hanya memperburuk luka dan memperparah penyakit. Kegembiraan kesembuhan akhir tidak dapat dibandingkan dengan rasa lega sementara yang diperoleh dari garukan, pemuasan nafsu indrawi hanya membawa kepuasan atau kebahagiaan sementara yang justru memperpanjang perjalanan samsara adalah NibbanaNibbana adalah akhir dari nafsu yang menyebabkan semua penderitaan kelahiran, usia, tua, penyakit, kematian, kepedihan, ratapan, dan keputusasaan. Kegembiraan penyembuhan Nibbana sulit dibandingkan dengan kesenagan sementara dalam samsara yang diperoleh dari pemenuhan nafsu indrawi.
Tidak disarankan untuk berspekulasi tentang apakah Nibbana itu; lebih baik untuk mengetahui bagaimana menyampaikan kondisi yang diperlukan untuk Nibbana, bagaimana mencapai keheningan dan kebeningan pandangan yang menuju Nibbana. Ikuti nasehat Buddha, praktekan ajaran-Nya. Lenyapkan semua kotoran yang berakar dalam ketamakan (lobha), kebencian (dosa) dan ketakutan (moha). Murnikan batin sendiri dari semua nafsu dan sadari tiadanya inti diri yang mutlak. Jalani hidup dengan tindakan moral yang benar dan secara konstan lakukan meditasi. Dengan upaya aktif, bebaskan diri sendiri dari semua keakuan dan khayalan. Kemudian, Nibbana akan direalisasikan dan  dialami.

3.2 Samsara Dan Nibbana

pelajar Buddhisme Mahayana terkemuka, Ngarjuna, berkata bahwa samsara danNibbana adalah satu. Penafsiran ini bisa dengan mudah disalahpahami oleh orang lai. Bagaimanapun, menyatakan bahwa samsara dan Nibbana itu sama saja, berarti mengatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam hilangnya hal terkondisi dan keadaan tak terkondisi dari Nibbana. Berdasarkan Tipitaka pali, samsara digambarkan sebagai kesinambungan tak terputus dari lima gugus, empat unsur, dan dua belas besar dasar atau sumber proses batin; sedangkan Nibbana digambarkan sebagai pemadaman sumber relatif fisik dan mental itu.
Mereka yang merealisai kebahagiaan Nibbana dapat mengalaminya selama sisa keberadaan mereka sebagai manusia. Setelah kematian, hubungan dengan unsur-unsur tersebut akan luruh, karena alasan yang sederhana bahwa Nibbana tidak terkondisi, tidak relatif, atau tidak salin bergantung. Jadi tiada lain bahwa Nibbana adalah “Kebenaran Mutlak”.
Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan saat ini juga. Ajaran Buddha tidak menyatakan bahwa tujuan akhir itu hanya dapat dicapai dalam kehidupan sesudahnya. Ketika Nibbanadirelisasikan dalam hidup ini dengan tubuh masih ada, hal ini disebut Saupadisesa Nibbana. Saat seorang  Araha merealisai Parinibbana, setelah luruhnya tubuh, tanpa sisa keberadaan fisik, hal ini disebut Anupadisesa Nibbana.
Kita harus belajar untuk tidak melekat dari semua hal keduniawian. Jika ada kelekatan terhadap seorang atau sesuatu, atau jika ada keengganan terhadap seseorang atau sesuatu, kita tidak akan pernah merealisasi Nibbana karena Nibbana melampaui semua kelekatan dan keengganan, suka dan tidak suka.
Saat keadaan tertinggi itu tercapai, kita akan memahami sepenuhnya hidup keduniawian yang sekarang ini. Dunia ini akan berhenti menjadi obyek nafsu. Kita akan menyadari ketaktetapan, ketakpuasan, dan ketiadadirian semua yang hidup dan yang tak hidup. Dengan tergantung pada guru atau buku suci tanpa usaha kita sendiri  dengan cara yang benar, sukar untuk meraih penyadaran Nibbana. Mimpi akan buyar. Tidak ada istana yang akan dibangun di udara. Badai akan berlalu. Perjuangan hidup akan usai. Proses alam akan berhenti. Semua kecemasan, kesengsaraan, gangguan, beban, penyakit fisik dan mental, dan emosi akan berakhir setelah merealisasikan keadaan kebahagiaan Nibbana ini.
Mengatakan bahwa Nibbana adalah ketidaan,  semata-mata karena orang tidak mampu merasakannya dengan panca indra, sama tidak logisnya dengan berkata bahwa cahaya itu tidak ada hanya karena orang buta tidak melihatnya. [1]
Nibbana mempunyai pengertian khusus untuk menggambarkan akhir proses yang terjadi dalam diri manusia, yang berbeda dengan konsep sorga maupun neraka, ataupun arti yang identik dengan itu dalam agama Islam, Kristen, maupun Hindu. Radhakrishnan memberikan pengertian nibbana sebagai bebas dari kelahiran kembali, berakhirnya rantai kehidupan, paniadaan keinginan, dendam dan kebodohan teratasi, maka tercapailah nibbana yang mutlak.

3.3 JALAN MENUJU NIBBANA

Bagaiamana caranya  untuk mencapai Nibbana?  Dengan melakasanakan delapan faktor jalan utama, yaitu Pengertian benar ( samma-ditthi), pikiran benar (samma-sankappa), ucapan benar (samma-vaca), perbuatan benar (samma-kammanta), penghidupan benar ( samma-vayama), perhatian benar (samma-sati), konsentrasi benar (samma-samdhi).
Pengertian benar yang merupakan kunci utama agma budha, mencakup pengetahuan tentang empat kebenaran mulia. Mengerti dengan benar berarti memahami segala sesuatu sebagaimana adanya bukan sebagaimana nampaknya. Pada pokoknya ini menyatakan pengertian benar terhadap diri sendiri, karena seperti tertulis di dalam Rohitassa Sutta: “empat kebenaran mulia tergantung pada tubuh ini yang panjangnya dua depan beserta kesadaranya”. Dalam melaksanakan delapan faktor jalan utama, pengertian benar berada permulaan karena hal itu memberi motivasi serta arah yang benar kepada tujuh faktor jalan utama lainnya. Pada tingkat akhir melaksanakan pengertian benar masak menjadi kebijaksanaan pandangan terang sempurna (vipassana panna), yang langsung membawa kepada tingkat-tingkat kesucian.
Pengertian benar mengakibatkan pemikiran benar. Karena itu, faktor kedua dari jalna utama ini (samma-sankkappa), mempunyai dua tujuan: melenyapkan pikiran-pikiran jahat dan mengembangkan pikiran baik. Dalam hubungan ini, pikiran benar terdiri dari tiga bagian, yaitu:
Ø  Nekkhamma: melepaskan diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan diri sendiri yang berlawanan dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri.
Ø  Abyapada: cinta kasih, i’tikad baik, atau kelemah-lembutan yang berlawanan dengan kebencian, i’tikad jahat, atau kemarahan.
Ø  Avihmsa: tidak kejam atau kasih sayang, yang berlawanan dengan kekejamana atau ketangisan.
Pikiran benar menimbulkan ucapan benar, faktor ketiga. Ucapan benar mencakup perbuatan untuk menahan diri dari berbohong, memfitnah, berkata kasar dan bicara yang tidak berguna.
Ucapan benar harus diikuti dengan perbuatan benar, yang meliputi perbuatan menahan diri dari pembunuhan makhluk-makhluk hidup, pencurian dan perbuatan-perbuatan kelamin yang salah.
Dalam membersihkan pikiran, ucapan dan perbuatan pada tingkat awal. Musafir spiritual berusaha memperbaiki penghidupanya dengan cara menahan diri dari lima macam perdagangan yang terlarang bagi seorang umat Budha, yaitu: Memperdagangkan senjata, manusia, binatang-binatang untuk dibunuh, minuman keras, obat bius dan racun.
Bagi para Bikkhu, penghidup salah meliputi perbuatan-perbuatan munafikan cara-cara yang tidak dibenarkan untuk memeperoleh kebutuhan-kebutuhan hidup seorang Bikkhu.
Usaha benar, terdiri atas empat macam kegiatan yaitu: usaha melenyapkan kejahatan yang telah timbul, usaha mencegah timbulnya kejahatan yang belum timbul, usaha membengkitkan kebajikan yang belum timbul dan usaha mengembangkan kebajikan yang telah timbul.
Perhatian benar, adalah kesadaran yang terus menerus terhadap jasmani, perasaaan-perasaan, pikiran-pikiran, serta obyek-obyek batin. Usaha benar dan perhatian benar menimbulkan konsentrasi benar, yaitu menunggalnya pikiran pada satu obyek yang luhur, yang memundak dalam Jhana.
Dari kehidupan faktor jalan utama ini, dau yang pertama dikelompokkan ke dalam bagian kebijaksanaan (panna), tiga yang selanjutnya ke dalam bagian moral (sila). Dan tiga yang terakhir ke dalam bagian konsentrasi (sammadhi). Tetapi menurut urutan pengembangannya, rangkaian itu adalah sebagai berikut Sila, Samadhi, Panna.
Moral (Sila) merupakan tingkatan pertama pada jalan yang menuju ke Nibbana ini. Dengan tidak membunuh ata melukai makhluk-makhluk apapun, orang akan memiliki rasa belas kasihan dan cinta kasih terhadap semua makhluk, kepada makhluk yang paling kecil sekalipun yang merayap di bawah kakinya. Dengan menahan diri dari mencuri, ia akan berlaku jujur dalam semua usahanya. Dengan menahan diri dari persetubuhan yang tidak benar yang akan merendahkan derajat manusia, ia akan berlaku saleh. Dengan menahan diri dari ucapan salah, ia akan berbicara benar. Dengan menghindari minuman keras yang mengakibatkan kelalaian, ia akan waspada dan rajin.
Azas-azas dasar kelakuan bermoral ini amat penting bagi seorang yang melangkahkan kakinya menuju Nibbana. Melanggar hal-hal tersebut berarti menciptakan rintangan pada kemajuan batinya sendiri. Pelaksanaan hal-hal tersebut berarti kemajuan yang mantap dan lancar sepanjang jalan itu.
Dengan mendisiplinkan ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seorang musafir spiritual akan maju lebih jauh.
Sewaktu ia maju dengan lambat tapi mantap denagn mendisiplinkan segala ucapan dan tingkah lakunya, serta mengendalikan indra-indranya, kekuatan kamma dari siswa yang sedang berjuang ini mungkin akan mendorongnya untuk melepaskan kesenangan-kesenangan duniawi dan menempuh kehidupan sebagai Bikkhu, kemudian dalam dirinya muncul pengertian bahwa: “Kehidupan rumah tangga  merupakan medan perjuangan. Penuh dengan kerja keras dan kebutuhan; tetapi menjalani kehidupan tanpa berumah tangga adalah seperti udara terbuka”.
Namun demikian jangan salah tafsir bahwa seiap orang harus menjadi Bikkhu atau hidup membujang untuk mencapai tujuan akhir. Kemajuan spiritual seseorang dipercepat dengan menjadi Bikkhu, walaupun sebagai umat awam ia dapat juga mencapai tingkat Arahat. Setelah mencapai tingkat kesucian ketiga yaitu, Anagami, seseorang menempuh hidup membujang. Setelah memperoleh pijakan teguh di atas fondasi moralitas, kemudian musafir spiritual yang telah memperoleh kemajuan tersebut mulai pelaksaan yang lebih tinggi, yaitu pengendalian dan pengembangan batin (samadhi), tingkat kedua pada jalan ini.
Sammadhi adalah pemusatan pikiran pada satu proyek dengan mengesampingkan semua persoalan yang tidak perlu.
Terdapat berbagai macam objek meditasi sesuai dengan watak masing-masing individu. Pemusatan pikiran pada pernafasan merupakan cara termudah untuk mencapai Sammadhi. Meditasi pada cinta kasih amat berguna karena hal itu mengakibatkan kedamaian dan kebahagian batin.
Pengembangan empat keadaan batin luhur: cinta kasih (Metta), belas kasihan (karuna), kegembiraan bersimpati (Mudita) dan keseimbangan batin (Upekkha) amat dipuji oleh para bijaksana.
Setelah mempertimbangkan dengan hati-hati obyek-obyek meditasi, ia harus memilih salah satu obyek yang paling cocok dengan wataknya. Setelah dapat memutuskan obyek yang akan dipilih, ia melakukan usaha terus menerus untuk memusatkan pikirannya sampai ia benar-benar tenggelam dan masuk ke dalamnya, sehingga semua bentuk pikiran lainnya tida dapat menerobos ke dalam batinnya. Lima rintangan bagi kemajuan batin adalah: keinginan indara, kebencian, kemalasan dan kelambanan, kegelishan, kekhawatiran dan keragu-raguan.
Akhirnya ia mencapai pemusatan pikiran dan dengan kegembiraan yang dapat diterangkan, ia terserap dalam Jhana, menikmati ketenangan dan kedamaian penunggalan pikiran.
Bilamana seseorang telah mencapai keadaan penunggalan pikiran ini, adalah mungkin baginya untuk mengembangkan lima kemampuan batin luar biasa (abhinna), yaitu: mata-dewa (Dibbacakkhu), telinga-dewa (Dibbasota), ingatan akan kelahiran-kelahiran lampau (Pubbenivasanussati-nana), membaca-pikiran (paracitta vijanna), dan berbagai kemampuan-kemampuan batin lainnya (iddhividha). Namun harus diingat bahwa kekuatan-kekuatan batin luar biasa ini tidak mutlak bagi pencapaian tingkat kesucian.
Walaupun sekarang pikiran telah bersih, tetapi masih ada kecendrungan-kecendrungan yang terpendam dalam batin. Karena dengan samadhi nafsu-nafsu hanya tertidur untuk sementara. Kotoran-kotoran batin itu dapat muncul pada saat-saat yang tak terduga.
Baik Sila maupun Sammadhi amat berguna untuk membersihkan jalan dari rintangn-rintangan, tetapi hanya pandangan terang sajalah yang memungkinkan seseorang melihat segala sesuatu sebagaimana adanya untuk akhirnya mencapai tujuan akhir dengan penghancuran nafsu-nafsu oleh Sammadhi. Inilah tingkat ketiga dan terakhir dari jalan yang menuju ke Nibbana.
Dengan batin yang telah terpusat, yang sekarang menyerupai sebuah kaca yang telah digosok, ia meliahat ke dunia untuk mendapatkan pandangan benar tentang hidup. Kemampuan ia mengalihkan pandangannya, ia tidak melihat apapun selain tiga corak umum kehidupan, yaitu: Annica ( ketidak-kekalan), Dukkha (penderitaan), dan Anatta (tanpa pribadi kekal), yang merupakan gambar timbul yang tegas. Ia memahami bahwa kehidupan selalu berubah dan semua yang bersayarat itu tidak kekal adanya. Baik disurga ataupun di dunia ia tidak akan mendapatkan kebahagiaan sejati, karena setiap bentuk kesenangan hanyalah merupakan pendahulu bagi penderitaan. Karena itu, apa yang tidak kekal adalah tidak memuaskan dan di mana terdapat perubahan dan kesedihan, di sana tidak dapat ditemui adanya sesuatu yang kekal abadi.
Kemudian, diantara ketiga corak umum ini, ia memilih salah satu yang paling menarik baginya dan dengan tekun terus mengembangkan pandangan terang dalam jurusan yang telah dipilihnya, sampai saat-saat yang membahagiakan tiba kepadanya ketika ia dapat memahami Nibbana untuk pertama kali dalam hidupnya, setelah menghancrkan tiga belenggu: pandangan salah tentang aku (sakkaya ditthi), keragu-raguan (vicikiccha), serta kepercayaan bahwa upacara dan doa dapat membebaskan manusia dari penderitaan (Silabbata-paramasa).
Pada tingkat kesucian ini ia disecut seorang Sotapanna (pemenang arus), seorang yang telah memasuki arus yang akan membawanya ke Nibbana. Karena ia masih belum menghancurkan semua belenggu, maka paling banyak ia hanya akan dilahirkan kembali tujuh kali. Dengan mengumpulkan semangat baru sebagai akibat pandangan terang yang lebih dalam sehingga mencapai tingkat kesucian kedua, Sakadagami (hanya kembali sekali) dengan melemahkan dua belenggu kali, yaitu: keinginan indra (Kamaraga) dan i’tikad jahat (patigha). Ia disebut sakadagami karena ia hanya akan dilahirkan sekali lagi seandainya ia masih belum mencapai tingkat kesucian terakhir, Arahat.
Pada tingkat kesucian tertinggi inilah, anagami (tak pernah kembali), ia dapat menghancurkan dua belenggu yang disebutkan di atas. Setelah itu, ia tidak akan kembali ke dunia ini atau ke alam dewa. Karena ia tidak memiliki kesenangan-kesenagan indria lagi. Setelah meninggal dunia, ia terlahir kembali dalam “Alam Murni” (Suddavasa), suatu alam brahma yang menyenangkan.
Sekarang dengan keberhasilan usahanya yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka ia mengushakan kemajuannya yang paling akhir dan menghancurkan sisa belenggu batin seperti, keinginan akan kelahiran kembali dalam alam-alam bentuk (rupa raga) dan alam-alam tak berbentuk (arupa-raga), kesombongan (mana), kegelisahan (unddhacca), kebodohan (avijja), dan menjadi seorang suci yang sempurna (Arahat).
Dengan segera ia menyadari bahwa apa yang harus dikerjakan telah dikerjakan, bahkan berat penderitaan telah diletakkan, semua bentuk kemelekatan telah dihancurkan, dan jalan ke Nibbana telah ditempuh. Beliau Yang Mulia sekarang berdiri di atas ketinggian yang melebihi surga kediaman para dewa, jauh dari gejolak-gejolak nafsu dan kekotoran dunia, menikmati kebahagiaan Nibbana yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.[5]


4. Penutup

4.1 Kesimpulan
Dengan kita bersama mempelajari tentang nibba ini semoga kita biasa mendidikasikan nibbana didalam diri kita sehingga kita biasa merealisasikan nibbana.

4. 2 Saran

Untuk merealisasikan nibbana mari kita bersama – sama melakukan perbuaatan bajik semasa kita masih hidup,mari kita menabung kebajikan-kebajikan demi merealisasikan nibbbana.

Ucapan Terima Kasih
Secara khusu saya ucapkan terimaksih kepada Dosen pengampu saya sudah mau menerima ARTIKEL yang buat...





 DAFTAR PUSTAKA
1. Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha), h-154-158
2. Mukti Ali (agama-agama dunia), h-116.
3. Rampaian Dhamma, panjika ( dpp Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha Indonesia ), jakarta pusat, 2000, h69.
4. Practical Buddhism warisan bhikkhu buddhadasa, Jesspeter koffman, thitikwan liamsiriwattana,  direvisi oleh NoelBoivin, pustaka karaniya ke 131, cet-I, november 2007, h- 210.
5. Http://Www.semanggi-pahala.or.id/naskah-dhamma/nibbana/.












































Rabu, 15 April 2015

Tujuan Hidup Manusia

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Hidup tidaka hanya sekali. Adanya siklus lahir dan mati., bagaikan siang dan malam. Kematian bukanlah akahir, karena seketika itu pula berlanjut dengan kelahiran kembali. Melalui lahir dan mati dari alam yang satu kea lam yang lain, ataupun kembali ke alam yang sama,para makhluk menjalani lingkaran tumimbal lahir. Buddha mengatakan, “sesuai dengan karmanya mereka akan bertumimbal lahir dan dalam tumimbal lahirnya itu mereka akan menerima akibat dari perbuatannya sendiri. Karena itu aku menyatakan: semua makhluk adalah ahliwaras dari perbuatannya sendiri.” (A. V , 291).
Manusia terdiri dari kombinasi antara jasmani dan batin (nama rupa). Dalam bahasa pali, badan jasmani oleh sang Buddha disebut dengan rupa, batin disebut nama. Rupa dan nama terdiri dari kelompok kehidupan yang disebut pancakkhanda, yaitu: rupa, vedana, sanna, sankhara, dan vinnana. Rupa merupakan sesuatu yang berbentuk yaitu badan jasmani dari ujung rambut sampai ujung jari kaki. Vedana adalah perasaan. Sanna adalah kepercayaan, pengalaman dan ingatan. Sankhara adalah bentuk-bentuk pikiran. Vinnana adalah kesadaran. Hubungan antara jasmani dan batin bagaikan hubungan erat antara bunga dan bau. Jasmani sebagai bunga dan batin sebagai bau. Jasmani dan batin tidak dapat dipisahkan oleh manusia biasa, hanya para arahat atau Buddha yang dapat memisahkan kedua hal tersebut. Kematian hanya merupakan pemisahan antara kedua hal ini, yang berlangsung hanya sesaat dan secara otomatis batin akan bergabung dengan jasmani yang baru dalam kelahiran berikutnya.





B.     Rumusan Masalah
1.      Apa tujuan hidup manusia?
2.      Mengapa agama itu perlu?
3.      Bagaimana cara mencari tujuan hidup?
4.      Apa yang dimaksud dengan penyadaran atau pencerahan?
5.      Apa yang dimaksud dengan jalan menuju pencerahan?
6.      Bagaimana ajaran agama Buddha di masyarakat luas?

C.    Tujuan

1.      Memahami dan mengkaji tujuan hidup manusia
2.      Memahami perlunya suatu agama
3.      Mengetahui tentang mencari tujuan hidup
4.      Mengetahui dan memahami arti penyadaran/perncerahan
5.      Mengetahui dan memahami jalan menuju pencerahan
6.      Memahami dan mengkaji ajaran agama Buddha bagi masyarakat luas















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tujuan Hidup Manusia
Tujuan hidup adalah untuk mencapai akhir penderitaan atau ketidakpuasan. Tujuan hidup manusia, selain untuk melangsungkan keturunan dan memperoleh kemajuan hidup, maka yang terpenting adalah untuk mencapai tujuan akhir yakni Nibbana, yaitu suatu keadaan seperti yang diajarkan oleh sang Buddha, serta suatu keadaan yang pasti setelah melenyapkan keinginan-keinginan. Nibbana adalah padamnya keinginan, ikatan-ikatan, nafsu-nafsu, dan kotoran-kotoran batin.
Nibbana adalah kensunyataan abadi, tidak dilahirkan (na uppado pannayati), tidak termusnakan (na vayopannayati), ada dan tidak berubah (na thitassa annathattan pannayati). Nibbana disebut Asankhata Dhamma, yang sulit dibabarkan yang bagaimana keadaan gelap yang hanya dapat dialami jika dhukka telah disadari. Bagi umat Buddha, nibbana adalah cita-cita atau tujuan hidup yang kelak akan dicapai, entah dalam kehidupan sekarang maupun pada kehidupan yang akan datang yang diperlukan hanyalah tekad yang kuat (Adhittana) untuk mengikuti jalan yang telah ditunjukan oleh guru kita, Sang Buddha Gotama.
Nibbana adalah tujuan akhir umat Buddha juga suatu keadaan  yang pasti setelah keinginan lenyap. Nibbana adalah batin yang bersih dari dosa (ketidak senangan), lobha (keserakahan), dan moha (kebodohan). Dalam Cattari Ariya Saccani, nibbana diartikan sebagai “ dukkha-nirodha” yaitu lenyapnya dukkha, yang juga diartikan sebagai lenyapnya penyebab dukkha yakni “ tanha”. Tanha muncul karena adanya avijja (kebodohan). Karena tanha lenyap, maka avijjapun lenyap. Seseorang yang telah menlenyapkan semua kekotoran batin disisebut telah mencapai kilesa nibbana. (Virana.Ensiklopedia Buddha Dhamma).
Ingat bahwa tujuan utama umat Buddha adalah mencapai kemurnian dan pencerahan. Pencerahan menundukan ketidaktahuan yang merupakan akar kelahiran dan kematian. Bagaimanapun, penundukan ketidaktahuan ini tidak dapat dicapai kecuali dengan latihan kepercayaan diri sesorang. Semua usaha lain khususnya usaha intelektual semata tidaklah efektif. Inilah sebabnya sang Buddha menyimpulkan, “pertanyaan (metafisik)  ini tidak membawa manfaat; hal ini tidak berhubungan dengan dharma; hal ini tidak menuju pada perbuatan benar, atau ketidakmelekatan, atau pemurnian dari nafsu, atau kesunyian, atau menuju hati yang tenang, atau pengetahuan sejati, atau padangan yang lebih tinggi, atau Nibbana.” (malunkyaputta sutta-majjhima Nikaya).

B.     Perlunya Suatu Agama

Menurut Encyclopaedia of Buddhism, kata “agama” berasal dari a-gam yang artinya “datang” atau “tiba”, maksudnya mendekat, menemui, sumber, doktrin dan pengetahuan tradisional, khususnya dipakai untuk menujuk kepada kitab suci. Balakangan “agama”  diartikan sebagai apa yang diwariskan oleh para guru secara turun-temurun, berupa sabda, ajaran, aturan, riwayat dan sebagainya. Kata “agama” juga dipergunakan oleh golongan agama lain di india, misalnya Jaina dan berbagai aliran Hindu.
Dalam bahasa Indonesia sekarang, kata agama merupakan padanagan atau terjemahan dari kata religion (inggris) dan ad-din (arab). Menurut kamus besar bahasa Indonesia, agama berarti: kepercayaan kepada tuhan (dewa, dan sebagainya) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.(Krishnanda Wijaya-Mukti).
Kepercayaan bukanlah agama, bila hanya merupakan komponen dari suatu agama atau religi. Tetapi aliran kepercayaan atau gerakan kebatinan di luar agama tertentu dan apa yang dinamakan agama asli, agama etnis atau agama suku, dapat dianggap sebagai salah satu bentuk religi.
Dalam perspektif Buddhis, kepercayaan dan upacara saja tidak cukup; sebagai salah satu kreteria agama, yang penting adalah nilai-nilai moral. Berdasarkan pengertian yang benar, menurut Buddha ada nilai dalam amal, “pengorbanan dan persembahan; ada ganjaran atas perbuatan baik atau perbuatan jahat; ada dunia ini, dan ada pula dunia setelah kematian; ada kewajiban-kewajiban moral, termaksud berbakti kepada ibu dan ayah; ada guru-guru setelah melaksanakan sendiri hidup yang baik, mewartakan pengetahuan tertinggi dan pemahaman pribadinya mengenai hakikat dunia ini dan dunia seberang.” (M.III, 72).
Agama adalah wujud perjuangan manusia, agama merupakan kekuatan terbersarnya menuntunya menuju penyadaran diri agama memiliki kekuatan untuk mengubah seseorang dengan sifat negatif menjadi seseorang dengan sifat positif. Agama mengubah orang yang tidak mulia menjadi mulia, orang egois jadi tidak egois, orang sombong jadi rendah hati, orang angkuh jadi sabar, orang tamak jadi murah hati, orang kejam jadi baik, orang subjektif jadi objektif. Setiapa agama mewakili, bagaimanapun tidak sempurnanya, suatu pencapaian ketingkat mahluk yang lebih tinggi. Sejak awal, agama menjadi sumber artistik dan inspirasi budaya manusia. Walaupun berbagai bentuk agama timbul dalam sejarah, beberapa hanya lewat dan dilupakan, setiap agama dlam masanya telah menyumbangkan sesuatu terhadap kemajuan manusia. Kristen membantu peradaban barat, dan melemahnya pengaruh Kristen telah menandai turunnya semangat orang barat. Ajaran Buddha, yang menbudayakan sebagian besar wilayah timur jahu hari sebelumnya, masih merupakan sesuatu kekuatan vital, dan dalam masa pengetahuan ilmiah ini cenderung berkembang dan memperkuat pengaruhnya. Ajaran Buddha dalam sudut apapun, tidak bertentangan dengan pengetahuan modern, tetapi mencakup dan melampaui semuanya dalam cara yang tidak pernah dilakukan oleh sistem pemikiran lain, sebelum dan sesudahnya. Orang barat berjuang menaklukan alam semesta untuk tujuan material. Ajaran Buddha dan filosofi timur berjuang untuk mencapai keselarasan dengan alam atau meningkatkan kepuasan spiritual.
Agama mengajarkan seseorang bagaimana cara menenangkan indera serta membuat hati dan pikiran damai. Rahasia penenangan idera adalah dengan melenyapkan nafsu yang merupakan akar pengganggu. Sangat penting bagi kita untuk memiliki kepuasan. Semakin orang bernafsu akan kepemilikikannya, orang akan semakin menderita. Kepemilikan tidak memberikan  kebahagiaan sejati bagi manusia. Kebanyakan orang kaya di dunia saat ini menderita sejumlah masalah fisik dan mental. Dengan semua unag yang mereka miliki, mereka tidak dapat membeli solusi bagi masalah mereka. Tetapi, orang termiskin yang telah belajar untuk memiliki kepuasan dapat lebih menikmati hidup dari pada orang terkaya. Seperti yang dikatakan suatu sajak :
“beberapa orang memiliki terlalu banyak, tetapi tetap bernafsu : saya memiliki sedikit dan tidak lagi mencari : mereka miskin sekalipun banyak yang mereka miliki : dan saya kaya dengan sedikit perbekalan : mereka miskin, saya kaya : mereka meminta, saya memberi : mereka kekurangan, mereka merana, saya hidup.” (Sri Dhammananda)

C.    Mencari Tujuan Hidup

Tujuan hidup setiap orang berbeda. Seorang Seniman mungkin berjuang untuk melukis mahakarya yang akan bertahan lama setelah ia tiada. Seorang ilmuan mungkin ingin menemukan suatu fenomena, memformulasikan suatu teori baru, atau menemukan mesin baru. Seorang politikus mungkin ingin menjadi perdana mentri atau presiden. Seorang eksekutif muda mungkin bertujuan untuk menjadi direktur perusahaan multi nasional. Bagaimanapun, jika anda bertanya pada seniman, ilmuan, pilitikus, dan eksekutif muda itu mengapa mereka bertujuan semacam itu, mereka akan menjawab bahwa pretasi tersebut akan memberi mereka suatu tujuan dalam hidup dan membuat mereka bahagia. Tetapi akan kah pencapaian ini membawa kebahagia abadi? Semua orang bertujuan untuk kebahagiaan dalam hidup, tetapi dalam prosesnya mereka malah lebih menderita. Nilai kehidupan bukan terletak pada panjangannya hari tetapi pada jarak kita memanfaatkan hidup. Orang mungkin hidup panjang tanpa melakukan pelayanan apapun kepada sesama, hidup semacam ini tidaklah bernilai. (Sri Dhammananda).

D.    Penyadaran/Pencerahan

Sekali kita menyadari sifat kehidupan (ditandai dengan perubahan, ketidakpuasan, dan tiadanya ego) serta sifat ketamakan dan cara pemuasannya, kita akan dapat memahami mengapa kebahagiaan yang sangat ingin dicari oleh banyak orang itu sungguh sulit diraih, ibarat sulitnya menggenggam sinar rembulan. Mereka mencoba meraih kebahagiaan melalui pengumpulan. Ketika mereka tidak sukses dalam pengumpulan kekayaan, peroleh posisi, kekuasaan dan kebahagiaan, dan mendapatkan kesenangan dari pemuasan indera, mereka akan merana dan menderita. Iri pada orang lain yang sukses melakukan hal itu. Sekalipun jika mereka ‘sukses’ dalam mencapai hal-hal tersebut, mereka tetap saja menderita karena mereka kemudian takut kehilangan apa yang telah diperoleh, atau keinginan mereka sekarang telah meningkat untuk lebih kaya, posisi yang lebih tinggi, lebih berkuasa, dan kesenangan yang lebih besar. Keinginan mereka tidak dapat dikenyangkan sepenuhnya.inilah sebabnya pemahaman hidup itu penting agar kita tidak membuang waktu terlalu banyak melakukan hal yang tidak mungkin.
Disinilah pemelukan suatu agama menjadi penting, karena hal ini mendorong kepuasan dan mendorong orang untuk melihat lebih dari sekedar kebutuhan daging dan egonya. Dalam suatu agama seperti agama Buddha, kita diingatkan bahwa kita adalah ahli waris kamma dan tuan nasib kita sendiri. Untuk memperoleh kebahagian yang lebih besar, kita harus siap untuk meninggalkan kesenangan jangka pendek. Jika seseorang tidak percaya tentang kehidupan setelah kematian, bahkan cukup baginya untuk menjalani hidup yang lebih baik dan mulia di bumi, menikmati hidup damai dan bahagia disini dan sekarang. Juga melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi kebahagian orang lain. Menjalani hidup yang positif dan bermanfaat semacam itu di bumi dan menciptakan kebahagian bagi diri sendiri dan orang lain adalah jauh lebih baik daripada hidup egois dengan mencoba memuaskan ego dan ketamakan sendiri. Jika kita tidak tahu bagaimana cara hidup sesuai harapan orang lain, bagaimana kita dapat mengaharapkan orang lain untuk hidup sesuai dengan harapan kita.
Jika seseorang percaya akan kehidupan setelah kematian, maka menurut hukum kamma, tumimbal lahir akan terjadi sesuai dengan kualittas perbuatanya. Orang yang telah melakukan banyak perbuatan baik mungkin terlahir dalam kondisi yang menyenangkan di mana mereka ia menikamati kekayaan dan kesuksesan, kecantiakan dan kekuatan, kesehatan yang baik, dan bertemu teman dan guru spiritual yang baik. Perbuatan yang bermanfaat dapat juga menuntun pada tumimbal lahir di surga dan keadaan luhur lainnya, sedangakan perbuatan yang tak bermanfaat menuntun pada tumimbal lahir dalam keadaan menderita. Jika seseorang memahami kamma. Ia akan menahan diri dari perbuatan buruk dan coba mengembangakan kebaikan. Dengan berbuat demikian, ia memperoleh keuntungan bukan hanya dalam hidup saat ini, tetapi juga dalam banyak kehidupan mendatang.
Saat seseorang memahami sifat manusia. Maka timbul beberapa penyadaran yang penting. Ia menyadari bahwa tidak seperti batu atau karang. Manusia memilki potensi bawaan lahir untuk tumbuh dalam kebijaksanaan. Belas kasih,kesadaran dan di ubahkan oleh perkembangan dan pertumbuhan hidup ini .Ia juga memahami bahwa tidak mudah untuk terlahirkan sebagai manusia.khususnya manusia yang memiliki kesempatan untuk  mendengarkan dhamma. Sebagai tambahan, Ia sepenuhnya sadar bahwa hidupnya tidak abadi dan karena itu, Ia mempraktikan dhamma selama masih dalam posisi yang memungkinkan untuk berbuat itu. Ia menyadari bahwa praktik dhamma adalah suatu proses pendidikan seumur hidup yang memungkinkannya untuk membebaskan potensi sejati yang terperangkap dalam pikirannya oleh kegelapan batin dan ketamakan. Untuk mengalami kesenangan duniawi harus ada objek eksternal atau rekan, tetapi tidak mencapai kebahagiaan batin tidak di perlukan objek eksternal.
Berdasarkan pada penyadaran dan pemahaman ini, ia kemudian akan mencoba untuk lebih sadar akan apa dan bagaimana ia perpikir, berucap dan berbuat. Ia akan mempertimbangkan apakah pikiran, ucapan dan tindakannya berguna, di lakukan dari welas asih dan memiliki dampak yang baik bagi dirinya sendiri serta orang lain. Ia akan menyadari nilai sejati dan menapaki jalan yang menuju pengubahan diri sempurna, yang di kenal oleh umat Buddha sebagai jalan Ariya beruas delapan. Jalan ini dapat membantu seseorang mengembangkan kekuatan moralnya (Sila) memalui penahanan perbuatan negatif dan perkembangan sifat positif yang mendukung pertumbuhan pribadi, mental dan spiritual. Sebagai tambahan, jalan ini mengandung jalan teknik yang dapat di terapkan seseorang untuk memurnikan pikiran, memperluas kemungkinan pikiran, dan membawa perubahan sempurna menuju kepribadian yang bermanfaat. Praktik mengembangkan mental (bhavana) ini dapat memperluas dan memperdalam pikiran untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik sifat dan karakteristik fenomena,  kehidupan dan alam semesta. Singkat kata, hal ini mengarah pada pengembangan kebijaksanaan (panna). Saat kebijaksanaanya tumbuh, demikian juga cinta, belas kasih, kebajikan, dan kegembiraannya. Ia akan memiliki kesadaran yang lebih besar terhadap semua bentuk kehiduapan dan pemahaman yang lebih baik akan pikiran, perasaan dan motivasinya sendiri.
Dalam proses perubahan diri, orang tidak lagi bercita-cita untuk suatu kelahiran kembali dengan tujuan akhir dalam hidup. Ia kemudian akan menetapkan tujuan yang jauh lebih tinggi, dan mengikuti jejak Sang Buddha yang telak mencapai puncak kesempurnaan manusia dan mencapai tingkat yang tak terkatakan yang kita sebut pencerahan atau Nibbana. Di sinilah umat Buddha mengembangkan kepercayaan diri yang besar dalam tiratana dan menerima Sang Buddha sebagai panutan spiritual. Umat Buddha akan berjuang untuk membasmi ketamakan, mengembangkan kebijaksanaan dan belas kasih, dan untuk sepenuhnya terbebas dari belenggu samsara. (Sri Dhammananda).
Pencerahan adalah pemgalaman rohani yang dalam seketika menyadarkan dan menyempurnakan hidup seseorang yang mengalaminya. Penyempurnaan yang dimaksud  terkait dengan kebijaksanaan dan kesucian, yang membuatnya terbebas dari samsara. Mereka yang mengalami pencerahan menyadari hakikat diri sendiri serta dunia yang kosong dan sementara. Sekalipun Buddha dan Bodhisattwa mungkin mengambil bentuk manusia, mereka tidak terkait pada apa yang dinamakan diri.
Dalam agama Buddha pencerahan adalah suatu realisasi atau pengcapaian aktivitas. Bukan secara ilham, mimpi, atau wahyu. Manusia mendapatkan pencerahan bukan karena adanya kekuatan yang datang dari luar dirinya, tetapi dibangunkan dari kesadaran dirinya sendiri sebagai manusia. Walaupun pencerahan debedakan atas sravaka-bodhi, prateyaka-Bodhi, Samyak-Sambodhi, pada dasarnya ketiga macam pencerahan itu berada dalam jalan yang sama.
Pencerahan dapat dipandang sebagai pembebasan dari khayalak yang menyesatkan. Pada dasarnya kita semua memiliki apa yang disebut  pencerahan, tetapi terhalangi oleh khayalan seperti halnya matahari yang tertutup awan. Itulah sebabnya pencerahan bukan suatu prestasi dalam arti mendapatkan sesuatu yang baru. Ketika terjadi pencerahan kita hanya terbebaskan dengan menyingkirkan awan-awan menutupi.
Pencerahan yang diungkapkan oleh Kitab Suci merupakan pencapaian kebijaksanaan dan kesucian. Pencapaian terjadi krena penembusan (pativedha), yang dibedakan dalam empat katagori berdasarkan tingkat kesucian. Tingkat kesucian pertama sotapatti; kedua sadakagama; ketiga anagami dan keempat, yang tertinggi, arahatta. Ukuran kesucian adalah sejauh mana kesepuluh belenggu (samyojana) yang membuat sesorang terkait pada kelahiran kembali, dihancurkan. Penembusan dapat dialami oleh laki-laki atau peerempuan, tua atau muda.
Pencerahan adalah menyingkirkan ketidaktahuan; merupakan cita-cita hidup umat Buddha. Kita sekarang dapat meliahat dengan jelas bahwa pencerahan bukanlah aksi intelektualitas semata. Spekulasi semata tidak menolong sesorang untuk mendekati kenyataan hidup. Inilah sebabnya sang Buddha memberikan penekanan utama pada pengalaman pribadi. Meditasi merupakan sistem ilmiah praktis untuk menguji kebenaran yang datang dari pengalaman pribadi. (Krishnanda Wijaya-Mukti).

E.     Jalan Menuju Pencerahan

Jalan menuju pencerehan hingga tercapainya nibbana adalah jalan tengah, jalan mulia berunsur delepan. Menurut urutan pengembangannya, terdapat tahapan, dimulai dari unsur-unsur sila, lalu berikutnya samadi dan kebijaksanaan. Pada dasarnya unsur yang satu terkait dengan yang lain, karena sila, samadi dan kebijaksaan merupakan satu jalan yang tunggal.
Sang Buddha menghampiri mereka, seraya berkata, “Para bhikkhu, jalan yang kalian bicarakan adalah keadaan di luar diri kalian. Seorang bhikkhu seharusnya hanya terpusat pada ‘jalan utama’ (jalan Ariya) dan berusaha keras berbuat sesuai dengan ‘Jalan Ariya’ yang membimbing kita merealisasi kedamaian abadi (nibbana).”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 273 sampai dengan 276 berikut ini :
Di antara semua jalan,
maka ‘Jalan Mulia Berfaktor Delapan’ adalah yang terbaik;
di antara semua kebenaran,
maka ‘Empat Kebenaran Mulia’ adalah yang terbaik.
Di antara semua keadaan,
maka keadaan tanpa nafsu adalah yang terbaik;
dan di antara semua makhluk hidup,
maka orang yang ‘melihat’ adalah yang terbaik.

Inilah satu-satunya ‘Jalan’.
Tidak ada jalan lain
yang dapat membawa pada kemurnian pandangan.
Ikutilah jalan ini,
yang dapat mengalahkan Mara (penggoda).

Dengan mengikuti ‘Jalan’ ini,
engkau dapat mengakhiri penderitaan.
Dan jalan ini pula
yang Kutunjukkan setelah Aku mengetahui
bagaimana cara mencabut duri-duri (kekotoran batin).

Engkau sendirilah yang harus berusaha,
para Tathagata hanya menunjukkan ‘Jalan’.
Mereka yang tekun bersemadi dan memasuki ‘Jalan’ ini
akan terbebas dari belenggu Mara.

Kelima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

(Sutta Pitaka-Khuddaka Nikaya-Dhammapada Atthakatha(273,274,275,276)
Jalan Mulia Beruas delapan (Ariya Atthangika Magga):
1.      Pandangan Benar (Samma Ditthi)
2.      Pikiran Benar (Samma Sankappa)
3.      Ucapan Benar (Samma Vaca)
4.      Perbuatan Benar (Samma Kammanta)
5.      Penghidupan Benar (Samma Ajiva)
6.      Usaha Benar (Samma Vayama)
7.      Perhatian Benar (Samma Sati)
8.      Konsentrasi Benar (Samma Samadhi)

a)                  Tujuh tingkat kesucian
Tingkat kesucian yang dicapai melalui meditasi terdiri dari :
1)   Kesucian sila (sila-visuddhi), mematuhi janji pelaksanaan sila, menjaga keenam pintu indera, mempertahankan kehidupan yang benar, menggunakan keperluan hidup dengan bijaksana.
2)      Kesucian pikiran (citta-visuddhi), baik melalui jalan ketenangan atau jalan pandangan terang, mencapai konsentrasi.
3)      Kesucian pandangan (ditthi-visuddhi), munculnya pengertian langsung mengenai batin dan jasmani, menandai saat permulaan lepas dari pandangan yang spekulatif, terutama padangan mengenai diri.
4)      Kesucian pandangan terang yang mengatasi keragu-raguan (kankhavitarana-visuddhi), mampu menentukan sifat-sifat dari timbul dan tenggelamnya agrigrat kehidupan (batin dan jasmani).
5)      Kesucian pandangan terang menyadari apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan (magga-amaggananadassana-visudddhi).
6)      Kesucian pandangan terang mengetahui cara praktik (patipadananadassana-visuddhi).
7)      Kesucian pandangan terang (nanadassana-visuddhi), menunjukan pada sang jaln dan sang hasil.
Pada tingkat berikutnya tercapai kesucian kebijaksanaan (panna-visuddhi) dan kesucian kebebasan (vimutti-visuddhi).

b). Cara pencapaian
                  setiap orang memerlukan teori yang berfungsi sebagai peta yang membibingnya menempuh jalan yang benar. Ini merupakan aspek belajar teori (pariyatti). Berikutnya ia melakukan penyelidikan dengan mengikuti petunjuk peta. Ini yang dinamakan praktik (patipatti) dengan itu ia akan memperoleh hasil dari proses belajar yang dinamakan penembusan (pativedha) (AA.V,33).
                  Untuk mencapai pencerahan terdapat berbagai macam-macam latihan atau metode yang dikembangkan oleh berbagai sekte. Pada dasarnya semua bentuk pelatihan itu tak lain dari meditasi. Pembacaan berulang-ulang sutta atau mantra atau nama Buddha pun merupakan sejenis meditasi.
            Dalam tradisi Zen, untuk mendapatkan satori praktiksi sebagai subjek melihat objek dengan masuk kedalam objek sendiri. Aku dalam diri telah hilang. Tidak seperti aliran soto yang menekankan za-zen, aliran Rinzai juga mengembangkan tehnik koan dan mondo. Koan (masalah umum) adalah bentuk tanya jawab yang mengesankan bagai teka-teki tidak logis, membuat orang mengalami batas-batas kemampuan intelek. Mencari jawaban atas pertanyaan koan dilakukan dengan za-zen. Mondo adalah dialok antara guru dengan murid yang berlangsung pendek berfungsi menunjuk ada dan tidaknya pengalaman satori. Pencapaian kebebasan (vimutti) dibedakan atas :
1)      Melalui kekuatan batin (ceto-vimutti).
2)      Melaui kekuatan kebijaksanaan (panna-vimutti).
Yang pertama dicapai oleh mereka yang mengembangkan pandangan terang setelah mencapai jhana: dengan itu terbebas dari ikatan hawa nafsu. Yang kedua langsung melalui padangan terang : dengan itu terbebas dari kebodohan (A.1.60).
Pada kebijaksaan yang timbul melalui pikiran atau perenungan (cintamaya) : ada yang timbul melaui pendengeran, mendengar khotbah atau pelajaran dari orang lain (sutamaya) : adapula timbul melalui pengembangan batin (bhavanamaya) (D.III. 209).
Pemusatan pikiran dapat timbul secara alamnya atau sebagai hasil dari latihan-latihan tertentu hasil terakhir dari kedua cara tersebut adalah sama, yaitu pikiran akan terpusat dan siap digunakan untuk melakukan intropeksi. Terdapat sejumlah bhikkhu yang berhasil menjadi arahat setelah mendengarkan khotbah Buddha. Contoh : kelima petapa murid Buddha yang pertama setelah mendengarkan babaran anattalakkagana-sutta tentang tiadanya suntansi inti atau tanpa aku (vin.1,14) atau seribu bhikkhu yang mendengar adittapariyaya-sutta) atau khotbah Api (vin.1,35). Suppabuddha seprang penderita kusta mencapai tingkat kesucia sotapatti ketika mendengarkan khotbah dengan penuh perhatian (DhpA. 66). (Krishnanda Wijaya-Mukti)

F.     Ajaran Agama Buddha Bagi Masyarakat Luas

Ajaran Buddha dewasa ini tetap merupakan kekuatan besar peradaban dalam dunia modern. Sebagai suatu kekuatan peradaban, ajaran Buddha membangun kehormatan dan rasa tanggung jawab dari banyak orang dan membangkitkan semangat bangsa. Ajaran Buddha mendorong kemajuan spiritual dengan menarik daya pikir umat manusia. Ajaran Buddha meningkatkan rasa toleransi dalam diri orang dengan tetap terbebas dari kesempitan dan fanatisme agama dan bangsa. Ajaran Buddha memenangkan dan menjernihkan pikiran para warga Negara. Singkatnya, ajaran Buddha menumbuhkan  rasa percaya diri dengan mengajarkan bahwa seluruh nasib manusia ada dalam tangan kita sendiri, dan bahwa diri kita sendiri memiliki kemampuan untuk mengembangkan kekuatan dan penglihatan untuk mencapai tujuan tertinggi.
Salama lebih dari dua ribu tahun ajaran Buddha telah memuaskan kebutuhan spiritual hampir seperlima jumlah manusia. Ajaran Buddha tetap berada di antara sumber spiritual terkaya karena ajaran ini mengangkat upaya manusia ke tingkat yang lebih tinggi, lebih dari sekedar pengajaran kebutuhan dan nafsu yang tak pernah terpuaskan. Karena keluasan cara pandangnya, buah dari visi sang Buddha adalah sesuatu yang lebih dari latihan atau atau penghiburan intelektual yang tak berguna. Ajaran Buddha tidak menyuguhkan spekulasi verbal dan argument demi dirinya sendiri.
Ajaran Buddha itu praktis, rasional, dan menawarkan pandangan yang realistis tentang kehidupan dan dunia. Ajaran Buddha tidak memikat orang untuk hidup dalam surga yang konyol ataupun menakut-nakuti dan membuat orang menderita dengan segala jenis khayalan ketakutan dan perasaan bersalah. Ajaran Buddha juga tidak menciptakan kefanatikan agama untuk mengusik penganut agama lain. Sikap umat Buddha terhadap agama lain sungguh luar biasa. Alih-alih mengubah penganut agama lain menjadi ajaran Buddha, umat Buddha mampu mendorong mereka untuk mempraktikan agama mereka sendiri karena umat Buddha tidak pernah berfikir bahwa  penganut agama lain adalah orang buruk. Ajaran Buddha memberitahu kita secara tepat dan objektif apakah diri kita itu dan apakah dunia di sekitar itu, dan menunjukan kita jalan menuju kebebasan, kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan sempurna.
Jika umat manusia saat ini dijauhkan dari tindakan yang bertentangan dengan standar moral yang diajarkan agama. Ajaran Buddha adalah sarana yang paling efektif. Ajaran Buddha adalah agama kemanusiaan, yang penemunya adalah seorang manusia yang tidak mencari pengungkapan atau campur tangan ilahi dalam pembentukan ajaran-Nya. Pada masa dimana orang bergembira dengan keberhasilan mengendalikan dunia materi. Manusia mungkin akan meninjau balik pengendalian fenomena tersulit, yaitu diri sendiri. Dalam tugas inilah, manusia modern akan menemukan ajaran Buddha sebagai jawaban untuk berbagai masalah dan keraguannya. (Sri Dhammananda).
Ajaran Buddha dalah jalan hidup yang benar untuk kedamaian dan kebahagiaan semua mahluk hidup. Ajaran Buddha merupakan suatu metode untuk lepas dari kesengsaraan dan menemukan pembebasan. Ajaran Buddha tidak terbatas pada satu bangsa atau ras. Ajaran Buddha ini juga bukanlah syahadar atau iman semesta. Ini adalah ajaran untuk seluruh alam semesta. Ini adalah ajaran untuk sepajang masa. Tujuannya adalah pelayanan yang tidak egois, niat baik, kedamaian, keselamatan, dan pembebasan dari penderitaan.
Ajaran Buddha mengandung kebijaksanaan praktis yang tidak dapat dibatasi pada teori atau filosofi kerena filosofi terutama berhubungan dengan pengetahuan tetapi tidak peduli dengan penerjemahan pengetahuan dalam praktik sehari-hari.
Ajaran Buddha menarik bagi bangsa Barat karena ajaran Buddha tidak memiliki dogma dan memuaskan hati maupun pikiran. Ajaran Buddha berteguh pada keyakinan diri digabung dengan toleransi terhadap orang lain. Ajaran Buddha mencakup penemuan ilmiah modern jika di tujukan untuk hal yang membangaun. Ajaran Buddha menunjuk manusia sendiri sebagai pencipta kehidupannya saat ini dan sebagai perancang tunggal nasibnya sendiri. Demikianlah sifat ajaran Buddha. Inilah sebabnya mengapa banyak pemikiran modern yang bukan umat Buddha menggambarkan ajaran Buddha sebagai suatu agama kebebasan dan akal budi.
Ajaran buddah sebagai suatu agama talah melayani harapan dan cita-cita manusia dengan baik; telah membantu perkembanagan mahluk social dengan jalan hidup yang patut dihargai dan semangat kebersamaan yang ditandai dengan usaha keras menuju kedamaian dan kebahagiaan. Ajaran Buddha telah menjadi lini depan kesejahteraan manusia.
Bahkan dalam politik ajaran Buddha tercatat dalam banayak peristiwa sebagai terobosan besar bagi keadilan, prosedur demokrasi, dan kehormatan nilai-nilai moral dasar. Ajaran Buddha telah memberikan cita rasa berbeda bagi budaya Timur. Ajaran Buddha telah memberikan perilaku etika dasar ke antara masayarakat yang menyerapnya dalam berbagai bentuk.
Memang potensi besar ajaran Buddha belum disadari sepenuhnya oleh kebanyakan orang yang telah menyerapnya sampai batas tertentu. Kapasitas ajaran Buddha untuk meningkatakan potensi individu dan umum telah dikalahkan oleh sumbangsih ajaran Buddha dalam bidang seni dan literature. Tetapi satu aspek ajaran Buddha yang tetap merupakan hal yang penting sepanjang sejarahnya adalah pada rasionalismenya. Akal budi, walaupun sering dilanggar, adalah sesuatu yang dimiliki manusia, untuk membuat manusia beradab, tak peduli betapa kaburnya hal itu dengan segi-segi sifat manusia lainnya seperti emosi. Ajaran Buddha akan terus mendesak menusia menjadi mahluk berakal budi, diatur oleh pikiran, tetapi juga member pertimbangan pada hati.
Sumbangsih sang Buddha terhadap kemajuan sosial dan spiritual umat manusia sangatlah lauar biasa bahwasanya pesan-Nya yang menyebar ke seluruh dunia mendapatkan kasih dan perhatian orang-orang dengan rasa hormat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Baik untuk diketahui bahwa ajaran Buddha tidak memilih orang dengan mengikuti mereka untuk mengubah mereka dengan janji-janji surga. Orang-oranglah yang memilih agama Buddha.
Ada beberapa orang yang percaya bahwa ajaran Buddha adalah sistem yang sangat luhur dan mulia sehingga tidak dapat dipraktikan oleh pria dan wanita biasa dalam dunia kerja saat ini. Mereka berfikir bahwa orang harus mengendurkan diri ke suatu vihara atau tempat sunyi jika ingin menjadi umat Buddha sejati.
Ini adalah kesalah pahaman yang menyedihkankan akibat kurangnya pemahaman jalan hidup umat Buddha. Orang pada kesimpulan semacam itu setelah menbaca atau mendengar sesuatu tentang ajaran Buddha secara sepintas. Beberapa orang membangun kesan mereka tentang ajaran Buddha setelah membaca artikel atau buku hanya memberi pandangan atau sebagian berat sebelah tentang ajaran Buddha. Pengarang artikel dan buku semacam itu hanya memiliki pemahaman yang terbatas tentang ajaran Buddha. Ajaran-Nya tidak dimaksudkan hanya untuk anggota sangha dan vihara. Ajaran itu juga untuk pria dan wanita biasa yang hidup di rumah bersama keluarga mereka. Jalan Ariya Beruas Delepan adalah jalan hidup Buddhis bagi semua orang. Jalan hidup ini ditawarkan bagi seluruh umat manusia tanpa perbedaan apapun. Ketika keempat aspek kehidupan, yaitu kehidupan keluarga, bisnis, sosial, dan spiritual diselaraskan secara memuaskan, kebahagiaan akan diperoleh.
Mayoritas orang di dunia tidak dapat menjadi bhikkhu atau mengundurkan diri kedalam gua atau hutan. Betapa pun mulia yang sucinya ajaran Buddha hal ini tidak berguna bagi khayalak jika mereka tidak dapat mengikutinya dalam dunia modern. Namun jika anda memahami semangat ajaran Buddha dengan benar, anda tentu dapat mengikuti dan mempraktikan sembari menjalani hidup sebagi orang biasa.
Mungkin ada sebagian orang yang merasa lebih muda dan nyaman untuk menjalani agama Buddha dalam hidup di tempat terpencil dengan kata lain, dengan menarik diri mereka dari masyarakat luas. Tetapi orang lain merasa bahwa jenis pengasingan semacam ini membosankan dan menekankan seluruh diri mereka, baik fisik maupun mental dan kerenanya hal ini mungkin tidak kunduksif bagi pengembangan hidup spiritual dan intelektualnya.
Pengasingan sejati bukan berarti melarikan diri secara fisik dari dunia. Sariputta murid utama sang Buddha, berkata bahwa seseorang dapat hidup dalam hutan mengabdikan diri pada praktik petapa, tetapi mungkin penuh dengan pikiran yang tidak murni dan cemaran. Orang lain mungkin hidup di sebuah desa atau kota, tidak mempraktikkan disiplin petapa, tetapi pikirannya murni dan bebas dari cemaran. “dari kedua orang ini,” kata sariputta, “orang yang menjalani hidup murni di desa atau kota tentunya jauh lebuh unggul dan mulia dari pada orang yang hidup di hutan. “(Majjhima Nikaya).
Kepercayaan umum bahwa untuk mengikuti ajaran budhha orang harus mengundurkan diri dari kehidupan keluarga normal adalah suatu kesalah pahaman. Hal ini benar-benar merupakan pertahanan yang tak disadari menentang praktiknya. Adalah sebuah rujukan dalam literatur buddhis bagi orang-orang yang menjalani kehidupan keluarga normal dan lumrah yang dengan sukses mempraktikan apa yang di ajarkan sang Buddha dan menyadari nibbana. Vacchagotta si pengembara, pernah bertanya pada sang Buddha secara langsung apakah ada orang awam yang menjalani hidup berkeluarga yang mengikuti ajarannya dengan sukses dan mencapai tingkat spiritual yang tinggi sang Buddha menyatakan bahwa ada banyak orang awam yang menjalani hidup berkeluarga yang telah mengikuti ajarannya dengan sukses dan mencapai tingkat spiritual yang tinggi.
Orang tertentu mungkin setuju unutk menjalani hidup pengasingan dalam tempat jauh dari kebisingan dan gangguan. Tetapi tentunya lebih patut dipuji dan brani jika mempraktikan ajaran Buddha dengan hidup diantara manusia biasa, membantu mereka yang mengeluarkan jasa pada mereka. Mungkin berguna dalam kasus tertentun jika seseorang hidup dalam pengasingan selama waktu tertentu untuk meningkatkan pikiran dan perangaiannya senang suatu awal dari pelatihan moral, spiritual, intelektual, agar menjadi cukup kuat untuk suatu saat keluar dan menolong orang lain. Tetapi jika seseorang menjalani seluruh hidupnya dalam pengasingan, hanya memikirkan kebahagian dan keselamatannya sendiri, tanpa peduli pada sesama, hal ini tentunya tidak sesuai dengan ajaran Buddha yang didasarkan pada cinta, belas kasih, dan pelayanan bagi orang lain.
Orang mungkin kuni bertanya, “jika seseorang bisa mengikuti ajaran Buddha dengan menjalani hidup sebagai orang biasa, mengapa sangha, persamuan bhikkhu didirikan oleh sang Buddha? .“ persamuan ini menyedikan kesempatan bagi mereka yang ingin mengabdikan hidup mereka buakan hanya untuk pengembangan spiritual dan intelektual mereka sendiri, tetapi juga untuk melayani orang lain. Seseorang umat awam dengan keluarga yang tidak dapat diharapakan untuk mengabdikan seluruh hidupnya untuk melayani orang lain, sedangkan seorang bhikkhu, yang tidak memiliki tanggung jawab keluarga atau ikatan duniawi lainnya. Berada dalam posisi lebih leluasa untuk mengabdikan hidupnya bagi kebaikan banyak orang (Dr.Walpola Rahula).
Dan apakah kebaikan yang dapat mengutungkan banyak orang ini? Bhikkhu tidak dapat memberi kenyamanan materi bagi orang awam, tetapi mereka dapat menyediakan bimbingan spiritual bagi mereka yang disulitkan oleh masalah duniawi, keluarga, emosional, dan sebagainya. Bhikkhu mengabdikan hidupnya untuk pengetahuan dhamma seperti yang diajarkan oleh sang Buddha.  Mereka menjelaskan ajaran itu dalam bentuk yang disederhanakan kepada orang awam yang tak terlatih. Dan jika orang awam ini terpelajar, mereka ada untuk mendiskusikan aspek yang lebih dalam dari ajaran itu sehingga keduanya mendapat sesuatu secara intelektual dari diskusi itu.
Di Negara-negara buddhis, sangha sangat bertanggung jawab untuk pendidikan generasi muda. Akibat sumbangsih mereka, Negara-negara buddhis memiliki populasi dengan angka litelasi tinggi dengan berpengetahuan baik dalam nilai-nilai spiritual. Sangha juaga memberikan pemahaman kepada mereka yang kehilangan dengan menjelaskan bahwa umat manusia adalah subjek gangguan yang sama.
Sebaliknya, umat awam diaharapkan memperhatikan kesejahteraan material sangha yang tidak mencari penghasilan bagi diri mereka diri untuk menyedikan makanan, tempat bernaung, obat, dan pakaian. Dalam praktis buddhis dalam umumnya, umat awam dianggap berjasa jika berperang dalam kesejahteraan sangha karena dengan demikian sangha untuk terus melayani kebutuhan masyarakat dan mengembangkan kemurnian mental mereka sendiri. (Narada).







BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Tujuan hidup adalah untuk mencapai akhir penderitaan atau ketidakpuasan. Tujuan hidup manusia, selain untuk melangsungkan keturunan dan memperoleh kemajuan hidup, maka yang terpenting adalah untuk mencapai tujuan akhir yakni Nibbana, yaitu suatu keadaan seperti yang diajarkan oleh sang Buddha, serta suatu keadaan yang pasti setelah melenyapkan keinginan-keinginan. Nibbana adalah padamnya keinginan, ikatan-ikatan, nafsu-nafsu, dan kotoran-kotoran batin.


B.       Saran
Untuk memahami tujuan hidup sebenarnya, kita disarankan untuk memilih dan mengikuti sistem etika-moral yang menahan kita dari perbuatan buruk, mendorong berbuat baik, dan memungkinkan pemurnian batin. Dengan agama sebagai tolak ukur, dalam pencapaian kesucian.





















DAFTAR PUSTAKA


Dhammananda, Sri. 2005. Keyakinan Umat Buddha. Jakarta : Ehipassiko Foundation.
Wijaya-Mukti, Krishnanda. 2006. Wacana Buddha Dharma. Jakarta : Yayasan Dharma    Pembangunan.

Narada, Ven. 1998. Sang Buddha dan Ajaran-ajaranNya. Bagian II. Jakarta : Yayasan Dhammadipa Arama.

Virana.2008. Keyakinan Umat Buddha (Menjadi Buddhis Sejati). Jakarta : Ensiklopedia Buddha Dhamma.