MAKALAH
PERBEDAAN
PANDANGAN VINAYA MAHAYANA DAN
THERAVADA
Dosen
Pengampu: Rapiadi Bhadra Purisa, S.Ag, MM, M. Pd. B
DISUSUN
OLEH:
ANDINI
EDY
PRAYOGA
SEKOLAH
TINGGI ILMU AGAMA BUDDHA
JINARAKKHITA
BANDAR
LAMPUNG
2015
KATA
PENGANTAR
Namo
Sanghyang Adi Buddhaya
Namo
Buddhaya
Penulis mengucapkann puji syukur kepada
Sanghyang Adi Buddha, para Buddha, Bodhisatva, Mahasatva yang telah melimpahkan
berkah dan perlindungan sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “
Perbedaan Pandangan Vinaya Mahayana dan Theravada” pada waktunya sebagai salah
satu tugas kelompok dalam Mata Kuliah Vinaya Tematik.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan baik disengaja maupun tidak
disengaja serta dalam penulisan yang ajuh dari kesempurnaan yang penulis
miliki. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang
bersifat membangun demi perkembangan makalah selanjutnya.
Tidak lupa penulis mengucapkan trima
kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi penulis pada khususnya dan para pembaca
pada umumnya, terutama bagi Mahasiswa-Mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Agama
Buddha (STIAB) Jinarakkhita Bandar Lampung.
Sadhu…Sadhu…Sadhu
Bandar
Lampung, 18 Maret 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
KATA
PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR
ISI ................................................................................................. iii
BAB
I PENDAHULUAN .............................................................................
A.
Latar Belakang ....................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah .................................................................................. 2
C.
Tujuan .................................................................................................... 2
D. Manfaat
.................................................................................................. 2
BAB
II PEMBAHASAN ..............................................................................
A.
Vinaya Mahayana .................................................................................. 3
B.
Vinaya Theravada .................................................................................. 3
BAB
III PENUTUP ......................................................................................
A.
Kesimpulan ............................................................................................ 14
B. Saran
...................................................................................................... 14
DAFTAR
PUSTAKA ...................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
a.
Pengertian vinaya
Vinaya
(etimologis) berarti aturan, tata tertibVinaya diartikan melenyapkan,
menghapus, memusnahkan, menghilangkan segala tingkah laku yang menghalangi
kemajuan dalam jalan pelaksanaan dhamma atau sesuatu yang membimbing keluar
(dari dukkha).Menurut Y.Abhadantacarya Buddhagosa Thera dalam
samantapasadika mengartikan istilah vinaya dalam tiga artian: yang pertama
disebut vinaya karena mempunyai arti yang bermacam-macam yaitu, patimokkhuddesa
lima macam, Apati tujuh kelompok, matika atau vibhanga, dan arti khususnya
adalah anupannati atau suatu ketetapan tambahan yang dapat memperketat
atau justru memperingan suatu tata tertib yang telah ditetapkan sebelumnya. Dan
yang ketiga vinaya dianggap sebagai suatu sarana untuk melatih serta
mengendalikan tindakan dan ucapan karena dapat mencegah serta mengahalangi
perbuatan jahat atau keteledoran yang keluar melalui tindakan dan ucapan.
b. Manfaat dan Sifat Vinaya
Sang Buddha menetapkan vinaya bagi para bhikkhu
berdasarkan 10 alasan, yaitu untuk:
1. Kebaikan
sangha (tanpa vinaya, eksistensi sangha tidak akan bertahan lama).
2. Kesejahteran
sangha (sehingga bhikkhu akan sedikit mendapat rintangan dan hidup damai).
3. Mengendalikan
para bhikkhu yang tidak teguh (yang dapat menimbulkan persoalan dalam sangha).
4. Kesejahteraan
bhikkhu yang berkelakuan baik (karena pengalaman sila dengan baik menyebabkan
kebahagian hidup sekarang ini).
5. Melindungi
diri atau melenyapkan kilesa yang telah ada (karena benyak kesulitan, dapat
diatasi dengan laku moral yang baik).
6. Mencegah
timbulnya kilesa yang baru (kilesa tidak akan timbul pada orang yang memiliki
sila yang baik).
7. Memuaskan
mereka yang belum puas dengan dhamma (karena orang yang belum mengenal dharma
akan puas dengan tingkah laku bhikkhu yang baik).
8. Menambah,
keyakinan mereka yang telah mendengar dharma (karena orang yang telah mendengar
dharma akan bertambah kuat keyakinannnya melihat bhikkhu yang baik).
9. Meneggakan
dharma yang benar (dharma bertahan lama bila vinaya dilaksanakan dengan baik
oleh bhikkhu).
10. Manfaat
vinaya itu sendiri ( vinaya dapat memberikan manfaat kepada mahluk-mahluk,
terbebas dari samsara).
Dalam kitab Anguttara Nikaya terdapat dua macam
lagi:
“ Untuk memperoleh sokongan garavasadan untuk
memusnahkan kelompok bhikkhu yang beritikad buruk”. Alasan pertama merupakan
hal yang penting untuk sangha dan kedua memperlihatkan bagaimana vinaya telah
melindungi sangha. Dharma telah terpelihara sampai sekarang berkat adanya
sangha; dan sangha ini terpelihara karena adanya vinaya yang ditaati. Jelaslah bahwa
vinaya memelihara dharma seumpama seutas benang mengikat bunga-bunga menjadi
satu, sehingga mudah dicerai- beraikan oleh angin.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
perbedaan vinaya Mahayana dan Theravada?
2. Apa
perbedaan vinaya Theravada dan Mahayana?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Dapat
memahami vinaya Mahayana
2. Dapat
memahami vinaya Theravada
3. Dapat
mengetahui letak perbedaan vinaya Mahayana dan Theravada
D.
Manfaat
Adapun manfaat dalam penulisan
makalah ini adalah dapat memberikan wawasan dan pemahaman kepada pembaca
mengenai Perbedaan Vinaya Mahayana dan Theravada. Semoga setelah membaca
makalah ini, dapat bermanfaat bagi pembacaanya dan bisa mengerti letak
perbedaannya sehingga tidak ada lagi pandangan yang salah mengenai vinaya
Mahayana dan Theravada. Karena Mahayana dan Theravada tujuanya sama mencapai
Nibanna.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Vinaya
Mahayana
Kitab-kitab
vinaya dalam ajaran Mahayana pada umumnya bersumber pada catuh vinaya, yaitu:
1.
Sarvastivada
vinaya (she Thung Lii) yang diterjemahkan ke dalam bahasa tiong hoa antara
tahun 404-406 m oleh punnyatara dan terdiri dari 61 chuan
2.
Dharmagupta
vinaya (She fen lii) yang diterjemahkan ke dalam bahasa tionghoa pada tahun 405
M oleh buddhajaya dan terdiri dari 60 chuan
3.
Mahasangika
vinaya (ta sheng ce lii) diterjemahkan ke dalam bahasa tionghoa pada tahun 405
M oleh Buddha bandra, kitab ini terdiri dari 60 chuan
4.
Mahasangika
vinaya (wu pu lu) diterjemahkan ke dalam bahasa tionghoa oleh buddhajiva pada
tahun 423 M. Kitab ini terdiri dari 30 chuan
Patimoka
Mahayana
1.
Parajika
(Pali: Patimokhha)
Parajika merupakan bagian pertama
dari Pratimoksa yang berisikan peraturan-peraturan bila dilanggar menyebabkan
pengusiran dari sangha. Kesalahan-kesalahan itu tidak dapat diampuni dengan
pengakuan dihadapan siding sangha ataupun dengan keetapan siding sagha
sekalipun.
Pelanggaran parajika seperti
sebatang jarum tanpa mata, batu pecah yang tak mungkin tersatukan lagi,
sebatang pohon terpotong dua yang tak akan tumbuh lagi, ataupun seperti seorang
mati. Dia telah sepenuhnya tergelincir dan menjadi suatu pembawa malu selama
masa hidupnya.
Ada empat kesalahan parajika.
Pelanggaran salah satu dari empat parajika merupakan kesalahan berayt dan
menyebabkan seorang bhikku gugur kebhikkhuannya dan tidak dapat dithabiskan
lagi menjadi bhikkhu.
Kesalahaan-kesalahaan itu adalah:
1. Abhrahmacariya:
melakukan hubungan kelamin
Seorang bhikkhu yang mengumbar diri dalam hubungan
kelamin dengan wanita ,laki-laki, atau binatang betina, telah melakukan
parajika.
2. Adattadanad:
Pencurian
Seorang bhikkhu yang secara salah mengambil barang
apapun seharga 5 Masaka telah melakukan parajika.
3. Vadha
Himsa): Membunuh
Seorang bhikkhu yang membunuh manusia, baik dengan
tangannya sendiri, ataupun petunjuknya, ataupun melalui hasratnya, atau
berkomplot dengan pembunuhan.
4. Uttara-manusyadharmapralapad:
pernyataan palsu
Seorang bhikkhu yang berbohong dan menyombongkan
telah mencapai tingkat kesucian atau kemampuan para normal yang sebenarnya tak
dimilikinya, dia telah melakukan parajika.
2.
Sanghavasesa(Pali:
Sanghadisesa
Sanghavasesa adalah bagian kedua
dari peraturan Pratimoksa yang terdiri dari 13 pasal dan merupakan kesalahan
menengah setelah Parajika. Kesalahan
Sanghavasesa mendekati pengusiran/ pengeluaran dari sangha, dan yang memerlukan
pengakuan dihadapan sangha dan pengampunan oleh siding sangha untuk membebaskan
dari pelanggaran yang telah diperbuatnya.
1. Seorang
bhikkhu dengan sengaja mengeluarkan air maninya racapan (masturbasi) dengan
apapun, kecuali diwaktu mimpi, telah melakukan kesalahan Sanghavasesa.
2. Seorang
bhikshu yang dengan birahi menyentuh bagian apapun dari tumbuh seorang wanita,
bahkan juga rambutnya, telah melakukan satu kesalahan Sanghavasesa.
3. Seorang
bhikshu yang melayani pikiran birahi berbicara dengan kata-kata yang dapat
menimbulkan birahi dengan seorang wanita, dia telah melakukan kesalahan
Sanghavasesa.
4. Seorang
bhikshu yang dikuasai oleh birahi dan meminta seorang wanita untuk melakukan
hubungan kelamin, dia telah melakukan Sanghavasesa.
5. Seorang
bhikshu bertindak selaku perantara, baik untuk perkawinan yang syah dan terbuka
maupun yang secara diam-diam dan sumbang, dia telah melakukan kesalahan
Sanghavasesa.
6. Seorang
bhikshu yang membangun kamar atau tempat tinggal untuk dirinya sendiri,
pertama-tama ia harus mendapat izin dari kepala vihara atau sangha. Kamar itu
harus dibangun harus sesuai dengan ukuran biasa, yaitu panjang 3 meter dan
lebar 1,75 meter. Jika gagal tidak mendapat ijin kepala vihara atau sangha yang
akan menunjukkan tempat untuk membangunnya, atau jika dia nmembangunnya lebih
dari ukuran yang tersebut, dia telah melakukan satu kesalahan Sanghavasesa.
7. Seorang
bhikshu diijinkan membangun kuti lebih dari ukuran tersebut dengan sokongan
seorang pengabdi, tetapi dia harus lebih dulu mendapat ijin kepala vihara atau
Sangha dan ditempat yang telah mereka tetapkan. Jika dia berbuat tidak sesuai dengan
demikian, maka dia melakukan kesalahan Sanghavasesa.
8. Jika
seorang bhikshu sewaktu marah terhadap bhikshu lain membuat tuduhan palsu
kesalahan Parajika terhadap Bhikshu itu, dan jika tuduhan palsu ini diketahui
oleh bhikshu itu, maka dia telah melakukan kesalahan Sanghavasesa.
9. Jika
seorang bhikshu memginginkan balas dendam terhadap bhikshu lain, memfitnah
bhikshu itu telah melakukan Parajika, dan jika fitnah ini diketahui oleh
bhikshu itu, dia telah melakukan satu kesalahan Sanghavasesa.
10. Jika
seororang bhikshu mencoba mengacaukan/ memecah belah Sangha,dan walaupun telah
tiga kali di nasehati oleh bhikshu-bhikshu lain, dia tetap meneruskan maksudnya
itu, dia telah melakukan satu kesalahan Sanghavasesa.
11. Jika
seorang bhikshu melindungi bhikshu yang telah berdaya memecah-belah Sangha, dan
walaupun bhikshu-bhikshu lainnya walaupun telah tiga kali menasehatinya dia
tetap menerusjan maksudnya itu, dia telah melakukan Sanghavasesa.
12. Jika
seorang bhikshu yang melanggar pratimoksa, berkelakuan seperti seorang
berkeluarga dan karenanya telah kehilangan penghargaan dari bhikshu-bhikshu
lain, dan mengeluh bahwa bhikshu-bhikshu lain itu salah mengerti terhadap
dirinya, bhikshu-bhikshu lainnya telah dua kali memperingatkannya namun tidak
di perhatikan dan setelah bhikshu-bhikshu lain memberinya peringatan untuk
ketiga kalinya dan memintanya memperbaiki kelakuannya, jika dia tetap tidak
menghiraukannya, ia telah melakukan kesalahan Sanghavasesa.
13. Jika
seorang bhikshu yang keras kepala, yang sukar untuk bergaul dengannya, oleh
karena sukar diajak bicara dan berkelakuan bertentangan dengan ajaran,
membantah teguran yang diberikan kepadanya, jika bhishu-bhikshu lainnya telah
dua kali peringatan, namun ia tidak merobah sikapnya yang tidak baik, dan
setelah diperingatkan untuk ketiga kalinya oleh bhikshu-bhikshu lainnya, ia
terus berkelakuan tidak patut, maka dia melakukan kesalahan Sanghavasesa.
Ksamayata
(pengaknan dan pengampunan) sebagai berikut:
1.
Bhikshu harus mengakui kesalahannya
dihadapan bhikshu yang jumblahnya tidak kurang dari 20. Jika tidak demikian,
kesasalahannya tidak dapat diampuni.
2.
Bhikshu harus melaksnakan Manatta
(istilah untuk penebusan), yaitu: duduk seorang diri ditempat tersendiri dan
melafalkan do’a pertobatan untuk meminta pengampunan selama 6 malam penuh.
Dua pasal diatas adalah upacara pengakuan biasa bagi
bhikshu yang telah melakukan Sanghavasesa. Untuk 9 pasal pertama seorang
bhikshu dikatakan melakukan kesalahan tepat pada saat melakukan pelanggaran.
Untuk 4 akhir seorang bhikshu dikatakan melakukan kesalahannya setelah tiga
peringatan. Jika seorang bhikshu gagal untuk mengakui kesalahannya dia dapat
diputuskan hubungannya dengan sangha (exkomunikasi).
3.
Aniyata
(pali: Aniyata)
Kata Aniyata dipahami sebagai
tindakan yang tidak jelas atau tidak dapat ditentukan pelangggaran mana yang
telah dilakukan dan memerlukan pemeriksaan yang lebih lanjut. Ada 2 kesalahan
Aniyata yaitu:
1. Seorang
bhikshu yang duduk berduaan dengan seorang wanita dalam suatu tempat yang
tertutup dan diduga mungkin telah melakukan kesalahan Parajika mau sanghavasesa
atau Naihsargik- prayascittika, telah melakukan Aniyata.
Jika dia mengakui bersalah dalam satu atata lain
jenis kesalahan, maka jenis hukuman yang akan dikenakan sesuai dengan jenis
kesalahan yang telah diperbuatnya.
2. Seorang
bhikshu yang duduk berduaan dengan seorang wanita disuatu tempat terbuka,
tetapi tidak kelihatan dan ternyata telah melakukan satu kesalahan asusila,
baik Sanghavasesa ataupun Naihsargika-prayacittika, dia melakukan satu
kesalahan Aniyata.
Dua kesalahan Aniyata ini adalah
antara Sanghavasesa dan Naihsargika-prayacittika dan kedua-keduanya itu adalah
kesalahan yang dapat ditentukan. Jika Bhikshu mengaku bersalah dalam satu jenis
kesalahan, maka hukuman akan dijatuhkan atas diriinya sesuai dengan jenis
kesalahannya.
Ksamayati
Seorang bhikshu yang melanggar
salah satu dari kesalahan-kesalahan ini dikatakan melakukan satu kesalahan
Aniyata. Akan tetapi kesalahan yang telah dilakukan tidak diketahui secara
pasti, tidak dapat ditentukan dengan jelas, dan tidak mempunyai sesuatu yang
penting dan pasti, oleh karena itu memerlukan pemeriksaan yang lebih mendalampada
siding sanngha.
4.
Naihsargika
Prayascittika (pali: Nissaggiya Pacittiya)
Ada 30 Peraturan
Naihsargika-prayascittika. Pelanggaran peraturan ini adalah kesalahan yang
ringan setelah kesalahan Aniyata. Peraturan-peraturan itu sebagai berikut:
1. Seorang
bhikshu boleh menyimpan pakaian yang berlebihan yang diberikan kepadanya selama
10 hari. Jika dia menyimpan lebih dari 10 hari, dia telah melakukan
Naihsargika-prayascittika.
2. Jika
seorang bhikshu tidur tanpa pakaian, bahkan hanya untuk 1 malam.kecuali bila
diumumkan oleh bhikshu-bhikshu atau sangha bahwa pikirannya kurang waras, dia
telah melakukan Naisharagika-prayascittika.
3. Seorang
bhikshu yang telah memperoleh sepotong kain yang tidak cukup untuk satu
pakaian, dengann harapan untuk mendapatkan tambahan kekurangannya, ia boleh
menyimpan kain itu selama satu bulan. Jika ia menyimpannya lewat dari jangka
waktu itu, dia telah melakukan. Naisharagika-prayascittika
4. Jika
seorang bhikshu menerima satu pakaian dari tangan seorang bhikshuni yang bukan keluarganya,
kecuali kalau dia menerimanya sebagai pertukaran sesuatu barang, dia telah
melakukan Naisharagika-prayascittika.
5. Jika
seorang bhikshu memberi perintah pada seorang bhikshuni yang bukan sanak
keluarganya, untuk menuci atau menngelap, aztau menggosok jubahnya, dia telah
melakukan Naisharagika-prayascittika.
6. Jika
seorang bhikshu meminta sehelai jubah dari seorang berkeluarga laki-laki atau
perempuan yang bukan sanak- keluarganya, dan jika dia memperolehnya, maka dia
telah melakukan naihsargikaprayascittika. (dalam hal ini, kecuali kalau
jubahnya sendiri dicuti, hilang, terbakar atau hanyut dalam air).
7. Seorang
bhikshu yang telah kehilangan jubahnya boleh meminta jubah untuk menutupi
badannya. Jika dia memita dan memperoleh jubag yang lebih dari itu (yang
hilang), dia telah melakukan Naihsargikaprayascittika.
8. Jika
seorang bhikshu mengetahui bahwa seorang umat akan memberinya jubah dan
mengiginkan yang lebih baik mutu dan lebih mahal harganya dari yang akan
diberikan umat, dia telah melakukan Naihsargikaprayascittika.
9. Jika
seorang bhikshu mengetahui umat akan memberinya jubah secara kolektif, bila dia
menginginkan mutunya lebih baik dan
harganya lebih mahal pergi meminta kepada mereka dan kepada mereka dan memperolehnya, dia telah
melakukan Naihsargikapravascittika.
10. .Bilamana
Raja, Brahmana atau Bangsawan mengirim dsejumblah uang dengan perantara seorang
pesuruh kepada seorang bhikshu untuk membeli jubah, dia harus meminta pesuruh
itu memberikan uang uang itu kepada Vaiyavagha-karana atau Viyavitya (perumah
tangga yang melayani bhikkhu). Setelah pesuruh memberikan uang itu kepada
Vaiyavagha-karana maka bhishu tersebut diberitahu bahwa bilamana ia memerlukan
pakaian dia boleh mendapatkannya dari Vaiyavachakarana.
Jika bhikshu itu meminta pakaian dan
Vaiyavachakarana sampai 3 kali dan gagal mendapatkannya, dia harus dan berdiri
agar tertampak pada Vaiyavachakarana untuk 6 kali. Jika dia memintanya lebih
dari 3 kli dan berdiri lebih dari 3 kali agar dilihat oleh Vaiyavachakarana dia
telah melakukan Naihsargika-pravascittika. Dalam hal ini, bhikshu yang harus
pergi menemui dan memberitahu kepada pesuruh tadi dan meminta pesuruh tadi
untuk mengambil uang itu kembali dari Vaiyavachakarana tersebut.
11. Jika
seorang bhikshu membikin sehelai kain untuk bersila dari bulu binatang
bercampurkann sutra, dia melakukann Naihsargika-pravascittika.
12. Jika
eorang bhikshu membuat sehelai kain untuk bersila seluruhnya dari warna hitam,
dia telah melakukan suatu Naihsargika-pravascittika.
13. Seorang
bhikshu boleh membuat kain alas duduk dengan campuran 2 bagian hitam, 3 bagian
putih, dan 4 bagian merah. Jika dia tidak membuatnya demikian, dia telah
melakukan Naihsargika-pravascittika.
14. Seorang
bhikshu membuat kain alas duduk dan menggunakannya untuk 6 tahun. Jika sebelum
6 tahun ia membuat lagi alas duduk, dia melakukan Nahsargikaprayascittika.
15. Bilaman
seoran bhikshu membuat kain alas duduk baru, dia baru memotong 25 cm dari kain
alas duduk yang lama, dan mencampurkannya dengan yang baru untuk memudarkan
warna-warnanya, Jika dia tidak demikian dia telah melakukan
Naihsargika-prayascittika.
16. Jika
seorang bhikshu berjalan kaki dalam suatu perjalanan yang jauh dan orang
memberinya bulu binatang (wol), dia boleh menerimanya dan membawanyasendiri
sejauh 3 yoyana saja. (1 yoyana=10 mil). Lewat jarak tersebut, jika tiada orang
membawakannnya dan dibawanya sendiri, dia telah melakukan
Naihsargika-prayascittika.
17. Jika
seorang bhikshu menyuruh seorang bhikshuni yang bukan sanak keluarganya untuk
mencelup atau menyisir bulu binatang (wol) dia telah melakukan
Naihsargika-prayascittika.
18. Jika
seorang bhikshu menerima emas atau perak apapun, baik dengan tangannya sendiri
atupun melalui orang lain yang menyimpankan untuknya, dia telah melakukan
Naihsargika-prayascittika.
19. Seorang
bhikshu yang berniaga dalam barang-barang berharga seperti emas, perak,
batugiko, dan sebagainya, ia telah melakukan Naihsargika-prayascittika.
20. Jika
seorang bhikshu mengambil keuntungan dari seoranng berkeluarga dalam tukar
menukar barang-barang, dia telah melakukan Naihsargika-prayascittika.
21. Seorang
bhikshu boleh menyimpan mangkok (Patra) yang dengan tidak sengaja diberikan
kkepadanya untuk lamanya 10 hari. Jika dia menyimpannya lebih dari 10 hari, dia
telah melakukan satu Naihsargika-prayascittika.
22. Jika
seorang bhikshu patra yang retaknya yang tidak melebihi lima celah, meminta
seorang berkeluarga untuk memberinya mangkok yang baru, dia telah melakukan
Naihsargika-prayascittika. Dia boleh meminta mangkok baru dari sesama bhikshu
dan dia harus memilih satu yang mutunya lebih rendah.
23. Seoarang
bhikshu yang mendapat benang yang belum tersisir, meminta seorang penenun yang
bukan sanak keluarganya untuk menenunya menjadi kain untuknya, ia telah
melakukan Naihsargika-prayascittika.
24. Jika
seoranng bhikshu mengetahui ada orang yang tealh memesan kain tenun guna
ditenun untuknya, dan dia pergi dan meminta tukang tenun untuk menukarnya
dengan yang lebih baik dan berjanji akan memberinya ganti rugi, dia telah
melakukan Naihsargika-prayascittika.
25. Jika
seorang bhikshu yang telah memberikan kain kepada bhikshu lain, kemudian
menjadi marah kepada bhikshu itu dan mengambil kembali kain yang telah
diberikannya dengan kekerasan, dia telah melakukan Naihsargika-prayascittika.
26. Seorang
bhikshu yang sakit yang menerima persembahan seperti mentega, susu ngadi, madu
atau air tebu, dia boleh menyimpannaya selama 7 hari. Jika dia menyimpannya
lebih dari 7 hari, dia telah melakukan Naihsargika-prayascittika.
27. Bila
satu bulan sebelum musim panas, seorang bhikshu boleh mencari kain guna dibuat
menjadi jubah hujan, dan dalam waktu 15 hari sebelum musim hujan sudah membuat
kain itu menjadi jubah hujan. Jika dia mencari dan mempergunakan jubah hujan
itu sebelum waktu yang ditentukan, dia telah melakukan
Naihsargika-prayascittika.
28. Jika
10 hari sebelum musim varsa (vassa) seorang penderma menyampaikan kepada
seorang bhikshu pakaian utuk bhikshu-bhikshu dalam upacara dan jubah bhikshu
ini boleh menyimpanya tetapi dai harus tidak menyimpannya lebih dari satu bulan
sesudah mulai vassa. Jika dia menyimpan lebih dari jangka waktu tersebut dia
telah melakukan Naihsargika-prayascittika.
29. Setelah
jangka waktu satu bulan dari mulai vassa, seorang bhikshu yang tinggal dihutan
diijinkan menyimpan sebagian dari pakainnya di dalam rumah didekatnya untuk
selama 6 malam saja. Jika dia membiarkan pakainnya di rumah itu lebih dari
jangka waktu tersebut, dia telah melakukan satu Naihsargika-prayascittika.
30. Jika
seorang bhikshu mengetahui bahwa seseorang akan memberikan sesuatu kepada
bhikshu lain dan dia menyimpangkan pemberian
itu untuk bhikshu lain atau untuk dirinya sendiri, dia telah melakukan
Naihsargika-prayascittika.
Ksamakarma
(Permintaaan Ampun)
30 Naihsargika-prayascittika yang
tersebut diatas merupakan kesalahan yang ringan. Seorang bhikshu juga melakukan
kesalahan itu harus mengakui kesalahan atau kesalahan-kesalahannya dihadapan
siding sangha agar dibersihkan dan dimurnikan.
5.
Prayascitta
(Pali: Pacittiya)
Prayascitta adalah bagian kelima dalam Patimoksa
yang terdiri dari 90 pelanggaran yang memerlukan penebusan kesalahan.
Peraturan-peraturan itu sebagai berikut:
1. Jika
seorang bhikshu berbohong, baik sengaja atau tidak sengaja, dia telah melakukan
Prayascitta.
2. Jika
seorang bhikshu memakai istilah kutukan dalam pembicaraan dia telah melakukan
Prayascitta.
3. Jika
seorang bhikshu berbicara secara mengajak atau menyindir, dia telah melakukan
Prayascitta.
4. Jika
seorang bhikshu bermalaman di suatu rumah yang hanya wanita atau wanita-wanita
dan tiada pria, dia telah melakukan Prayascitta. (Dalam naskah pali dijelaskan
dalam pasal 6).
5. Jika
seorang bhikshu tidur seranjang dengan seorang sramanera atau orang berkeluarga
lebih dari 3 malam dia telah melakukan Prayascitta.
6. Jika
seorang bhikshu mengajar Dharma pada seorang sramanera atau seorang berkeluarga
dan mengucapkan kata-kata bersama-sama dengannya, dia telah melakukan
Prayascitta. (Dalam naskah pali diuraikan dalam pasal 4).
7. Seorang
bhikshu yang menceritakan kesalahan bhikshu lain kepada seorang Sramanera atau
orang berkeluarga dia telah melakukan Prayascitta (Dalam naskah diuraikan dalam
pasal 9).
8. Seorang
bhikshu yang memberitahukan seorang Sramanera atau orang berkeluarga tentang
suksesnya dalam hal Bodhi yang sebenarnya telah dimilikinya, telah melakukan prayascitta.
9. Jika
seorang bikshu mengajarkan Dharma pada seorang wanita dengan lebih dari 6
perkataan, terkecuali bila hadir seorang pria, dia telah melakukan Prayascitta.
10. Jika
seorang menggali tanah, baik dengan tangannya sendiri ataupun dengan
petunjuk-petunjuknya, dia telah melakukan Prayascitta.
11. Jika
seorang bhikshu menyebabkan tetumbuhan tercabut dari tempatnya, dia telah
melakukan Prayascitta.
12. Jika
seorang bhikshu dengan sengaja berbicara secara samar-samar, dia telah
melakukan Prayascitta.
13. Jika
seorang bhikshu membenci bhikshu lain dan mencela bhikshu tersebut, dia telah
melakukan Prayascitta.
14. Jika
seorang mengambil tempat tidur, atau bangku, atau kursi milik sangha, dan dia
meletakan di tempat terbuka dan jika dia tidak membawanya kembali, dia telah melakukan
Prayascitta.
15. Jika
seorang bhikshu mengambil tempat tidur milik sangha untuk tidur dikamar
bhikshu, jika dia tidak mengembalikannya atau meminta seseoranng untuk
mengembalikan ketempat semula, dia telah melakukan Prayascitta.
16. Jika
seorang bhikshu mengetahui suatu kamar didiami bhiksu lain,dan penuh dengan
barang-barang dan harta benda, dan jika dia pergi tidur di dalam kamar itu
sehingga bhikshu lainnya itu harus menyediakan tempat untuknya, dia telah
melakukan prayascitta.
17. Jika
seorang bhiksu menjadi marah pada bhikshu lain dan mengusirnya dari kamar
sangha, atau menariknya kelua, atau memerintahkan seorang lain untuk menariknya
keluar dengan kekerasan dia telah melakukan Prayascitta.
18. Jika
seorang bhikshu memasuki kamar bhikshu lain dan berbaring di atas tempat tidur
atau duduk di atas bangku yang dipergunakan untuk menaruh barang-barang dan
harta benda, dia telah melakukan Prayascitta.
19. Seorang
bhukshu yang mengetahui ada mahluk-mahluk hidup di dalam air, lalu memercikan
atau menyuruh orang lain memercikan air itu atas tanah atau rumput, dia telah
melakukan Prayascitta. (Dalam naskah pali diuraikan dalam pasal 20).
20. Jika
seorang bhikshu mempelester atap, pintu dan jendela kamarnya dengan tanah dan
kapur, dan diijinkan untuk mempelesterkannya dengan 3 lapis plester saja. Jika
dai membuat lebih dari 3 lapis, dia telah melakukan Prayascitta. (Dalam naskah
pali diuraikan dalam pasal 19).
21. JIka
seorang bhikshu yang tidak di tunjuk sebagai guru bhikshuni mengajarkan dharma
dharma kepada para bhikshuni, dia telah melakukan prayascitta.
22. Jika
seorang bhikshu yang ditunjuk sebagai guu para bhikshuni mengajarlkan dharma
pada seorang bhikshuni setelah matahari tilam ia telah melakukan Pryascitta.
23. Jika
seorang bhikshu yang membuat tuntutan palsu terhadap bhikshu lain yang telah
diangkat sebagai guru para bhikshuni bahwa dia mengajar mereka demi untuk
keuntungan. Dia telah melakukan Prayascitta. (Dalam naskah pali diuraikan dalam
pasal 24).
24. Jika
seorang bhikshu member pakaian pada seorang bhikshuni yang bukan sanak keluarganya,
terkecuali dia memberinya dalam tukar-menukar dengan barang lain dia telah
melakukan Prayascitta.
25. Jika
seorang bhikshu menjahit pakaian untuk seorang bhikshuni yang bukan
sanak-keluarganya, dia telah melakukan Prayascitta (dalam naskah pali diuraikan
dalam pasal 26).
26. Jika
seorang bhikshu bersendirian dengan seorang bhikshuni yang bukan
sanak-keluarganya di tempat yang sepi, dia telah melakukan Prayascitta. (Dalam
naskah pali diuraikan dalam pasal 30).
27. Jika
seorang bhikshu mengajak seorang bhikshuni untuk menemaninya dalam suatu
perjalanan ke suatu tempat, dan kalau dia berjalan ditemani bhikshuni itu lebih
jauh dari jaraknya dari satu desa, dia telah melakukan Prayascitta. (kecuali
bila perjlan itu melalui tempat sepi yang berbahaya bila bhikshuni berjalan
sendirian).
28. Jika
seorang bhikshu mengajak seorang bhikshuni untuk menemaninya dalam perjalanan
dalam berperahu hilir mudik, dia telah melakukan Prayascitta.
29. Jika
seorang bhikshu mengetahui bahwa seorang bhikshuni menyuruh seorang berkeluarga
untuk memasak makanan yang baik untuknya dan jika dia memakan makanan itu, dia
telah melakukan Payascitta.
30. Jika
seorang bhikshu mengundang seorang wanita untuk menemaninya dalam perjalanan
dan jika dia berjalan ditemani oleh wanita itu lebih jauh dari jarak satu desa,
dia telah melakukan Prayacitta.
31. Seorang
bhikshu yang yang tidak sakit diijinkan mengambil makanan satu kali saja di
rumah-rumah pederma. Jika dia makan lebih dari satu kali, dia telah melakukan
Payascitta.
32. Bilamana
seorang pengikut (dayaka) mengundang seorang bhikshu tertentu untuk pergi ke
rumahnya untuk menerima pemberian makanan, dan jika pengikut itu menyebutkan
salah satu 5 bhojaniya (5 macam makanan yang boleh dimakan, yaitu nasi, kue
segar, kue kering, ikan dan daging) yang diberikannya pada bhikshu itu, jika
setelah kembali dari tempat tersebut dengan makanan tadi dan memakan serta
membagikannya pada lebih dari 4 bhikshu lainnya, dia telah melakukan
Payascitta.
Kecuali dalam hal bhikshu kelima itu sedang sakit
atau sibuk denagan Civarakala (waktu tertentu untuk membikin pakain), atau
dalam berjalan kaki yang jauh, atau dalam berjalan melalui jalan air, atau
sedang tinggal bersama-sama dengan bhikshu lain, dan makanan yang diberikan
kepadanya tidak cukup, atau makanan itu mikik sangha.
33. Jika
seorang bhikshu telah menerima baik undangan untuk makan disesuatu tempat
kediaman tertentu dan dia tidak pergi kesana, tetapi dia pergi makan di tempat
lain, dia telah melakukan Prayascitta.
Kecuali, bila dia sedang dalam perjalan jauh, atau
sedang menderita sakit demam, atau sibuk dengan Ciravarakala, atau menghadiri
pertemuan sngha (Dalam naskah pali berpergian dalam perjalan yang jauh dan
menghadiri pertemuan sangha, tidak diuraikan).
34. Jika
seorang bhikshu pergi meminta sedekah di suatu desa dan diberi orang banyak
kue, dia hanya diijinkan menerima 3 mangkok penuh saja, dan jika dia menerima
lebih dari 3mangkok penuh dia telah melakukan Prayascitta. (Jika dia menerima
lebih dari 3 mangkok kue dia harus membaginya kepada sesame bhikshu).
35. Setelah
seorang bhikshu memakan dan berhenti makan, dia telah diijinkan makan suatu
makanan tambahan, kecuali dia sakit. Jika dia berbuat demikian dia telah
melakukan Prayascitta.
36. Jika
seorang bhikshu mengetahui bahwa bhikshu laintelah makan atau telah berhenti
makan, dan dia memikatnya untuk melanggar Vinava dengan menganjurkan agar makan
lagi, dan jika bhikshu itu memakannya memakannya, dia telah melakukan
Prayascitta.
37. Jika
seorang bhikshu makan diantara tengah hari dan keesokan paginya, dia telah
melakukan Prayascitta.
38. Jika
seorang bhikshu menerima makan dan menyimpannya untuk semalam dan memakannya
esok paginya, dia telah melakukan Prayascitta.
39. Jika
seoang bhikshu memakan makanan yang tidak diserahkan kepadannya, dan jika
makanan itu melewati tenggorokannya, dia telah melakukan Prayascittta. Kecuali
air dan Dartakhasta (ranting pohon salix untuk membersikan gigi), (Dalam naskah
pali diuraikan dalam pasal 39).
40. Jika
seorang bhishu yang tidak sakit memeinta bhojania seperti nasi dicampur ghe,
mentega, minyak, madu, ikan, daging, susu dan susu ngadi dari seorang yang
bukan sanak-keluarganya dia telah melakukan Prayascitta. (Dalam naskah pali
diuraikan dalam pasal 39).
41. Jika
seorang bhikshu member makanan dengan tangannya sendiri kepada seorang petapa
bukan buddhis dia telah melakukan Prayascitta. Lain yang sedang makan, dia
telah melakukan Prayascitta.
42. Jika
seorang bhikshu menerima undangan untuk makan di suatu tempat, tertentu, dan
sebelum atau sesudah itu dia ingin pergi kesatu tempat lain, dia harus
memberitahukannya kepada sesame bhikshu di dalam viharanya tentang
keperluannya. Jika dia tidak berbuat demikian dia telah melakukan Prayascitta.
(Dalam naskah pali diuraikan dalam pasal 46).
43. Jika
seorang bhikshu memaksa menyelipkan dirinya diantara bhikshu-bhikshu lain yang
sedang makan, dia telah melakukan Prayascitta.
44. Jika
seorang bhikshu duduk berduaaan dengan
seorang wanita ditempat sepi, dia telah melakukan Prayascitta.
45. Jika
seorang bhikshu duduk berduaan dengan seorang wanita di tempat terbuka, dia
telah melakukan Prayascitta.
46. Dalam
hal seorang bhikshu mengundang bhikshu lain untuk pergi menerima dana
bersama-sama dengannya, jika setelah setengah perjalanan dia mengusir bhikshu
itu, dengan demikian dia menjdi bebas untuk melakukan perbuatan asusila, dia
telah melakukan Prayascitta.
47. Bilamana
seorang berkeluarga memberikan dengan sukarela Ctuprayatya (Emapt kebutuhan,
yaitu pakaian, makanan, empat tinggal, dan obat) seorang bhikshu boleh
menerimanya untuk keperluan 4 buan saja. Jika dia memintanya lebih banyak, dia
telah melakukan Prayascitta, kecuali orang berkeluarga itu atas kemauannya
sendiri untuk meneruskannya.
48. Jika
seorang bhikshu dipersenjatai yang siap untuk bertempur, dia telah melakukan
Pryascitta tekecuali dia mempunyai alasan khusus.
49. Jika
seorang bhikshu harus mengunjungi tentara, dia tidak tinggal dalam tangis lebih
dari 3 hari. Jika tinggal lebih dari 3 hari dia telah melakukan Prayascitta.
50. Jika
seorang bhikshu harus mengunjungi tentara untuk 3 hari, dia tidak diijinkan
turun kemedan perang tentara atau perkemahaan sementara dimana tentara berkuda,
gajah, kereta perang, dan pasukan infantry yang siap sedia untuk bertempur.
Jika berbuat demikian, dia telah melakukan Prayascitta.
51. Jika
seorang bhikshu meminum-minuman keras, dia telah melakukan Prayascitta.
52. Jika
seorang bhikshu berenang untuk bersenang, dia telah melakukan Prayascitta.
(Dalam naskah pali diuraikan dalam pasal 53).
53. Jika
seorang bhikshu mengelitiki seorang bhikshu lain, dia telah melakukan
Prayascitta. (Dalam naskah pali di uraikan dalam pasal 52).
54. Jika
seorang bhikshu tidak menghindahkan peraturan-peraturan dan tidak menghiraukan
peringatan bhikshu-bhikshu lain. Dia telah melakukan Prayascitta.
55. Jika
seorang bhikshu menakuti-nakuti bhikshu lain dengan hantu-hantu dia telah
melakukan Prayascitta.
56. Seorang
bhikshu yang tinggal di India Tengah diijinkan mandi sekali dalam 15 hari dan
jika dia mandi sebelum 15 harii dia dikatakan telah melakukan Prayascitta.
Terkecuali dia merasa panas, gerah atau henya
berkeringat sehabis bekerja, atau jike pada musim hujan, atau kalau dia sedang
berada dalam perjalanan. (Dalam naskah pali diuraikan dalam pasal 57).
57. Jika
seorang bhikshu tidak sakit menyalakan api yang besar untuk menghangtkan
badannya, dia telah melakukan Prayascitta, tetapi jika dia menyalakan api untuk
keperluan yang lain dia bebas dari kesalahan. (Dalam naskah pali diuraikan
dalam pasal 56).
58. Jika
seorang bhikshu menyembunyikan para bhikshu lain atau pakaiannya atau kain
untuk bersila, otak jarum, ikat pinggangnya, ataupun barangbarang lainnya, baik
dengan tangannya sendiri atau dengan petunjuknya, dia telah melakukan
Prayascitta. (Dalam naskah pali diuraikan dalam paul 60).
59. Jika
seorang bhikshu dengan tangannya sendri memberikan Vicalpacivar (berarti:
pakaian yang seorang bhikshu berikan kepada bhikshu lain untuk digunakan
semuanya dia) kepada bhikshu lain atau bhikshuni atau sramanera-sramanei, dan
kemudian mempergunakaan pakaian itu tanpa ijin orang pada siapa pakaian itu
telah diberikan, maka dia telah melanggar hak orang itu dan telah mekukan
Prayascitta.
60. Jika
seorang bhikshu menerima pakaian yang baru dari seorang penyokong, dia harus
membuat satu Bhindhu (tanda bundaran dengan warna biru atau hitam) pada saat
sudu dari pakaian itu sebelumnya menggunakannya. Jika dia tidak berbuat
demikian dia telah melakukan Prayascitta. (Dalam naskah pali diuraikan dalam
pasal 58).
61. Seorang
bhiksu yang dengan sengaja membunuh seekor binatang telah melakukan
Prayascitta.
62. Seorangbhikshu
yang mengetahu adanya kehidupan dalam air dan meminum air tanpa disring, telah
melakukan Prayascitta.
63. Jika
seorang bhiksun yang mengetahui bahawa Adhykarana-samadha telah dipertimabngkan
secara benar oleh sangha, nerasa tidak puas dan meminta dengan sombong satu
pertimbangan baru, dia telah melakukan Pryascitta.
64. Jika
seorang bhikshu yang mengetahui bahwa seorang lain telah menlakukan suatu
kesalahan dan merahasiakan fakta ini terhadap bhikshu-bhikshu lain, atau
menyimpan rahasia ini, dia telah melakukan Prayascitta.
65. Jika
seorang bhikshu mengetahui seorang pemuda belum mencapau umur dua puluh dan
menthabiskannya, dia telah melakukan Prayascitta.
66. Jika
seorang bhikshu mengakui kesalahannya di hadapan bhikshu lain, dan dan
kesalahannya diampuni dengan penebusan menurut auran vinaya, kemudian
menyalahkan bhikshu itu karena di pandang sebagai pembuat kesalahan atau
pelanggaran, dia telah melakukan Prayascitta.
67. Jika
seorang bhikshu mengetahu bahwa seorang bhikshu adalah seorang penyerang atau
perusak dan mengundangnya untuk menemaninya dalam suatu perjalanaan kaki, bila
dia berjalan ditemani oleh orang itu lebih jauh dari jarak satu desa, dia telah
melakukan Prayascitta.
68. Jika
seorang bhikshu memperotes ajaran-ajaran Sang Buddha, dan semua bhikshu dengan
suara bulat menyatakan bahwa ia salah, dan bila telah tiga kali dilakukan usaha
untuk menyadarkannya tetapi masih bertahan dan mengulangi protesnya, dia telah
melakukan Prayascitta.
69. Jika
seorang bhikshu bergaul dengan bhikshu lain yang memperotes ajaran-ajaran sang
Buddha, dan melakukan upacara Sanghakarama atau makan atau tidur dengannya, dia
telah melakukan Prayascitta.
70. Jika
seorang bhikshu menganjurkan seorang Sramanera memperotes ajaran-ajaran Sang
Buddha, atau mengambil pihaknya, atau menunjangnya atau makan, atau tidur
bersama dengannya, dia telah melakukan Prayascitta.
71. Jika
seorang bhikshu berkelakuan congkak, dan menjawab secara samar-samar kepada
bhikshu lain yang memperingatkannya tentang kelakuannya itu, dia telah
melakukan Prayascitta.
72. Jika
seorang bhikshu menganggu bhikshu lain dalam penbacaan pembacaan peraturan
patimoksa di luar kepala, ia telah melakukan Prayascitta.
73. Pada
saat pembacaan larangan-larangan itu di dalam siding seorang bhikshhu yang
telah melakukan pelanggaran itu dengan mendusta mengatakan bahwa dia baru saja
mengetahui larangan itu, dan seorang bhikshu lain yang mengetahui larangan itu,
dan seorang bhikshu lain yang mengetahui alasannya yang bohong itu, membukakan
kesalahan. Jika dia tidak mengakui kesalahannya dia telah melakukan
Prayascitta.
74. Jika
seoranng bhikshu yang telah melakukan penembusan kesalahn dihdapan sangha dan
kemudian menyalahkan Sangha, dia telah melakukan Prayascitta. (Dalam naskah
pali diurakan dalam pasal 79).
75. Jika
seorang bhikshu yang hadir dalam siding sangha, meninggalkan siding selagi
sedang dipertimbangkanya suatu perkara tanpa member sesuatu alasan, dia telah
melakukan Prayascitta. (Dalam naskah pali diuraikan dalam pasal 80).
76. Jika
seorang bhikshu dengan sengaja menyebabkan gangguan kepada bhikshu-bhikshu
lain, dia telah melakukan Prayascitta.
77. Jika
terdapat pertengakaran antara dua bhikshu, seorang bhikshu menyembunyikan
dirinya untuk mendengarkan dan kemudian memeberitahukan kepada salah seorang
yang bertengkar itu, dia telah melakukan Prayascitta.
78. Seorang
bhikshu yang menjadi marah kepada bhikshu lain dan memukulnya, dia telah
melakukan Prayascitta. (Dalam naskah pali diuraikan dalam pasal 74).
79. Seorang
bhikshu yang menjadi marah pada bhikshu lain dan mengangkat tangannya seakan
hendak memukul bhikshu itu, ia telah melakukan Prayascitta. (Dalam naskah pali
diuraikan dalam pasal 75).
80. Seorang
bhikshu melakukan tuduhan palsu kesalahan sangha-vasesa terhadap bhikshu lain,
telah melkukan prayascitta. (Dalam naskah pali diuraikan dalam pasal 76).
81. Jika
seorang bhikshu yang tidak mendapat ijin memasuki kamar yang didalamnya raja
sedang duduk bersama permain surinya, dia telah melakukan Prayascitta. (Dalam naskah
pali diuraikan dalam pasal 83).
82. Seorang
bhiksu yang melihat suatu barang jatuh dan menyimpanya untuk keperluan sendiri
atau memberikannya kepada orang lain, telah melakukan Prayascitta.
Jika suatu barang jatuh ketanah di dalam vihara atau
kamarnya, dia harus menyimpannya untuk dikembalikan kepada pemiliknya yang
dikenalnya. (Dalam naskah pali diuraikan dalam pasal 84).
83. Jika
seorang bhikshu harus pergi kesalah satu rumah di suatu desa pada malam hari,
dia harus memberitahukan tujuannya kepada bhikshu lain. Jika dia tadak berbuat
demikian dia telah melakukan Prayascitta. (Dalam nasah pali diuraikan dalam
Pasal 85).
84. Jika
seorang bhikshu memberikan tempat tidur untuknya sendiri dia harus membuatnya
dengan kakinya tinggi inchi, diukur dari papan tempat tidur pada mana kaki
ipakukan. Jika dia membuat kaki tempat tidurnya lebih tinggi dari itu, dia
telah melakukan Prayascitta. Dia harus memotong kaki terlalu panjang itusebelum
mempergunakanna, jika tidak dia melakukan kesalahan. (Dalam naskah pali
diuraikan dalam pasal 87).
85. Jika
seorang bhikshu membuat tempat tidur dan melapisinya dengan kapuk dia telah
melakukan Prayascitta. (Yang asama juga berlakku untuk kasur dari kapuk).
(Dalam naskah pali diuraikan dalam pasal 88).
86. Jika
seorang bhikshu membuat kotak jarum dari tulang, tanduk atau gading, dia telah
melakukan Prayascitta. Dia harus menyebabkan satu pecahan atau celah didalamnya
sebelum mempergunakannya, jika tidak dia tidak bebas dari kesalahan.
87. Jika
seoorang bhikshu membuat kain alas dudUK (nisidana) dia harus membuatnya
menurut ukuran yang diperbolehkan yaitu panjang 38 cm, lebar 25 cm pinggiran
disekelilingkain itu. Jika dia membuatnya lebih lebar dari itudia telah
melakukan Prayascitta. (Dalam naskah pali diuraiakan dalam pasal 89).
88. Jika
seorang bhikshu membuat pakaian daam untuk bagian bawah badannya, dia diijinkan
membuatnya menurut ukuran yang diterima, yaitu panjang 100 cm dan lebar 62 cm.
Jika ia membuatnya lebih besar dari itu, dia telah melakukan Prayascitta.
(Dalam naskah pali diuraikan dalam pasal 89).
89. Jika
seorang bhikshu membuat jubah hujan, dai harus membuatnya Cmenurut ukuran yang
diperbolehkan, yaitu panjangnya 150 cm dan lebar 62 cm. Jika dia membuatnya
besar dari itu, dia telah melakukan Prayacitta.
Dia harus memotong bagian yang terlalu panjang atau
terlalu lebar sebelum menggunakannya, jika tidak dia tidak bebas dari
kesalahan. (Dalam nasakah pali diuraikan dalam pasal 91).
90. Jika
seorang bhikshu membuat Civara dengan ukuran yang sama atau yang lebih besar
dari Civara yang digunakaan oleh Sang Buddha, dia telah melakukan Prayascitta.
Jika Civara yang digunakan Sang
Buddha ialah panjang 225 cm dan lebar 150 cm. Dia harus memotong bagian dari
pakainnya yang terlalu lebar dan terlalu panjang, dan membuat Civaranya di
bawah ukuran yang tersebut di atas sebelum dia mengenakannya, jika tidak dia
tidak bebas dari kesalahan. (Dalam naskah pali, diuraikan dalam pasal 92).
Ksamakarma
Kesalan Prayascitta ini dapat
diampuni dengan pengakuan dihadapan Sidang atau dihadapan bhikshu atau
bhikshu-bhikshu, agar supaya pelanggaran dapat dibersihkan daripada kesalahn.
B.
VINAYA
THERAVADA
Vinaya
Theravada (Pali)
Vinaya Theravada (Pali) merupakan hasil daripada sangha
samaya yang ditetapkan pada sangha samaya I dibawah pimpinan Y.A.Mahakassapa
Thera dan ulangan dari Y.A.Upali thera. Bagian pertama dari vinaya pitaka
adalah terdiri dari beberapa peraturan disiplin yang diberikan untuk mengatur
para siswa Sang Buddha yang diterima
sangha sebagai bhikkhu dan bhikkhuni.
Pengelompokan Vinaya Pitaka
Dalam pali vinaya (Theravada) yang
bersumber dalam vinaya pitaka, vinaya dikelompokkan menjadi beberapa bagian
yaitu:
1.
Vinaya pitaka dibagi dalam lima buku (kitab) menurut
jenis dan kategori peraturan dan pelanggaran yang ditetapkan dan terdiri dari
beberapa penggolongan yaitu:
a.
Parajika pali, vinaya III merupakan buku satu dari vinaya
pitaka yang memberikan penjelasan secara rinci tentang peraturan-peraturan
disiplin penting berkenaan dengan parajika dan sanghadisesa serta aniyata
dan nissagiya yang merupakan pelanggaran kecil
b.
Pacitteya pali merupakan buku 2 dari vinaya pitaka ynag berisikan
tentang serangkaian peraturan lain bagi para bhikkhu yaitu paciteya,
patidesaniya, sekkhiya vatta, adikarana samata serta peraturan-peraturan
disiplin yang sama bagi para bhikkkhu dan bhikkhuni
c.
Mahavagga pali merupakan buku 3 yang isinya sama dengan
penggolongan yang pertama
d.
Culavagga merupakan buku yang ke empat dari vinaya pitaka
dan isinya sama dengan penggolongan yang pertama
e.
Parivara pali, parivara pali berisikan tentang pedoman
dan penjelasan tentang bagaimana peraturan diberikan untuk mengatur para
bhikkhu dan urusan-urusan administrasi dalam sangha dan prosedur tepatnya dalam
penyelesaian dan penanganan persoalan hukum yang berlaku dikalangan sangha
2.
Untuk mempermudah dalam mempelajari peraturan-peraturan
atau vinaya tersebut dibagi menjadi beberapa kelompok menurut himpunan yang
terdapat dalam vinaya pitaka, yaitu:
1.
Sutta Vibhanga
Sutta vibhanga merupakan
penggolongan pelanggaran yang dibagi ke dalam delapan kelompok yaitu: parajika,
sanghadisesa, aniyata, pacitiya, nisagiya pacitiya, patidesaniya, sekkhiya, dan
adikarana samatha. Yang semuanya berjumlah 227 sila untuk bhikkhu dan 311 untuk
bhikkhuni. Pada dasarnya penggolongan dalam buku ini terdiri dari dua bab yaitu
Bhikkhu sutta vibhanga dan bhikkhuni sutta vibhanga yang berisikan tentang
suatu rangkaian peraturan untuk bhikkhu dan bhikkhuni. Dan untuk lebih jelasnya dapat kita
lihat pada skema berikut ini:
Skema tentang bagian-bagian
dari:
Patimokkha Sila
No
|
Jenis
Pelanggaran (APATTI)
|
Vinaya
Bhikkhu
|
Vinaya
Bhikkhuni
|
1
|
Parajika
|
4
|
8
|
2
|
Sanghadisesa
|
13
|
17
|
3
|
Aniyata
|
2
|
-
|
4
|
Nisagiya Pacitiya
|
30
|
30
|
5
|
Pacittiya (Suddhika)
|
92
|
11
|
6
|
Patidesaniya
|
4
|
6
|
7
|
Sekkhiya Vatta
|
75
|
8
|
8
|
Adikarana Samatha
|
7
|
75
|
7
|
|||
Jumlah
|
227
|
311
|
2.
Khandaka-khandaka
Khandaka-khandaka
dibagi menjadi dua:
A. Maha Vagga
1.
Mahakhandaka yaitu mengenai peristiwa
sesaat setelah mencapai penerangan sempurna hingga terbentuknya sangha
dan berbagai metode atau aturan-aturan untuk memasuki sangha
2.
Uposatha Khandaka yaitu mengenai
pengumuman hari-hari dan pertemuan Uposatha serta berbagai jenis sima
3.
Vassupanayika Khandaka yaitu bagian
mengenai memasuki Vassa baik itu peraturan maupun tempat tinggal selama musim
hujan (vassa) dan cara pelaksanaannya.
4.
Pavarana Khandaka yaitu bagian mengenai
tata cara upacara penutupan musim hujan (pavarana)
5.
Camma Khandaka yaitu bagian mengenai
aturan untuk menggunakan pakaian dan perabot hidup
6.
Bhesajja Khandaka yaitu bagian mengenai
pemakaian obat-obatan dan makanan
7.
Kathina khandaka yaitu bagian mengenai
peraturan yang berhubungan dengan upacara kathina dan pembagian jubah tahunan
8.
Civara Khandaka yaitu bagian peraturan
yang berhubungan dengan pemakaian bahan jubah, aturan tidur dan bagi Bhikkhu
yang sedang sakit
9.
Campoyya Khanddaka bagian mengenai
kegiatan-kegiatan sangha yang patut dan tidak patut serta cara menjalankan
keputusan sangha
10.
Kosambiya Khandaka yaitu tentang
perselisihan di kosambi di mana juga tercantum tentang cara penyelesaian
perselisihan dalam sangha.
B. Cula Vagga
Cula vagga terdiri dari beberapa aturan yaitu:
1.
Kamma khandaka bagian ini mengenai
aturan-aturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran yang dihadapkan kepada
sangha
2.
Parivasaka khandaka mengenai aturan
untuk untuk menangani pelanggaran-pelanggaran yang dihadapkan kepada sangha
3.
Samuccaya khandaka mengenai
aturan-aturan untuk menyelesaikan masalah yang timbul, dalam hal ini
adalah hukuman dan rehabilitasi setelah menjalani hukuman
4.
Penerimaan
kembali seorang bhikkhu
5.
Aturan-aturan
untuk mandi, berpakaian dan lain-lain
6.
Tempat
tinggal, perabot, penginapan-penginapan
7.
Perpecahan
8.
Perlakuan pada berbagai golongan
Bhikkhu dan kewajiban para guru dan samanera
9.
Pengucilan
dari patimokkha
10.
Pentabisan dan petunjuk pada para Bhikkhuni
11.
Sejarah sangha samaya pertama di
rajagaha
12.
Sejarah sangha samaya kedua di vesali
C. Parivara
Berisi tentang penjabaran atau
penjelassan dari pada sutta vibhanga dan khandaka-khandaka yang disertai dengan
latar belakang dan cerita mengenai terjadinya aturan tersebut.
Selain dari beberapa penggolongan
peraturan Vinaya yang terdapat dalam Vinaya Patimokkha yang dikenal sebagai
Vinaya Pannati yang terdiri dari:
1.
8 anusanana: 8 peringatan, terdiri dari
2 kelompok bagian:
a. Empat macam Nissaya-sumber kehidupan
Cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan seorang bhikkhu
tergantung pada apa yang disebut Nissaya-sumber kehidupan yaitu:
a)
Berjalan mengumpulkan makanan di
jalan-jalan (Pindapata)
b)
Mengenakan jubah “Pacsukula” (kain-kain
usang yang diambil dari kumpulan sampah/tempat-tempat penguburan)
c)
Tinggal
di bawah pohon
d)
Menyembuhkan penyakit dengan
obat-obatan yang direndam dalam air seni yang telah dibusukkan
b. Empat macam
Akaraniya kicca-empat macam pelanggaran berat:
a)
Melakukan
hubungan kelamin/seks
b)
Mencuri
harta milik orang lain
c)
Membunuh
makhluk-makhluk hidup
d)
Menyombongkan
diri bahwa telah mencapai tingkat tingkat perkembangan batin yang lebih tinggi
daripada manusia biasa yang sebenarnya belum ia capai
2. Tujuh apatti
(pelanggaran) dan 1 Adhikarana Samatha
Ditinjau dari
akibatnya, Apatti terbagi atas dua macam yaitu:
a)
Atekicca (incurable) yang merupakan
pelanggaran yang tidak dapat diperbaiki lagi dan menyebabkan seorang bhikkhu
terkalahkan, harus keluar dari kebhikkhuan (lepas jubah) dan tidak dapat
ditahbiskan menjadi bhikkhu lagi sepanjang sisa hidupnya, merupakan pelanggaran
berat (Garukhapati) yang terdiri atas parajika 4
b)
satekiccha (curable) yang mencakup
pelanggaran yang dapat diperbaikidan mencakup:
Ø Pelanggaran
sedang (majjhimapati)
Merupakan pelanggaran sanghadisesa
13 yang untuk pembersihannya bhikkhu yang bersangkutan harus mengakui
kesalahnnya di hadapan sangha (20 bhikkhu) dan harus melakukan manatta (mawas
diri selama enam malam penuh di tempat tersendiri) untuk kemudian di
rehabilitasi oleh sangha dengan minimal 20 bhikkhu
Ø Pelanggaran
ringan (lahukapati)
Merupakan pelanggaran ringan yang
untuk membersihkannya bhikkhu yang bersangkutan harus mengakui kesalahannya
dihadapan seorang bhikkhu atau lebih dan mempunyai kategori berbeda-beda dari
yang lebih berat sampai yang paling ringan: Thulacaya, Pacittiya, Patidesaniya,
Dukha dan Dubabasit.
Terdapat 2 jenis vinaya yaitu:
1.
Vinaya untuk umat berkeluarga (Gihi
Vinaya): Pancasil
silagovada
sutta
Sila untuk umat
berkeluarga bersifat moral semata-mata yang digolongkan dalam pakati-sila.
2.
Vinaya untuk para rohaniawan (patimokkha-sila)
Sila untuk
bhikkhu selain bersifat moral juga berlaku sila yang khusus untuk cara hidupnya
yang digolongkan dalam pannati-sila.
Bila dilihat dari beberapa uraian di
atas tentang vinaya baik itu dari Theravada maupun Mahayana bisa kita temukan
beberapa perbedaan antara vinaya Theravada (pali) dan vinaya Mahayana
Jenis Apatti (Pelanggaran)
|
Bhikkhu
|
Bhiksu
|
Bhikkhuni
|
Bhiks-uni
|
Parajika
|
4
|
4
|
8
|
8
|
Sanghadisesa/sanghavasesa
|
13
|
13
|
17
|
17
|
Aniyata
|
2
|
2
|
-
|
-
|
Nissagiya/naihsangika
|
30
|
30
|
30
|
30
|
Paccitiya/prayascitta
|
92
|
90
|
166
|
178
|
Patidesaniya/pratidesaniya
|
4
|
4
|
8
|
8
|
Sekhiyavatta/siksa karaniya
|
75
|
100
|
75
|
100
|
Adhikarana/adhykarana
|
7
|
7
|
7
|
7
|
Jumlah
|
227
|
250
|
311
|
348
|
(Sansekerta) yaitu:
Terdapat juga
perbedaan persepsi yang mendasar yaitu:
Masalah
|
Theravada
|
Mahayana
|
Bahasa ajaran Buddha
|
Magadha(pali)
Buddha sekarang (sakyamuni)
|
Sansekerta
Buddha lampau, sekarang dan akan datang
|
Aturan makan
|
Boleh makan
daging, 3 syarat daging bersih (Tikoti parisudi mamsa) dalam jivaka sutta:
1. dia tidak melihat
2. dia tidak mendengar
3.dia
tidak menduga daging tersebut disediakan untuknya
|
Tidak makan daging,
sayuranis-vegetarian,
dalam boddhistva sila (Mahasihananda sutta)
|
Pembebasan
|
Makan sebelum
tengah hari para arahat mencapai nibbana
|
Bodhisattva
melaksanakan
10 paramitta sebelum mencapai nibbana
|
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Vinaya
(etimologis) berarti aturan, tata tertib. Vinaya diartikan melenyapkan,
menghapus, memusnahkan, menghilangkan segala tingkah laku yang menghalangi
kemajuan dalam jalan pelaksanaan dhamma atau sesuatu yang membimbing keluar
(dari dukkha).
Perbedaan vinaya Mahayana dan
Theravada
Jenis Apatti (Pelanggaran)
|
Bhikkhu
|
Bhiksu
|
Bhikkhuni
|
Bhiks-uni
|
Parajika
|
4
|
4
|
8
|
8
|
Sanghadisesa/sanghavasesa
|
13
|
13
|
17
|
17
|
Aniyata
|
2
|
2
|
-
|
-
|
Nissagiya/naihsangika
|
30
|
30
|
30
|
30
|
Paccitiya/prayascitta
|
92
|
90
|
166
|
178
|
Patidesaniya/pratidesaniya
|
4
|
4
|
8
|
8
|
Sekhiyavatta/siksa karaniya
|
75
|
100
|
75
|
100
|
Adhikarana/adhykarana
|
7
|
7
|
7
|
7
|
Jumlah
|
227
|
250
|
311
|
348
|
B.
Saran
Demikianlah makalah ini penulis
uraikan, diharapkan dengan adanya pembahasan makalah, Mahasiswa-mahasiswi atau
pun umat Buddha bisa mengetahui perbedaan vinaya Mahayana dan Theravada.
Saran dan kritikan dari pembaca
sangat diharapkan oleh penulis guna mengkoreksi kekuranngan yang terdapat dalam
penulisan makalah ini, sehingga unyuk kedepannya penulis dapat memperbaiaki
kekurangan yang terdapat dalam penulisan makalah selanjutnya semoga makalah ini
dapat menjadi bahan untuk digunakan sebagaimana di harapkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Tim Penyusun.
2003. Materi Kuliah Agama Buddha Untuk Perguruan Tinggi Agama Buddha (kitab
suci vinaya pitaka).CV.DEWI KARYA ABADI: Jakarta
Pandita
Dhammavisarada. Teja S.M. Rasid. 2009. Sila dan Vinaya. Yayasan Dhammacakka
Jaya: Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar